Konten dari Pengguna

Quo Vadis Organisasi Profesi, Quo Vadis Sistem Kesehatan Indonesia? (2)

Sonny Fadli
Dokter - Penulis - Startup Teknologi ITS Founder - CEO Nalanira Nuswantara Medika.
11 Mei 2023 0:35 WIB
·
waktu baca 7 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Sonny Fadli tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi dokter. Foto: Andrei_R/Shutterstock
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi dokter. Foto: Andrei_R/Shutterstock
ADVERTISEMENT
Saya pada waktu itu sedang di ruang dokter, menunggu pasien yang dibius di kamar operasi yang rencana operasi sesar. Saya membuka video yang tersebar di berbagai platform media sosial, pejabat nomer satu di Kementerian Kesehatan Republik Indonesia mengeluarkan statemen mengenai perbedaan kasta dokter dengan perawat.
ADVERTISEMENT
"Perawat tuh dilihat mohon maaf nggak ada, itu perawat sama dokter tuh, dokter posisinya merasa di sini (di atas), perawat tuh pesuruh dekat-dekat pembantu kalau dilihat, nah itu harus disetarakan, jangan kemudian malah dibedakan, makin jauh, itu nggak boleh," jelas Menkes dalam rapat kerja bersama Komisi IX DPR RI. Selanjutnya Menkes menuturkan di singapura dokter dan perawat setara atau mereka satu tim beda dengan di sini (Indonesia).
Sebagai seorang dokter biasa saya ingin menyampaikan pandangan bahwa kasta dalam pelayanan kesehatan tidak pernah saya lihat sepanjang saya mengabdi. Tugas pertama saya adalah sebagai dokter Internship di Puskesmas Plaosan dan RSUD Sayyiman, Magetan.
Malahan saya selalu ingat, selama bertugas di Puskesmas Plaosan, saya sebagai dokter berposisi setara dengan perawat, tidak ada raja atau pelayan, kami berkolaborasi dalam kegiatan ke masyarakat, pada waktu itu membuat kegiatan bersama di Dusun Ngancar dalam tajuk open defecation free.
ADVERTISEMENT
Begitu pun dalam pelayanan kuratif, saya tidak pernah bisa menangani pasien sendiri di Puskesmas, begitupun rekan perawat, kami kerja kolektif sesuai kewenangan masing-masing. Begitu pun saya mengamati perilaku dokter atau tenaga kesehatan lain, tidak ada indikasi ada raja atau pelayan di puskesmas bahkan seorang kepala puskesmasnya sangat bijaksana, sangat baik dalam mengorganisir stafnya.
Kemudian saya menginjakkan kaki di tanah Papua, lebih tepatnya di Puskesmas Gesa Baru kabupaten Mamberamo Raya, puskesmas ini masuk kategori daerah sangat terpencil di Indonesia. Saya bertugas sebagai dokter PTT Kementerian Kesehatan di geografis yang sangat sulit berupa hutan. Untuk mengakses ke puskesmas tersebut memerlukan perjalanan naik speed boat yang memakan waktu lebih dari sehari dari pusat Kabupaten Mamberamo Raya. Di sana tidak ada sinyal telepon, benar-benar jauh dari hiruk pikuk ibu kota.
Dokumentasi pribadi : Foto saat saya bersama bidan, dan staf Puskesmas Gesa Baru tiba di Kampung Usia Distrik Benuki, Kabupaten Mamberamo Raya. Untuk sampai ke kampung ini memerlukan perjalanan melalui sungai kecil dalam waktu 2-3 hari.
Pada saat saya tiba, hanya dua perawat ditambah saya menjadi tiga orang. Beberapa waktu kemudian ada satu bidan dan satu analis kesehatan ditempatkan di puskesmas yang sama. Kepala Puskesmas di Gesa Baru adalah seorang perawat.
ADVERTISEMENT
Pada waktu itu, saya tidak menuntut bahwa seorang dokter umum harus menjadi kepala puskesmas karena dianggap lebih ahli. Pun begitu satu tahun berjalan saya dipindahkan ke puskesmas lain di mana kepala puskesmas juga berprofesi sebagai perawat. Hal ini tidak menjadi persoalan besar bagi saya.
Nyatanya kita bisa berkolaborasi memberikan yang terbaik kepada masyarakat di pedalaman. Saya dokter umum, bisa menjadi bawahan seorang perawat. No problem. Selama dua tahun, saya tidak melihat perbedaan kasta antara dokter dan perawat seperti yang dinarasikan.
