Konten dari Pengguna

Bagaimana Islam Berhubungan dengan Non Muslim, Berikut Pandangan Kyai Ma’ruf Amin

Sonny Majid
Penggiat kajian, Nahdliyyin, Pengajar
6 Desember 2018 2:52 WIB
clock
Diperbarui 14 Maret 2019 21:04 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Sonny Majid tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Bagaimana Islam Berhubungan dengan Non Muslim, Berikut Pandangan Kyai Ma’ruf Amin
zoom-in-whitePerbesar
ADVERTISEMENT
KH Ma'ruf Amin bersama Gubernur Sulawesi Utara, Olly Dondokambey dan sejumlah tokoh lintas agama usai menggelar forum silaturahim tokoh lintas agama di Rumah Jabatan Gubernur, Kota Manado.
ADVERTISEMENT
SAMPAI detik ini kita masih disuguhkan tentang isu-isu bernuansa SARA dalam kehidupan bersosial masyarakat. Dalam konteks berinteraksi, Islam sendiri telah mengajarkan tentang bagaimana pola hidup (berhubungan dengan non Muslim). Pada kesempatan ini, saya ingin sedikit menyampaikan pandangan Kyai Ma’ruf Amin terkait hubungan Muslim dan non Muslim yang sempat sedikit saya catat, dari beberapa kali pertemuan saya dengan Kyai Ma’ruf, yang sampai hari ini masih menjadi Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI).
Diawali dengan penjelasan Kyai Ma’ruf yang mengungkap kajian literatur fikih. Dari kajian fikih tersebut kita bisa menemukan bahwa non Muslim adakalanya dikategorikan sebagai “kafir harbi” (yang boleh diperangi). Adakalanya dikategorikan “Kafir Dzimmi” (tidak boleh diperangi).
“Dari dua kategori tadi memiliki ketentuan masing-masing.” Seperti ketentuan “kafir harby” lanjut Kyai Ma’ruf, hanya berlaku pada kondisi tertentu yang sangat terbatas. Ia menyontohkan perlawanan vis a vis antara Muslim dan non Muslim. Di luar atau selain dalam keadaan tersebut, maka yang berlaku adalah ketentuan “kafir dzimmi.”
ADVERTISEMENT
Lantas bagaimana dalam konteks di Indonesia kyai,? Karena rasa penasaran, saya memberanikan diri untuk bertanya. Kyai Ma’ruf menjawab, dalam konteks Indonesia, para ulama tidak memosisikan non Muslim dengan dua kategori tersebut. Kenapa demikian? Karena para ulama memahami Indonesia bukan merupakan negara agama (Islam).
Pandangan ulama di Indonesia, ditambahkan Kyai Ma’ruf adalah memilih posisi antar-umat beragama sebagai sesama warga bangsa, yang bersepakat untuk mengikat janji hidup damai di dalam naungan Bangsa dan Negara (mu’ahadah, muwatsaqah).
Jadi Islam menurutnya, mengakui eksistensi agama lain sebagaimana pada masa nabi juga diakui eksistensi agama selain Islam, antara lain Yahudi, Nasrani dan Majusi. Dalam konteks berbangsa dan bernegara, setelah Proklamasi 1945, Islam memandang posisi umat beragama sebagai sesama bagian warga bangsa yang terikat oleh komitmen kebangsaan, sehingga harus hidup berdampingan secara damai.
ADVERTISEMENT
Bagaimana dengan pola relasi di wilayah mayoritas muslim? Kyai Ma’ruf menjelaskan, terkait dengan pola itu, relasi antara umat Muslim dengan non Muslim di daerah mayoritas non Muslim, dalam arti Muslim menjadi minoritas, Allah Swt sudah memberikan panduannya di dalam Surat Ali Imron: 28, yang berbunyi, “Dan barang siapa berbuat demikian, niscaya lepaslah ia dari pertolongan Allah, kecuali karena (siasat) memelihara diri dari sesuatu yang ditakuti dari mereka.....”
Imam at-Thabari dalam karyanya “Jami al-Bayang fi Takwil al-Quran yang menjelaskan ayat tersebut menegaskan: “Maksud yang lebih kuat dari ayat tersebut adalah bahwa mereka memang benar-benar takut. Dan maksud takut (taqwa) dalam ayat itu, adalah takut terhadap orang-orang kafir, bukan terhadap lainnya.”
ADVERTISEMENT
Penjelasan ayat tersebut lagi-lagi disinggung ar-Razi dalam tafsirnya “Mafatih al-Ghaib” yang menyatakan:
“Yang dimaksud taqiyah adalah seperti ketika seseorang berada di lingkungan mayorias orang-orang kafir, dan orang tersebut khawatir akan keselamatan dirinya dan hartanya, lalu dalam lisannya dia menyatakan tidak adanya permusuhan dengan orang-orang kafir, malah dia boleh menampakkan ucapan senang dan pertemanan. Akan tetapi hal itu dengan syarat harus menyimpan perasaan sebaliknya, dan mengingkari setiap yang dia ucapkan. Karena sesungguhnya taqiyah disini imbasnya hanya secara dhahir saja, tidak di dalam hati.”
Kyai Ma’ruf mengutip lagi Surat an-Nahl: 106 berbunyi:
“Barang siapa yang kufur kepada Allah sesudah dia beriman (dia mendapat kemurkaan Allah), kecuali orang yang dipaksa kufur padahal dalam hatinya tetap tenang dalam beriman (dia tidak berdosa).”
ADVERTISEMENT
Kemudian Kyai Ma’ruf mengutip Al-Qurthubi dalam “Al Jami’ Liahkam al-Quran.” Di dalam tafsir tersebut ia menegaskan, para ulama sepakat, barang siapa dipaksa untuk kufur sampai ada ancaman bahwa dia akan dibunuh, lalu dia menyatakan kufur sedangkan hatinya tetap beriman, maka dia tidak berdosa. Dan ketika dia tidak menyatakan kepada istrinya maka orang seperti itu tidak dihukumi dengan hukum kufur.”
Dengan begitu, Kyai Ma’ruf mencoba menarik kesimpulan dari rangkaian pendapat para ahli tafsir tadi, posisi umat Islam di Negara dimana umat Islam menjadi minoritas, dan dia mendapat kesulitan jika memunculkan identitasnya, maka boleh baginya untuk mengikuti aturan-aturan Negara tersebut dengan tetap menjaga keimanannya walaupun secara tersembunyi.