Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Quo vadis Organisasi Profesi, quo vadis Sistem Kesehatan Indonesia
7 Mei 2023 2:08 WIB
·
waktu baca 7 menitTulisan dari Sonny Fadli tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Ramai hiruk pikuk RUU kesehatan Omnibus Law, yang konon organisasi profesi di bidang kesehatan seperti Ikatan Dokter Indonesia (IDI), Persatuan Dokter Gigi Indonesia (PDGI), Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI), Ikatan Bidan Indonesia (IBI), dan Ikatan Apoteker Indonesia (IAI).
ADVERTISEMENT
DPR RI dan Kementrian Kesehatan RI menyusun RUU Kesehatan Omnibus Law yang isinya terkesan ‘mengebiri’ organisasi profesi kesehatan tersebut. Di dalam DIM RUU Kesehatan April 2023 tertulis “Pemerintah mengusulkan dalam UU tidak mengatur mengenai organisasi profesi, karena pada prinsipnya pembentukan organisasi profesi merupakan hak setiap warga negara untuk berkumpul yang telah dijamin dalam UUD 1945, sehingga definisi diusulkan dihapus”. Tentu frase kalimat dalam rancangan RUU tersebut bisa berarti dimungkinkan organisasi profesi tidak lagi tunggal. Bisa jadi akan ada organisasi lain selain IDI. Ada organisasi lain selain IBI dan seterusnya.
Tentu dalam penyusunan undang-undang, apalagi yang terkait dengan profesi kesehatan sangat terkait dengan nasib dunia kesehatan, menyangkut hidup dan matinya mayarakat, maka harus dibuat sengan cara yang sangat hati-hati. Sebuah pertanyaan besar, apakah RUU kesehatan Omnibus Law ini secara umum merupakan sintesis solusi yang berakar dari permasalahan kesehatan di Indonesia atau sebaliknya RUU kesehatan Omnibus Law ini hanya RUU titipan dari golongan atau kelompok tertentu yang memiliki niatan dan kepentingan membuat celah-celah memperkuat bisnis di bidang kesehatan bahkan pendidikannya.
ADVERTISEMENT
Asumsi maupun dugaan negatif, dan sekaligus kekecewaan dari benak sanubari sejawat di organisasi profesi tentu tidak akan bisa dihindari karena mereka memang ditinggalkan begitu saja dalam penyusunan RUU Kesehatan Omnibus Law ini. Hal tersebut akan berbeda apabila Kementrian Kesehatan dan DPR RI melihat organisasi profesi bukan seperti kompetitor atau ancaman mereka.
Saya masih sangat ingat indahnya hubungan antara Kementrian Kesehatan dan organisasi profesi, salah satunya Ikatan Dokter Indonesia (IDI) dalam menghentikan badai pandemi COVID-19. Saya yang waktu itu menjadi residen/PPDS Obstetri dan Ginekologi menjadi saksi bagaimana pandemi ini diatasi oleh semua elemen bangsa termasuk ada peran organisasi profesi seperti Ikatan Dokter Indonesia (IDI), Perkumpulan Obstetri dan Ginekologi (POGI), dan perhimpunan atau perkumpulan dokter spesialis lain. Organisasi profesi sering menelurkan kebijakan atau rekomendasi yang solutif untuk pemerintah, aksi nyata tidak hanya untuk masyarakat tetapi sampai juga keopada residen/PPDS pada waktu itu dengan memberikan bantuan Alat Pelindung Diri (APD), handsanitizer, vitamin, vaksin, pemeriksaan laboratorium, dan sebagainya.
ADVERTISEMENT
Wallahu a'lam bila pemerintah pada saat itu menangani pasien tanpa ada peran organisasi profesi baik Ikatan Dokter Indonesia (IDI), Persatuan Dokter Gigi Indonesia (PDGI), Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI) sebagainya, mungkin bisa jadi kita akan menghadapi pandemi lebih lama, semakin banyak korban jiwa dari sisi masyarakat dan juga nakes. Mungkin tidak akan ada berita gembira di hari ini, pemerintah resmi telah mencabut status pandemi Covid-19.
