Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.96.1
Konten dari Pengguna
Pajak Rokok, Perlukah Kenaikan Tarif?
9 Februari 2025 14:19 WIB
·
waktu baca 7 menitTulisan dari Soni Wijayanto tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
![Gambar rokok. Sumber: canva.com](https://blue.kumparan.com/image/upload/fl_progressive,fl_lossy,c_fill,q_auto:best,w_640/v1634025439/01jkmrbkxvhz4c54fvn5pvkqhe.png)
ADVERTISEMENT
Pajak rokok, yang dikelola oleh pemerintah provinsi, adalah salah satu upaya pemerintah daerah dalam mengurangi konsumsi rokok di daerah yang sekaligus berfungsi sebagai sumber penerimaan daerah. Namun, apakah pajak rokok telah memenuhi perannya dalam mengurangi konsumsi rokok? Dan apakah pajak rokok telah menjadi sumber penerimaan daerah yang optimal? Jika berkaca pada data perokok aktif di Indonesia, nampaknya tingkat konsumsi rokok masih belum bisa ditekan. Begitu pula dengan peran pajak rokok sebagai sumber penerimaan daerah, angkanya masih relatif rendah jika dibandingkan dengan cukai hasil tembakau yang dikelola oleh pemerintah pusat.
ADVERTISEMENT
Gambaran Umum Pajak Rokok
Pajak rokok merupakan pungutan yang dikenakan atas cukai. Cukai sendiri dikenakan terhadap beberapa barang kena cukai yang dianggap berpotensi memberikan dampak buruk baik bagi masyarakat maupun lingkungan salah satunya adalah rokok dan produk hasil tembakau lainnya. Saat ini pajak rokok memiliki tarif 10% dari cukai dan dipungut bersamaan dengan pemungutan cukai. Penggunaan dana yang berasal dari pajak rokok pun diatur untuk digunakan dalam bidang kesehatan (earmarking) untuk meng-offset dampak buruk yang diakibatkan oleh rokok pada kesehatan masyarakat. Diatur dalam Perpres Nomor 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan bahwa 75% dari 50% realisasi pajak rokok atau sebesar 37,5% harus digunakan untuk program jaminan kesehatan. Hal ini berlaku baik untuk pemerintah provinsi maupun pemerintah kabupaten/kota sesuai bagian pajak rokok yang diterima.
ADVERTISEMENT
Selain berperan dalam mengurangi konsumsi produk rokok, pajak rokok juga merupakan sumber penerimaan bagi pemerintah daerah. Bahkan di beberapa daerah pajak rokok menjadi salah satu sumber penerimaan terbesar, seperti di Provinsi Jawa Tengah yang pada tahun 2025 ini memiliki target penerimaan pajak rokok sebesar Rp3 Triliun dari total target penerimaan daerah sebesar Rp12 Triliun. Pajak rokok menempati posisi kedua sebagai penerimaan terbesar setelah pajak kendaraan bermotor. Skema pembagian pajak rokok oleh Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan (DJPK) Kementerian Keuangan, yang memperhitungkan jumlah penduduk sebagai salah satu faktor penghitungan pembagian realisasi pajak rokok ke daerah, membuat provinsi-provinsi padat penduduk seperti Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Jawa Barat mendapat proporsi pembagian pajak rokok yang relatif besar dibandingkan provinsi lainnya.
ADVERTISEMENT
Pajak Rokok Sudah Penuhi Fungsinya?
Meskipun telah dilakukan pemungutan cukai, pajak rokok, bahkan PPN (Pajak Pertambahan Nilai) atas produk hasil tembakau, tingkat konsumsi rokok di Indonesia nyatanya tidak mengalami penurunan yang signifikan, bahkan mengalami pertumbuhan. Berdasarkan data dari Kementerian Kesehatan melalui Survei Kesehatan Indonesia (SKI) Tahun 2023, jumlah perokok aktif di Indonesia diestimasikan mencapai 70 juta orang pada akhir tahun 2023 dan 7,4% di antaranya adalah penduduk berusia di bawah 18 tahun. Dalam survei tersebut juga disebutkan prevalensi merokok bagi anak usia 10 sampai dengan 18 tahun adalah sebesar 4,6% dan 22,4% bagi penduduk berusia lebih dari 18 tahun. Data ini tentu mengkhawatirkan karena menujukkan saat ini konsumsi rokok semakin menyebar di kalangan anak di bawah umur, kelompok yang seharusnya mendapatkan perhatian lebih.
ADVERTISEMENT
Tingginya tingkat konsumsi rokok di Indonesia tidak terlepas dari tingkat keterjangkauan (affordability) dari produk rokok atau produk hasil tembakau lainnya yang masih sangat terjangkau bagi masyarakat terlebih lagi penduduk usia muda. Bahkan menurut data World Bank, tingkat keterjangkauan rokok di Indonesia pada tahun 2016 dua kali lebih terjangkau dibandingkan pada tahun 1980. Harga rokok yang semakin terjangkau membuat konsumsi rokok semakin mudah. Pelajar dan anak-anak akan semakin mudah dalam mendapatkan akses untuk konsumsi rokok. Hal ini diperparah dengan banyaknya toko-toko yang menjual rokok secara bebas di masyarakat tanpa adanya aturan mengenai batasan usia pembeli. Larangan penjualan rokok secara eceran (satuan) yang telah diberlakukan akhir-akhir ini adalah upaya yang baik yang dilakukan pemerintah untuk membuat rokok sedikit lebih ‘tidak terjangkau’. Namun, dengan harga keseluruhan yang masih relatif rendah, aturan tersebut tidak akan terlalu memberikan dampak dalam mengurangi konsumsi rokok.
