Konten dari Pengguna

Kuliah Kedokteran di Indonesia Tidak Terjangkau, Di Jaman Hindia Belanda Gratis

Sonny Fadli
Dokter - Penulis - Startup Teknologi ITS Founder - CEO Nalanira Nuswantara Medika.
19 November 2022 12:51 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
2
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Sonny Fadli tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Suasana Kampus STOVIA : Pencetak Dokter Pejuang Pergerakan Nasional Indonesia
zoom-in-whitePerbesar
Suasana Kampus STOVIA : Pencetak Dokter Pejuang Pergerakan Nasional Indonesia
ADVERTISEMENT
Apakah Anda mengenal STOVIA? Cikal bakal kampus kedokteran yang menjadi rahim lahirnya tokoh pergerakan nasional. Tjipto Mangungkusumo, Wahidin Soedirohusodo, dan Dr. Sutomo dan sebagainya.
ADVERTISEMENT
SOVIA merupakan singkatan dari School tot Opleiding van Indische Artsen (Sekolah Pendidikan Dokter Bumiputera), dibentuk oleh pemerintah Hindia Belanda untuk mengejar defisit tenaga dokter untuk mengatasi wabah pada saat itu.
Yang menarik dari STOVIA adalah keturunan pribumi yang diberi kesempatan untuk kuliah kedokteran gratis. Konon mahasiswa yang kuliah kedokteran mendapat tambahan uang saku 15 gulden per bulan. Setelah lulus, mereka ditempatkan di fasilitas kesehatan milik pemerintah pada saat itu.
Tentu narasi sekolah kedokteran gratis di masa pemerintahan kolonial ini akan sulit kita jumpai di negara Indonesia saat ini. Di negara Indonesia yang notabene sudah merdeka tiga perempat abad justru kita jumpai sekolah kedokteran yang semakin tahun semakin mahal. Mereka kaum termarjinalkan sulit mendapat kesempatan yang sama.
ADVERTISEMENT
Padahal sangat jelas tersebut dalam dasar negara, sila kelima pancasila bahwa keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Pendidikan kedokteran pun harus menjangkau segenap potensi pelajar dari sabang sampai Merauke tanpa kecuali, tanpa ada sekat penggolongan ekonomi ningrat dan termarjinalkan.
Di berbagai media cetak atau online bisa kita temukan untuk mencetak lulusan dokter perlu biaya kuliah tidak sedikit dari yakni ratusan juta. Disebutkan biaya pendidikan kedokteran di salah satu kampus negeri terbilang habis 312 juta untuk 12 semester masa studi.
Disalah satu univeritas swasta bahkan menerapkan mahasiswa harus membayar senilai 340 juta rupiah di awal sebagai uang pembangunan dan pengembangan, belum termasuk SPP.
Kenapa kuliah kedokteran mahal? Asumsinya kemungkinan biaya operasional untuk kuliah kedokteran memang sangat besar. Sedangkan anggaran pendidikan 20% dari APBN tidak sepenuhnya memasukkan pendidikan kedokteran sebagai skala prioritas utama yang harus dibantu.
ADVERTISEMENT
Lewat otonomi kampus, masing-masing akan membuat terobosan untuk menambal biaya operasional tersebut dengan membuat skema biaya kuliah mahal bagi mereka yang mampu secara ekonomi, mensubsidi mereka yang kurang mampu.
Namun, ada kekhawatiran, otonomis kampus ini menjadi celah untuk melakukan ‘penyelewengan’ kebijakan akademik, dengan merumuskan segala sesuatu untuk meraih keuntungan. Sekolah kedokteran menjadi perusahaan yang dituntut untuk memperoleh profit.
Dalam hal ini, meskipun sudah jelas ada otonomi kampus, pemerintah tetap harus menunjukkan jati diri sebagai main power terhadap pergeseran dari kuliah kedokteran di jaman Hindia Belanda yang gratis untuk pribumi menjadi kuliah kedokteran yang saat ini seperti bisnis.
Bagaimana mungkin kita bisa menjawab tantangan untuk mencukupi kebutuhan dokter, memenuhi pemerataan tenaga dokter dan menjawab tantangan kesehatan yang ada dengan menerapkan kebijakan kuliah kedokteran materialistis.
ADVERTISEMENT
Tentu secara logika, dokter lulusan kuliah mahal akan enggan untuk ke daerah karena mereka mengeluarkan biaya kuliah sendiri tanpa bantuan pemerintah. Ini juga akan semakin sulit karena ada kampus kedokteran swasta yang super mahal, mendidik lulusannya sebagai entrepreneur. Ini akan menyebabkan shifting sangat lebar bahwa dokter sebagai pengabdi menuju dokter as a bussines man.
Pemerintah harus memberikan subsidi besar-besaran untuk kampus kedokteran di Indonesia, agar pendidikan kedokteran terjangkau untuk segenap lapisan masyarakat. Kita perlu mencetak sebanyak-banyaknya lulusan dokter yang tidak ada ‘beban ekonomi’ akibat biasa kuliah yang mahal.
Penerimaan calon mahasiswa kedokteran tidak harus melihat aspek tunggal kemampuan akademik atau profil ekonominya, tapi harus melihat pertimbangan apakah mahasiswa berasal dari kabupaten atau daerah yang benar-benar membutuhkan dokter, yang kelak benar-benar mau terjun menghadapi wabah penyakit, yang siap menjawab tantangan kesehatan yang ada didaerahnya.
ADVERTISEMENT
Pemerintah Hindia Belanda sudah memberikan contoh demikian. Sepatutnya kita yang sudah merdeka bisa jauh lebih baik.