Politik Primordial vs Penguatan Identitas Nasional

Konten dari Pengguna
29 April 2019 21:31 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Sonny Soeharso tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Sonny Y. Soeharso
Ilustrasi Surat Suara Pemilu 2019. Foto: ANTARA FOTO/M Agung Rajasa
Primordil atau Primordialisme berasal dari kata Bahasa Latin 'primus', yang artinya 'pertama'; dan 'ordiri', yang artinya 'tenunan atau ikatan'. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), primordialisme adalah perasaan kesukuan yang berlebihan.
ADVERTISEMENT
Ikatan seseorang pada kelompok yang 'pertama' dengan segala nilai yang diperolehnya melalui sosialisasi dan internalisasi.
Sikap primordial, di satu sisi, memiliki fungsi untuk melestarikan budaya kelompok. Namun di sisi lain, sikap ini dapat membuat individu atau kelompok memiliki sikap etnosentrisme, yaitu suatu sikap yang cenderung bersifat subjektif dalam memandang budaya orang lain.
Kelompok akan selalu memandang budaya orang lain dari kacamata budayanya. Hal ini terjadi karena nilai-nilai yang telah tersosialisasi sejak kecil sudah menjadi nilai yang mendarah daging (internalized value) dan sangatlah susah untuk berubah dan cenderung dipertahankan bila nilai itu sangat menguntungkan bagi diri/kelompok/etnis atau agamanya.
ADVERTISEMENT
Dalam konteks etnisitas, perasaan primordial itu diwujudkan dalam bentuk etnosentris dan entrosentrisme. Etnosentris adalah kecenderungan untuk melihat dunia melalui filter budaya sendiri. Istilah ini sering dipandang negatif, yang didefinisikan sebagai ketidakmampuan untuk melihat orang lain dengan cara di luar latar belakang budayanya sendiri.
Ilustrasi suasana saat pencoblosan pemilu 2014. Foto: AFP/ROMEO GACAD
Terdapat dua jenis etnosentris. Pertama, etnosentris infleksibel, yakni suatu sikap yang cenderung bersifat subjektif dan inward looking dalam memandang budaya atau tingkah laku orang lain. Kedua, etnosentris fleksibel, yakni suatu sikap yang cenderung menilai tingkah laku orang lain tidak hanya berdasarkan sudut pandang budaya sendiri, tetapi juga sudut pandang budaya lain.
ADVERTISEMENT
Tidak selamanya primordial merupakan pikiran, sikap, dan tindakan yang salah. Namun, bisa jadi meyakini sesuatu yang harus dipertahankan mati-matian sebagai warisan satu-satunya yang paling 'benar'. Dalam sudut pandang ajaran (ritual), misalnya, perilaku primordialisme merupakan unsur terpenting, saat memberlakukan ajaran intinya.
Primordialisme dapat pula ditelusuri secara filosofis melalui ide-ide dari Romantisisme Jerman, terutama dalam karya-karya Johann Gottlieb Fichte dan Johann Gottfried Herder. Bagi Herder, bangsa itu identik dengan kelompok bahasa. Dalam pemikiran Herder itu, bahasa adalah identik dengan pemikiran, dan karena setiap bahasa yang telah dipelajari di masyarakat, maka masyarakat 'diharuskan' memiliki cara berpikir yang berbeda pula. Hal ini menunjukkan bahwa dalam setiap kelompok-kelompok masyarakat, mereka tetap mempertahankan sifat primordialnya dari waktu ke waktu.
ADVERTISEMENT
Indonesia yang terdiri dari ribuan pulau, ratusan suku bangsa, dan ribuan bahasa daerah sejatinya merupakan 'sarang' primordialisme itu sendiri. Sifat dan sikap primordial itu faktanya memang masih ada dan hidup di masyarakat kita hingga saat ini.
Belajar dari pengalaman Pilpres 2014 dan Pilkada 2017, yang punya tujuan memenangkan kontestasi politik, baik di tingkat nasional maupun lokal (daerah), isu-isu tentang latar primordial calon (presiden/gubernur/bupati) terbukti dipolitisasi dan direkayasa dan sempat terjadi keterbelahan di tengah masyarakat berdasarkan in-group vs out-group.