Sebaiknya, sebelum RUU Kesehatan Omnibus Law disahkan menjadi undang-undang dan dengan yakin meniadakan ekksistensi organisasi tunggal, alangkah baiknya melakukan penelusuran sejarah dari masing-masing organisasi profesi. Seberapa solid mereka hingga sekarang, serta apa peran mereka untuk masyaralat. Namun akan saya ulas singkat terbatas pada Ikatan Dokter Indonesia (IDI), karena latar belakang saya adalah dokter.
ADVERTISEMENT
Ikatan Dokter Indonesia (IDI) berdiri pada tahun 1950, yang sebelumnya terdiri dari beberapa organisasi yang kemudian memiliki semangat yang sama berada dalam kapal besar IDI. Penyatuan ini bukan tanpa alasan, bagaimanapun organisasi tunggal yang memiliki kesamaan nasib, kesamaan visi dan misi akan lebih kuat dan efektif bila mengatur organisasi dalam konsep tunggal. Kemudian, IDI diterima menjadi anggota World Medical Association (WMA) yang menghimpun semua organisasi kedokteran di dunia pada tahun 1953, hanya dua tahun setelah IDI berlayar. Ikatan Dokter Indonesia (IDI) di masa orde baru bahkan mendapat ruang aspirasi karena masuk sebagai utusan golongan atau profesi dalam DPR dan MPR.
Hingga saat ini, atmosfer semangat persatuan dan persaudaraan dokter dalam Ikatan Dokter Indonesia (IDI) masih sangat kuat. Ini tidak hanya terjadi di kota besar, namun mengakar hingga dokter-dokter di pelosok Indonesia. Sejauh ini tidak ada masalah, dinamika internal organisasi di tubuh IDI yang menjadi alasan kuat untuk membuat organisasi profesi tandingan. Tidak ada alsan historis untuk ‘mengebiri’ peran IDI karena masih sangat solid.
ADVERTISEMENT
Upaya menggeser atau membuat kompetitor dari Ikatan Dokter Indonesia (IDI) diduga lahir pasca salah seorang mantan Menteri Kesehatan mendapat sanksi etik dari Majelis Kehormatan Etik Kedokteran (MKEK). Sanksi tersebut berupa rekomendasi tidak bisa melanjutkan praktek dokter atau ‘dipecat’. Bermula dari situ maka muncullah PDSI (Persatuan Dokter Seluruh Indonesia) yang disokong oleh mantan menkes untuk menjadi organisasi profesi tandingan. Bahkan salah seorang Menteri non kesehatan seperti mengeluarkan statemen yang penuh ambisi untuk ‘menghabisi’ IDI dengan ingin memangkas peran IDI dalam hal surat rekomendasi. Sentimentil ini bergulir menjadi RUU Kesehatan Omnibus Law.
Organisasi profesi advokat mungkin berharap solid sebagaimana organisasi profesi dokter, mereka membentuk Perhimpunan Advokat Indonesia (PERADI). Namun, dinamika internal organisasi mereka menjadikan PERADI pecah menjadi organisasi profesi advokat tidak sampai 10 tahun didirikan. Jelas, dalam hal ini Ikatan Dokter Indonesia (IDI) harus diakui sepanjang seharah lebih solid bila dibandingkan organisasi profesi advokat.
ADVERTISEMENT
Narasi negatif sengaja dihembuskan untuk memberi stempel pengesahan bahwa IDI harus ‘dikebiri’. Mulai dari tuduhan berbisnis dengan menerapkan iuran yang mahal ke anggotanya. Padahal iuran IDI satu bulan hanya 30 ribu rupiah. Nominal yang hampir setara dengan iuran organisasi profesi PERADI yang berkisar 25 ribu bahkan ada yang 50 ribu rupiah per anggota, sesuai dengan kebijakan DPC PERADI.