Dokumentasi pribadi : Foto saat saya dan kepala pustu (perawat) merujuk bayi lahir kembar tiga atau triplet melalui sungai mamberamo menuju RS bergerak Mamberampo Raya Papua.
Pun ketika saya kembali menjadi menempuh pendidikan sebagai seorang PPDS atau obstetri dan Ginekologi di FK Unair. Saya kembali menjadi seorang murid, di mana guru pertama saya adalah pasien, guru kedua saya adalah profesor dan staf pengajar lain, guru ketiga saya adalah justru ibu-ibu bidan yang berkolaborasi dengan kami ketika menangani pasien di rumah sakit. Sepanjang saya menempuh pendidikan spesialis, saya tidak melihat narasi perbedaan kasta dokter dengan paramedis baik perawat atau bidan.
ADVERTISEMENT
Saya menjadi penasaran, data dari siapa dan di mana yang berakhir menjadi sebuah konklusi bahwa ada kasta antara dokter dan perawat. Sedangkan di antara dokter dan perawat tidak ada masalah apa-apa.
Dokter-nakes melakukan aksi penolakan terhadap RUU Kesehatan di depan Kantor Kemenkes RI, Jl. Rasuna Said, Kuningan, Jakarta Selatan, Senin (8/5/2023). Foto: Hedi/kumparan
Persoalan kasta itu terjawab pada kenyataan beberapa hari lalu ketika organisasi profesi yang resmi, yang tertulis dalam undang undang, dan diakui negara, mereka Ikatan Dokter Indonesia (IDI) dan Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI), Ikatan Bidan Indonesia (IBI), dan lain-lain menggelar aksi bersama menuntut dihentikannya RUU Kesehatan Omnibus Law. Dokter dan perawat bergandengan tangan.
Saya sangat yakin bahwa statemen ada kasta antara dokter dan perawat hanyalah sampling kecil dalam populasi yang jauh lebih besar. Memang, dalam hubungan interaksi dengan sesama, yang namanya manusia memang tidak sempurna, apa pun profesi atau pekerjaannya pastilah memiliki karakter dokter yang jahat, perawat yang jahat, bidan yang jahat dan lain-lain. Dokter yang memukul perawat, atau perawat yang memukul dokter, atau contoh lain, itu pasti ada. Itu contoh kecil bukan hal yang sifatnya umum.
ADVERTISEMENT
Inti dari hubungan antara dokter dan paramedis adalah kolaborasi. Kolaborasi yang membekas dalam hati saya, yang kelak bisa saya ceritakan kepada anak-anak dan cucu saya adalah kolaborasi yang apik antara kami sebagai dokter bersama perawat, bidan dan tenaga kesehatan lain sewaktu menghadapi Pandemi COVID-19.
Sebelum masuk ke kamar operasi untuk operasi pasien dengan COVID-19, kami dokter dan paramedis tim operasi menggelar doa bersama yang sangat khusysuk untuk keselamatan pasien dan untuk keselamatan diri kita masing-masing.
Kami dokter dan paramedis adalah satu kesatuan yang tidak bisa dipisahkan dalam lingkungan kerja profesional. Dalam praktiknya secara umum dokter sebagai leader untuk memberikan terapi yang tepat atau tindakan yang tepat, apoteker yang menyiapkan obat dari resep dokter, perawat atau bidan membantu untuk menjalankan terapi.
ADVERTISEMENT
Begitupun saat operasi sesar, seorang dokter spesialis kandungan bertugas sebagai operator utama dibantu perawat sebagai asisten. Dokter spesialis kandungan tidak serta merta kemudian bisa menjadi raja menyuruh "Dik perawat titip operasi sesar dikerjakan ya". Tidak mungkin.
Dokter dan perawat mana yang bersesuaian dengan narasi adanya kasta. Atau apa mungkin kasta yang dimaksud adalah gaji? Perihal gaji, dokter, perawat, bidan, dan tenaga kesehatan lain merupakan profesi atau pekerjaan yang sangat penyabar. Kita tidak seperti yang lain yang rutin berunjuk rasa menuntut kenaikan gaji sesuai UMK atau UMP. Saya masih ingat, tahun 2012, saat saya bertugas menjadi dokter internship, gaji atau tunjangan/bantuan hidup dari kemenkes sebesar Rp 1,2 juta. Nominal pada saat itu jauh lebih rendah mungkin dibandingkan gaji perawat. Tapi tidak menjadi persoalan besar, kami tetap terus mengabdi.