Simpatisan PKS saat Prabowo Subianto kampanye di Bandung (11/4/2019). Foto: AFP/Timur Matahari
Secara psikologis, politisasi primordial juga menyisakan residu di kubu kelompok yang kalah, karena mengalami 'trauma mental' berkepanjangan, akibat teror, intimidasi, dan pelayanan (othering) oleh kubu kelompok 'lawan politik'. Di sisi lain, kelompok pemenang akan mengambil seluruh kesempatan mendapatkan 'kue' pembangunan tanpa menyisakan sedikitpun bagi kelompok yang kalah (the winner takes all).
ADVERTISEMENT
Hal itu diharapkan tidak terjadi lagi di Pilkada serentak 2018 dan Pilpres serta Pileg 2019 yang akan datang, karena alih-alih menikmati pesta demokrasi, yang terjadi adalah derita dan trauma psikis yang dapat menggangu “ke-Indonesia-an” kita.
Pilpres dan Pileg Untuk Menyejahterakan Rakyat
Tujuan akhir pesta demokrasi sejatinya, tidak hanya berhenti sampai pada memenangkan kontestasi dan kompetisi, apalagi dengan menghalalkan segala cara. Ada tujuan yang lebih mulia yaitu melaksanakan misi embanan bangsa yang termaktub dalam mukadimah UUD 1945 yaitu, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, melindungi segenap tumpah darah dan bangsa Indonesia serta ikut dan berperan aktif dalam menciptakan perdamaian dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial guna mencapai visi bersama mewujudkan masyarakat yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur.
Ilustrasi Pemilu. Foto: Sabryna Putri Muviola/kumparan
Dalam memajukan kesejahteraan umum yang dimaksud tadi, tidak saja memenuhi kebutuhan material tetapi juga kesejahteraan psikologis (psychological well being) untuk semua warga negara.
ADVERTISEMENT
Pilkada seharusnya menjadi arena pertandingan untuk memperjuangkan ide/gagasan bagaimana berlomba mewujudkan visi dan misi kemerdekaan itu lima tahun ke depan. Sebaliknya, bukan untuk “menghancurkan” lawan politik yang notabene adalah saudara sebangsa dan setanah airnya sendiri, dengan menebarkan isu SARA di ruang-ruang publik dan media sosial, sebagai cara yang “ampuh” memenangkan kontestasi politik, karena minim gagasan brilian. Akibatnya tidak saja terjadi “pembunuhan” karakter lawan politik namun terjadi kerawanan dan erosi terhadap bangunan rumah besar NKRI dan identitas nasional sebagai bangsa Indonesia.
Pelemahan Identitas Nasional
Indonesia dibangun oleh para para bapak dan ibu pendiri bangsa yang berlatar dari para tokoh nasionalis, tokoh agama, kaum intelektual dan sebagainya, bukan dilandaskan atas kesamaan suku bangsa, kesamaan sosial budaya ataupun agama yang bersifat primordial.
ADVERTISEMENT
Presiden pertama Indonesia Soekarno tegas menyatakan: “Kita ingin mendirikan satu negara, semua buat semua, bukan satu negara untuk satu orang, bukan satu negara untuk satu golongan, walaupun golongan kaya. Tetapi kita mendirikan negara “semua buat semua”. Pernyataan tersebut bahkan diingatkan kembali oleh Presiden Joko Widodo pada HUT ke-44 PDI Perjuangan di Jakarta (10/1/2017). Presiden Joko Widodo sangat mengapresiasi berdirinya "Rumah Kebangsaan untuk Indonesia Raya" yang dinilai, sangat dekat dengan kebutuhan bangsa Indonesia saat ini.
Simpatisan Partai Golongan Karya (Golkar) Foto: ANTARA FOTO/Muhammad Adimaja
Dalam perspektif ketahanan nasional, kita menyadari di era globalisasi ini, konstelasi geopolitik dan geostrategi Indonesia menghadapi semakin tingginya tantangan, gangguan dan hambatan serta perebutan kepentingan negara-negara di kawasan Asia Pasifik. Upaya-upaya untuk memperkokoh kebangsaan, kedaulatan, kemandirian dan kepribadian bangsa tidak serta merta mulus mewujudkannya. Ada saja pihak-pihak baik di dalam negeri sendiri maupun luar negeri yang tidak menghendaki Indonesia semakin kuat, mandiri dan berjaya.