Hembusan narasi negatif lain yakni, anggota IDI harus mengumpulkan Satuan Kredit Profesi (SKP) untuk memperpanjang Surat Tanda Registrasi (STR) yang dikeluarkan Konsil Kedokteran Indonesia (KKI). STR ini untuk mengurus Surat Ijin Praktek (SIP) yang diperbarui tiap lima tahun.
Dokter dituntut untuk memenuhi SKP dalam kurun waktu tesebut baik berupa kegiatan seminar, pelatihan dan sebagainya, baik acara yang berbayar atau tidak. Bagi saya, penerapan SKP untuk memperbarui praktek sejalan dengan filosofi dokter sebagai long life learner, seorang pembelajar sepanjang hayat. Dokter wajib untuk update ilmu dan skill agar tidak merugikan pasien.
ADVERTISEMENT
Bila pun ada biaya administrasi yang dikeluarkan untuk mendapat SKP itu pun tidak ada yang dirugikan. Dokter yang membayar seminar ber-SKP juga mendapat fasilitas yang setara dalam event yang diselenggarakan. Misalkan mau mengikuti seminar ber-SKP yang gratis juga ada seperti yang rutin diselenggarakan oleh Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Cabang Surabaya dalam event DOLAN, acara Tanya Apa Saja dari Perhimpunan Obstetri dan Ginekologi (POGI) Surabaya, dan sebagainya.
Yang penting, biaya administrasi dari penerbitan SKP dari IDI tersebut digunakan sesuai AD ART, untuk kemaslahatan anggota IDI, seperti advokasi bila anggota ada masalah hukum, kegiatan sosial ke masyarakat, dan lain-lain. Rasanya, organisasi profesi lain non kesehatan pun punya kegiatan serupa hanya tidak memiliki konsep SKP yang terstruktur seperti di IDI.
Saya mengamati sejauh ini belum ada pengurus Ikatan Dokter Indonesia (IDI) yang ditangkap akibat korupsi kas yang didapatkan dari anggota IDI atau dari pemasukan lainnya. Dan saya melihat akuntabilitas dari pengelolaan keuangan karena terdapat audit eksternal terhadap anggaran IDI.
ADVERTISEMENT
Kementrian Kesehatan RI mestinya melihat organisasi profesi sebagai sahabat, sebagai partner, sebagai sejawat untuk memajukan kesehatan di Indonesia. Saya membaca DIM RUU Kesehatan Omnibus Law terdapat potensi pasal-pasal yang tidak matur dan tidak urgen, pasal yang tidak bersumber dari masalah utama yang ada di tengah masyarakat, serta berpotensi menjadi masalah baru yang merugikan insan organisasi profesi yang notabene adalah ‘saudara kandung’ dan merugikan masyarakat Indonesia dari ujung barat hingga ujung timur Indonesia.
Mestinya kita semua duduk bersama, menelaah bersama, merumuskan bersama. Mestinya kita lebih mudah membedakan mana hitam atau putih, mana yang penting dan mana yang tidak setelah pandemi COVID-19 lalu menunjukkan bagaimana rapuhnya kesehatan kita pada suatu titik. Namun pada akhirnya kita bisa bangkit karena pada adanya persamaan nasib, kebersamaan, persatuan, dan saling berkolaborasi. Pekerjaan rumah kita masih terlalu banyak seperti upaya penurunan angka kematian ibu dan bayi, pencegahan stunting, gaji nakes jauh dari standar dan lain-lain. Quo vadis Organisasi Profesi, quo vadis sistem kesehatan Indonesia.
ADVERTISEMENT
Penulis :
dr. Sonny Fadli, M. Ked. Klin., SpOG
Alumni Dokter PTT Kabupaten Mamberamo Raya - Papua
Alumni Dokter PTT Kabupaten Kepulauan Anambas - Kepulauan Riau
Anggota IDI Sidoarjo, Anggota POGI Surabaya