Ada Apa dengan Rohingya?

Sonny Majid
Penggiat kajian, Nahdliyyin, Pengajar
Konten dari Pengguna
2 September 2017 16:01 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Sonny Majid tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ada Apa dengan Rohingya?
zoom-in-whitePerbesar
ADVERTISEMENT
Foto: Dok. BBC
Kompleks, pelik, itu mungkin dua kata yang tepat membayangkan krisis kemanusiaan yang dialami etnis Rohingya di kawasan Rakhine, Myanmar. Jadi jangan langsung dijustifikasi, bahwa yang terjadi disana murni konflik agama. Sudah banyak informasi yang menyebutkan insiden kemanusiaan di wilayah dekat perbatasan Bangladesh tersebut murni konflik agama, dikait-kaitkan Budha yang mayoritas menindas etnis Rohingya yang notabene-nya Islam. Padahal tidak segampang apa yang kita bayangkan.
ADVERTISEMENT
Dengan keterbukaan informasi melalui teknologi saat ini, sudah sepatutnya kita semua bertindak memverifikasi kebenaran sebuah informasi. Jangan sampai rujukan yang kita pakai, adalah hoax. Alangkah berbahayanya kita semua jika begitu mudah memercayai informasi tanpa harus melakukan kedisiplinan dalam memverifikasi tadi. Terlebih jika informasi tersebut, diperoleh dari sumber-sumber yang belum tentu berkompeten, atau dalam istilah jurnalistik, bukan lingkar sumber.
Kenapa diawali dari kata “kompleks” di awal tulisan ini. Ya, lantaran jika melihat krisis Rohingya, sangat banyak variabelnya. Jika sebelumnya, Pimpinan Pusat GP Ansor menerbitkan pendapat bahwa yang terjadi disana adalah perseteruan ekonomi yang melibatkan banyak negara. Di mana kawasan Rakhine disebut-sebut memiliki banyak kekayaan gas alam dan minyak. Ya, itu sah-sah saja, tetapi satu dari variabel.
Pengungsi Rohingya (Foto: Reuters)
zoom-in-whitePerbesar
Pengungsi Rohingya (Foto: Reuters)
Kemudian BBC pernah melaporkan tentang rekam jejak etnis Rohingya kenapa bisa tinggal di wilayah Rakhine. Karena mereka terusir dari Bangladesh yang disebut-sebut masih satu ras dengan negara yang didominasi beragama Islam dan Hindu tersebut. Dalam laporan tersebut etnis Rohingya yang masuk wilayah Myanmar, diberi tanda menggunakan identitas atau keterangan menetap yang disebut dengan “kartu putih.”
ADVERTISEMENT
Kartu putih yang tertera batas akhir domisili itu diberikan kepada para pengungsi etnis Rohingya selain sebagai pencatatan administrasi kependudukan, kebetulan Myanmar ingin menggelar Pemilu. Dengan kartu putih tadi, etnis Rohingya boleh memberikan hak suaranya. Lantas apa sanksinya jika batas waktu kartu putih itu habis, warga Rohingya ditangkap kemudian dipenjara. Soal kartu putih inilah yang juga oleh beberapa pejabat setempat dijadikan alasan kenapa etnis Rohingya kabur dari Myanmar. Ternyata mereka takut tertangkap aparat di sana dan kemudian dipenjara. Ini juga variabel.
Variabel lainnya mungkin kita bisa memasukkan pendapatnya Ito Sumardi, Dubes RI untuk Myanmar sebagaimana ditulis oleh Tomi Lebang di laman Facebook-nya. Ito mengatakan, bahwa Myanmar sudah lama menjadi negara tertutup dan sangat lama di bawah kekuasaan junta militer. Masalah di Rakhine menurutnya sangatlah pelik. Konflik bersenjata terjadi dimana-mana, termasuk dengan etnis beragama Budha yang didukung negara-negara perbatasan. Jangankan soal konflik tersebut, mengatasi masalah peredaran narkotika di kawasan segi tiga emas itu saja sudah sulit. Apa masalah yang kini tengah dihadapi Myanmar? Ito gambarkan, di Rakhine saja pemerintah Myanmar menghadapi dua kekuatan bersenjata, yaitu ARSA yang Islam dan Arakan Independent Army yang Budha.
ADVERTISEMENT
Lalu di wilayah Shan, pemerintah Myanmar menghadapi Shan Independent Army yang didukung oleh China. Di Provinsi Kachin, lagi-lagi pemerintah Myanmar harus berhadapan dengan Kachin Independent Army yang dipimpin oleh seorang mantan kolonel pasukan khusus China. Kachin disebut-sebut daerah batu mulia dan sumber mineral. Di Irawady pemerintah Myanmar kembali menghadapi Wa Ethnic Army yang persenjataannya jauh lebih modern dari Tatmadaw. Mereka bahkan punya pabrik senjata sendiri, peralatan udara dan sumber dananya dari narkotika. Terakhir di wilayah Kokan Myanmar juga bertemu dengan pasukan Khunsa yang mengusai “golden triangle” dengan persenjataan modern dari Thailand.
Untuk itu Pemerintah Indonesia telah meminta kepada Pemerintah Myanmar untuk mengembalikan kondisi keamanan di Rakhine, dengan tidak menggunakan kekerasan. Kemudian mengingatkan kewajiban Pemerintah Myanmar untuk melindungi semua umat terlepas dari etnisitas dan agamanya ditambah desakan kepada Pemerintah Myanmar untuk membuka akses bantuan kemanusiaan.
ADVERTISEMENT
Memang benar-benar kompleks, pelik. Semoga ini menjadi perspektif lain soal krisis di sana.