ADVERTISEMENT
Mengapa itu bisa terjadi ? Salah satu titik lemah (G spot) kebangsaan kita adalah belum kokohnya bangunan masyarakat kebangsaan Indonesia kita sebagai “identitas diri baru” dalam wadah politik NKRI. Sebagai bangsa yang multikultural seharusnya kita mengembangkan budaya dan struktur kognisi “kekitaan”, ketimbang “keakuan” dan “kekamian”; namun dalam keseharian kita justru secara sadar mempraktikan budaya “mono kultural”.
Kita lebih merasa nyaman dan diterima jika berada pada komunitas primordial kita. Keterikatan kebangsaan kita kepada identitas nasional, belum sekuat keterikatan kita pada pengalaman “pertama” kita sebagai bagian dari suku bangsa atau agama tertentu. Padahal berbagai riset yang menunjukkan tidak DNA asli Indonesia, yang ada DNA campuran (fusion).
Bahkan agama-agama yang ada saat inipun di “import” dari negara lain dan mengalami inkulturasi dengan budaya dan agama lokal. Dalam konteks pilkada kita sering “terjebak” pada pilihan-pilihan yang justru memperkuat identitas primordial kita. Kita merasa lebih nyaman memilih pemimpin yang memiliki ciri-ciri primordial yang sama dengan kita baik dalam hal suku, adat budaya dan agama.
ADVERTISEMENT
Sejarah membuktikan, keberhasilan negara-negara bekas jajahan membangun bangsanya sendiri, salah satunya tergantung pada apakah mereka dapat mengatasi dan mengurus primordialisme lokal ini. Para pendiri bangsa yang diatasnamakan Soekarno-Hatta sungguh sadar akan hal ini. Maka rumusan ideologi nasional Pancasila, yang digali dari budaya nusantara yang multiprimordial itu terbukti dapat mengatasi dan mengelola keragaman partikularisme ini.
Massa pendukung calon presiden nomor urut 02, Prabowo Subianto mengibarkan bendera saat melakukan kampanye akbar. Foto: Reuters/Willy Kurniawan
Pancasila selain sebagai ideologi, dasar negara, juga merupakan pandangan hidup bangsa dan budaya bangsa Indonesia, secara psikologis merupakan upaya terobosan kreatif yang sangat relevan dan cocok untuk menata dan mengatur berbagai latar partikularisme.
Pancasila mampu mengakomodasi keberagaman itu tanpa ada yang merasa lebih unggul dibandingkan dengan yang lainnya. Bahkan ketika para pemuda mengikarkan “Soempah Pemoeda”, pada 28 oktober 1928, meraka tidak mempertanyakan latar belakang para pemimpinnya, tidak ada kata “mayoritas” dan “minoritas”, apalagi dominasi mayoritas atas tirani minoritas, tak ada dalam sejarah perjuangan bangsa.
ADVERTISEMENT
Jika pada saat itu, sikap etnosentris masyarakat Jawa muncul, niscaya bahasa yang kita gunakan saat ini adalah bahasa Jawa. Tapi nyatanya tidak demikian, karena sikap toleransi dan empati serta demi kepentingan “bangsa” yang lebih luas, akhirnya disepakati menggunakan bahasa melayu kecil yang sudah familiar di kalangan masyarakat nusantara saat itu, menjadi bahasa Indonesia.
Pendukung Capres dan Cawapres nomor urut 01, Joko Widodo (Jokowi)-Ma'ruf Amin mengikuti Konser Putih Bersatu dalam rangka Kampanye Akbar di Gelora Bung Karno (GBK), Jakarta, Sabtu (13/4). Foto: ANTARA FOTO/Nova Wahyudi
Para pendiri bangsa menyadari betul bahwa Indonesia yang baru itu bukanlah negara yang dibangun atas dasar kesamaan etnis (ethnic nation), juga bukan negara yang dibangun atas dasar kesamaan wilayah (nation state). Tapi Indonesia sebagai negara yang terdiri dari beragam suku bangsa dan agama (civic nation).
Dalam mengurus Indonesia sebagai suatu civic nation harus dihindarkan untuk menonjolkan hegemonik terhadap salah satu unsur budaya “mayoritas” atau “minoritas”. Peranan penyelenggara negara dan para politisi adalah menciptakan dan mengurus ruang-ruang publik bersama-sama untuk membangun Indonesia yang “baru”.
