Kesehatan Indonesia: Antara Pancasila dan Kapitalisme

Sonny Fadli
Dokter - Penulis - Startup Teknologi ITS Founder - CEO Nalanira Nuswantara Medika.
Konten dari Pengguna
13 Juli 2023 9:52 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Sonny Fadli tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi korupsi di bidang kesehatan. Foto: dani daniar/Shutterstock
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi korupsi di bidang kesehatan. Foto: dani daniar/Shutterstock
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Kira-kira sekitar akhir Juni lalu, saya dikirimi foto oleh teman saya. Isinya backdrop kegiatan seminar dengan tajuk Sukarno dan Pancasila di Abad 21. Seketika saya diingatkan bahwa Juni memanglah bulan Bung Karno. Di bulan, Juni beliau lahir dan wafat. Dan, di bulan Juni pula identik dengan lahirnya gagasan Pancasila pada 1 Juni 1945 oleh Sukarno.
ADVERTISEMENT
Bersamaan dengan itu saya dikirimi beberapa teman sejawat berita mengenai peresmian rumah sakit internasional di Depok. Di grup WA dokter lain saya dikirimi update kematian seorang ibu akibat eklamsia (kematian ibu hamil karena tekanan darah tinggi diikuti kejang) di Jawa Barat yang jumlahnya cukup besar dalam satu hari.
Tiga hari berselang saya dikirimi backdrop oleh teman saya, di Twitter saya melihat peresmian patung Presiden Sukarno. Ketiga hal tersebut menjadikan saya untuk berpikir, apakah betul gagasan Sukarno dan Pancasila di abad 21 masih hidup?
Pembangunan rumah sakit internasional, dengan paket tenaga ahli dokter asing, apakah kemudian bisa menjadi lokomotif baru akselerasi percepatan pembangunan kesehatan di Indonesia? Sedangkan secara deskripsi singkat, rumah sakit internasional hanya berada di kawasan ekonomi khusus, hanya mencegah larinya orang-orang kaya berobat ke luar negeri.
ADVERTISEMENT
Adanya rumah sakit internasional tersebut apakah menjawab permasalahan atau kebutuhan masyarakat secara umum termasuk ibu hamil di sekitar yang sewaktu-waktu ada kondisi kegawatan. Konon, berita dari RS internasional lainnya yang dibangun di Bali yang juga dimotori BUMN, di sana jelas disebutkan tidak menerima BPJS.
Sementara di sisi lain, RSUD di Indonesia yang berlabel akreditasi internasional sekalipun—berada di area kawasan ekonomi khusus atau tidak—tidak diperbolehkan melabeli diri dengan rumah sakit internasional, diharuskan menerima pasien BPJS.
Ilustrasi BPJS kesehatan. Foto: Shutter Stock
Baru-baru ini, saya juga melihat upaya untuk melabeli tenaga kesehatan di Indonesia seakan lebih inferior dari tenaga ahli kesehatan dari luar negeri. Pendapat ini dilempar mungkin agar lebih mudah dokter asing masuk.
Tenaga kesehatan atau dokter di berbagai negara memiliki keunggulan masing-masing berdasarkan pengalaman dan epidemiologi penyakit.
ADVERTISEMENT
Saya beri contoh, rekan saya dokter kandungan lulusan asing, tidak pernah melakukan operasi histerektomi atau angkat kandungan saat menempuh pendidikan dokter spesialis di luar negeri, justru mendapat pengalaman saat adaptasi di rumah sakit pendidikan di Indonesia.
Terjadi sebuah kontemplasi. Sebetulnya kesehatan di Indonesia mau dibawa ke mana? Kesehatan kita menganut paham apa, Pancasila atau kapitalisme?
Satu area dibuat konsep universal health coverage yang lebih sejalan dengan pancasila, dengan satu area dibuat konsep rumah sakit internasional yang lebih ke arah kapitalisme murni, melibatkan investor asing dan tenaga ahli dokter asing, bukan untuk kaum marginal, marhaen, atau duafah yang mayoritas membayar iuran BPJS beserta pajak untuk negara.
Ilustrasi pelayanan rumah sakit dan BPJS. Foto: Fanny Kusumawardhani/kumparan
Pancasila dan terjemahan implementasinya sebetulnya sudah pernah dicontohkan oleh presiden Sukarno. Dalam konsep Pancasila tidak menutup pergaulan asing. Artinya tidak pula menutup adanya investasi asing, namun investasi asing yang masih dalam komando Indonesia.
ADVERTISEMENT
Presiden Sukarno mencontohkan dalam upaya nasionalisasi perusahaan asing, disebutkan saham mayoritas harus dimiliki Indonesia sebesar 51 persen. Sama sekali Pancasila tidak anti asing. Namun, memberikan saham mayoritas pada investor asing, terutama di bidang strategis seperti kesehatan haruslah hati-hati.
Lagi-lagi, Sukarno memberikan contoh kemandirian dalam hal kebijakan. Pada tahun 1964 beliau menggelar malam amal untuk penggalangan dana pembangunan rumah sakit kanker. Beliau tidak menyenangi cara-cara tangan di bawah di depan investor asing.
Kembali, patung Presiden Sukarno, hemat saya hanyalah sebuah simbol. Namun, ada hal lain yang lebih penting. Yang diharapkan Presiden Sukarno semasa hidup ialah, generasi penerusnya berjalan di samping, sejajar, atau bahkan di depannya. Artinya, pemikiran dan tindakan dari generasi penerusnya dalam meneruskan landasan negara Pancasila dan UUD 1945 harus tetap menjadi pegangan teguh.
ADVERTISEMENT
Bertanya kembali, apakah Pancasila hanya sebuah hafalan-hafalan statis tanpa ada wujud implementasi dinamis, dan UUD 1945 hanyalah sebuah teks statis tanpa arti, tidak menjadi rujukan dinamis dalam merumuskan suatu kebijakan, suatu regulasi, suatu undang-undang terutama di bidang kesehatan.
Abad 2021, globalisasi, masyarakat ekonomi ASEAN, sebetulnya bentuk baru opendeur politiek yang pernah diterapkan pada pemerintahan Hindia Belanda. Pancasila dimungkinkan akan semakin tenggelam, di berbagai bidang akan ada wacana internasionalisasi, kaum profesional kita dicap sebagai inlander yang rendahan termasuk di bidang kesehatan.
Namun, saya meyakini suatu hari kita akan memahami siapa sebetulnya musuh bersama, sewarna kulit namun menjajah kita. Dan, suatu hari pula kita akan sadar bahwa Pancasila dan UUD 1945 adalah sebaik-baik pegangan untuk berbangsa dan bernegara, sebaik-baik landasan untuk pembangunan kesehatan Indonesia.
ADVERTISEMENT