ADVERTISEMENT
Pengenaan cukai, pajak rokok, dan PPN atas produk rokok sejatinya adalah langkah yang tepat dalam rangka meningkatkan harga rokok di pasaran. Dengan tarif cukai yang mengalami kenaikan beberapa tahun ke belakang, nilai pajak rokok pun mengalami kenaikan. Harga rokok telah mengalami kenaikan dari tahun ke tahun. Kenaikan harga rokok diharapkan dapat menurunkan daya beli masyarakat akan produk rokok dan pada akhirnya menurunkan tingkat konsumsi rokok. Namun, harga rokok di Indonesia hingga saat ini masih relatif rendah dibandingkan negara lain dan mudah dijangkau sehingga konsumsi rokok tetap tumbuh.
Dalam hal penerimaan, pajak rokok telah memberikan penerimaan yang besar bagi daerah-daerah di Indonesia khususnya daerah dengan jumlah penduduk besar seperti provinsi-provinsi di Pulau Jawa. Namun, jumlah pajak rokok tersebut masih relatif rendah jika dibandingkan dengan penerimaan cukai hasil tembakau, yang juga dipungut bersamaan dengan pajak rokok. Pajak rokok hanya dipungut sebesar 10% dari nilai cukai. Pemerintah daerah, sebagai wilayah yang menanggung dampak buruk dari konsumsi rokok seharusnya mendapatkan penerimaan paling besar dari pungutan atas rokok. Terlebih lagi pemerintah daerah memiliki kewajiban memberikan pelayanan kesehatan bagi masyarakat di daerah, termasuk mereka yang terpapar oleh asap rokok. Pemerintah daerah juga memiliki kewajiban melakukan earmarking atas dana pajak rokok yang diterimanya. Tentunya pelaksanaan earmarking dan pelayanan kesehatan akan lebih baik lagi jika pemerintah daerah mendapatkan proporsi penerimaan pajak rokok yang lebih besar lagi dari yang telah berjalan saat ini.
ADVERTISEMENT
Rekomendasi
Upaya yang dapat dilakukan untuk dapat memaksimalkan fungsi pajak rokok adalah dengan menaikkan tarif pajak rokok. Meskipun opsi ini tidak populer, namun opsi ini telah diterapkan di banyak negara di dunia khususnya negara maju. Contohnya harga rokok di negara Singapura yang telah mencapai Rp170 ribu per bungkus atau di Amerika Serikat yang mencapai Rp120 ribu per bungkusnya. Harga ini tentu sangat jauh dibandingkan dengan harga rokok di Indonesia saat ini yang berkisar antara Rp30 ribu hingga Rp50 ribu per bungkus, yang berarti masih ada ruang bagi pengenaan pajak atas rokok di Indonesia untuk diubah menjadi lebih tinggi tarifnya. Dengan tarif pajak rokok yang tinggi, tingkat prevalensi merokok di Amerika Serikat, yang memiliki jumlah penduduk besar seperti Indonesia, dapat turun dari 42% pada tahun 1945 menjadi 11% pada tahun 2022. Perlu diingat bahwa pajak rokok dikenakan sebesar 10% atas cukai sehingga nilai penerimaan cukai akan tetap sama namun nilai penerimaan pajak rokok akan meningkat. Hal ini juga menjadi peluang bagi pemerintah daerah untuk dapat menambah penerimaan daerah dalam rangka menciptakan kemandirian fiskal. Dengan pajak rokok yang meningkat Pendapatan Asli Daerah (PAD) juga akan meningkat dan pemerintah daerah dapat mengurangi ketergantungan pada dana transfer dari pusat atau dana perimbangan.
ADVERTISEMENT
Upaya lainnya yang dapat dilakukan pemerintah daerah adalah dengan simplifikasi administrasi pajak rokok dan cukai hasil tembakau. Pengenaan pajak rokok memang sederhana yaitu dikenakan atas cukai, namun saat ini terdapat beberapa kategori dan lapisan tarif yang digunakan dalam pengenaan cukai yang cukup rumit. Pemerintah daerah dan pemerintah pusat harus bersinergi untuk dapat menyederhanakan aturan pemungutan cukai hasil tembakau menjadi satu tarif universal untuk semua jenis produk tembakau dengan tarif yang tinggi. Selain itu, pemerintah daerah juga harus terus bersinergi dengan pemerintah pusat dalam pemberantasan rokok ilegal yang banyak beredar di masyarakat untuk memastikan seluruh industri rokok tercatat dan mematuhi seluruh ketentuan dan peraturan yang berlaku.
Pemerintah memang tidak dapat langsung menaikkan tarif cukai atau pajak rokok secara serta merta karena berbagai pertimbangan. Salah satunya adalah industri rokok dan tembakau yang menyerap banyak tenaga kerja di berbagai daerah di Indonesia. Dengan tarif pajak yang tinggi tentunya akan membuat perusahaan-perusahaan rokok kesulitan dalam memepertahankan pekerjanya karena dibutuhkan efisiensi biaya untuk mengompensasi kenaikan tarif pajak yang signifikan. Pemerintah daerah juga mungkin mempertimbangkan masyarakat kelas bawah yang akan kesulitan jika tarif pajak rokok naik. Namun, pemerintah juga harus mempertimbangkan dampak buruk rokok pada masyarakat kelas bawah yang tidak hanya terbatas pada dampak kesehatan tetapi juga ekonomi. Jika tujuan utama dari pengenaan pajak atas rokok adalah untuk mengurangi konsumsi rokok sebagai barang yang memberikan dampak buruk bagi kesehatan masyarakat, maka pemerintah harus mempertimbangkan konsumsi rokok dan kesehatan masyarakat sebagai hal utama yang harus diprioritaskan.
ADVERTISEMENT