ADVERTISEMENT
Saya membaca komentar di akun instagram bapak Menkes, dari akun Muh_azm1, seorang dokter di puskesmas yang curhat selama tiga tahun bekerja, satu tahun kerja beliau kerja di puskesmas, gaji pokok 2 juta rupiah, lainnya dari kapitasi BPJS. Namun rasanya, angka ini pun tidak memiliki perbedaan signifikan dengan besaran gaji paramedis. Isu mestinya jadi isu utama yang jauh lebih penting daripada isu kasta atau bahkan isu bulliying di lingkungan PPDS atau residen yang bukan merupakan ranah utama dari kementerian kesehatan.
Saya paham untuk gol RUU kesehatan dibuat hal-hal kontradiktif yang dilempar di tengah publik. Mendapat simpati publik itu perlu. Namun, kita saat ini sudah menyentuh usia tiga perempat abad sebagai suatu bangsa dan negara, di mana demokrasi kita mestinya jauh lebih matang, proses merancang RUU kesehatan sepatutnya melalui musyawarah mufakat yang baik sesuai dua azimat yakni pancasila dan dan UUD 1945.
ADVERTISEMENT
Kita mestinya bisa sedikit memanusiakan dokter, bidan, perawat, dan tenaga kesehatan yang sudah terwakili oleh masing-masing organisasi profesi yang memiliki persamaan dan tujuan yang sama dengan Kementerian Kesehatan untuk menuju Indonesia Sehat. Mereka perlu dilibatkan karena mereka ada di undang-undang saat ini.
Saya justru melihat sikap kontradiksi Kementerian Kesehatan yang justru dari pemberitaan yang ada justru menyambut beberapa organisasi kesehatan yang pro dengan RUU Omnibus Law, namun di sisi lain menghindari aspirasi dari organisasi profesi yang resmi. Organisasi profesi yang resmi ini memiliki tanggung jawab moril, sejarah yang panjang, dan memiliki kecintaan besar terhadap nasib kesehatan rakyat. Sudah sepatutnya disambut dengan baik dalam perumusan undang-undang yang menyangkut kehidupan orang banyak.
ADVERTISEMENT
Saya sedikit membaca bahwa RUU Kesehatan Omnibus Law memang bernuansa untuk mendukung privatisasi di bidang kesehatan dengan memberi kesempatan yang lebih lapang bagi investor asing. Dokter asing lebih mudah untuk masuk ke Indonesia dengan memangkas aturan-aturan yang sudah ada saat ini. Globalisasi memang menuntut pintu terbuka, meniadakan batas negara dan aturan yang mudah bagi investor asing termasuk bidang kesehatan.
Capitalism in healthcare secara teoritis bisa meningkatkan akses pelayanan kesehatan namun kembali apakah hal tersebut akan sesuai dengan konteks kondisi negara kita?ada aspek negatif lain yang yang mungkin perlu menjadi pertimbangan. Jangan sampai kesehatan dan masyarakat kita dipandang hanya sebagai market, akses berobat di rumah sakit ‘milik asing’ yang berlokasi di Indonesia tetap hanya bisa diakses mereka yang berduit. Sisi lainnya, tenaga kesehatan dalam posisi tidak punya bargaining dan perlindungan yang biasa dinaungi organisasi profesi. Tenaga kesehatan berada di ujung dari sebuah pisau capitalism yang dipegang kaum sana (pemodal asing). Bisa jadi biaya berobat tetap mahal, namun tenaga kesehatan kita berpotensi jadi kaum proletar. Dan terakhir, sudah barang tentu kita masih sangat jauh dari konsep yang dibangun dan didambakan founding father kita, Soekarno, yakni konsep trisakti. Kita hanya jadi kaum follower bahkan di bidang kesehatan.
ADVERTISEMENT
---------------------------------------------------------------
Penulis : dr. Sonny Fadli, M. Ked. Klin., SpOG
Alumni Dokter PTT Kabupaten Mamberamo Raya, Papua
Alumni Dokter PTT Kepulaan Anambas, Kepulauan Riau
Anggota IDI Sidoarjo, Anggota POGI Surabaya