ADVERTISEMENT
Upaya-upaya untuk membangun identitas nasional Indonesia yang baru itu tidak dapat diwujudkan dengan pendekatan seperti masa orde baru yaitu dengan menekan ekspresi-ekspresi primordial “identitas lokal”, sembari menekankan pentingnya identitas nasional yang dipaksakan.
Namun disisi yang lain, politisasi primordial dalam Pilkada dengan memainkan sentimen “identitas lokal” yang primordial itu juga sangat membahayakan bagi kohesivitas sosial dan proses pembentukan identitas nasional yang masih terus berproses. Eksistensi wadah politik kita bernama NKRI dapat terganggu.
Jika politisasi primordial ini terus dimainkan oleh tangan-tangan tak bertanggungjawab maka proses identifikasi kita kepada pembentukan identitas nasional Indonesia yang “baru” itu setiap saat menghadapi tarikan “gravitasi” dan guncangan “turbulensi” akibat adanya benturan antara nilai-nilai primordial dan nilai-nilai nasional berdasarkan Pancasila.
ADVERTISEMENT
Menciptakan Kebanggaan Sebagai Bangsa
Penguatan identitas nasional dapat terjadi melalui proses yang alami namun dikelola secara sistematis dan diletakkan di atas dasar keberagaman “identitas lokal” di atas. Jadi antara keterikatan pada identitas primordial dan keterikatan pada identitas nasional harus berkelindan dan saling mendukung. Politisasi primordial memutus relasi psikologis antara identifikasi masyarakat kepada identitas nasionalnya.
Reproduksi identitas nasional dapat terjadi melalui peristiwa-peristiwa rutin dan banal (dalam arti positif) dalam kehidupan sehari-hari masyarakat. Wujud yang paling nyata adalah pemenuhan atas hak-hak warga negara di bidang adminstrasi sipil, politik, ekonomi, pendidikan dan kesehatan.
Misalnya, kemudahan memperoleh kartu sehat dan pelayanan kesehatan di puskesmas atau RSUD, kemudahan menyekolahkan anak, kemudahan dan kelancaran transportasi ke dan dari tempat kerja, kemudahan mengurus surat-surat tanah di kelurahan dan lain sebagainya.
ADVERTISEMENT
Kebijakan menyamakan harga BBM di Jawa dan di Papua yang dilakukan oleh Presiden Jokowi, merupakan salah satu bentuk perwujudan dalam rangka membangun kebanggan terhadap identitas nasional terutama bagi masyarakat Papua menjadi bagian tak terpisahkan dari NKRI.
Foto udara jalan Tol Medan-Kualanamu-Tebing Tinggi. Foto: Dok. Jasa Marga
Pembangunan wilayah dan gerbang-gerbang di wilayah perbatasan, dan pembangunan infrastuktur di seluruh Indonesia menimbulkan kebanggaan tersendiri bagi seluruh warga bangsa. Proses peradilan yang objektif, transparan, adil dan dilandasi oleh semangat kebangsaan yang tinggi akan menimbulkan kebanggaan dan ikatan emosi yang mendalam terhadap identitas nasional kita.
Maka hanya dalam kerangka politik, hukum dan ekonomi yang adil dan jelas, identitas nasional yang kuat akan dapat tercipta. Identitas ini bukan identitas yang pasif karena ia akan terus berkembang bersamaan dengan dinamika perkembangan realitas politik, hukum dan ekonomi negara serta diaikia interaksi antar kelompok anak bangsa sendiri.
ADVERTISEMENT
Hal ini mengindikasikan bahwa Indonesia bukanlah sesuatu yang terpaku, diam dan beku dalam dimensi waktu, melainkan sesuatu yang cair, terus berkembang, berubah namun memiliki visi dan misi yang tetap seperti yang termaktub dalam mukadimah UUD 1945 alinea ke empat.
Dibutuhkan keseriusan dari para penyelenggara negara dan kesadaran warga negara untuk terus memperjuangkan Indonesia, untuk mewujudkan sebagaimana dibayangkan oleh grup band termasyur Indonesia “Koes Plus” dalam lagu “nusantara” dan “kolam susu”. Salam Pancasila, Merdeka !
Sonny Y. Soeharso Mantan Deputi Kepala UKP-PIP Bidang Pengendalian dan Evaluasi Alumni PPRA 46 Lemhannas RI. Dosen Fakultas Psikologi, Uiversitas Pancasila, Jakarta