Konten dari Pengguna

Feodalisme Pendidikan di Indonesia: Tantangan Struktural dan Relevansi Pemikiran

Muhammad Sopiyan
Mahasiswa Ilmu Politik Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Muhammadiyah Jakarta
8 Mei 2025 11:41 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Muhammad Sopiyan tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Feodalisme sejatinya merupakan sistem sosial dan politik yang menekankan antara hubungan atasan-bawahan, di mana para bangsawan dan tuan tanah memiliki kekuasaan mutlak atas kaum proletar dan kaum jelata lainnya.
ADVERTISEMENT
Sistem ini pada hakikatnya didasarkan pada kepemilikan tanah dan hubungan sosial yang berakar pada kebangsawanan. Dalam feodalisme, penguasa (biasanya raja atau bangsawan) memberikan perlindungan dan keamanan kepada rakyatnya, dan sebagai imbalannya, rakyat memberikan pelayanan dan ketaatan.
Dewasa ini feodalisme pendidikan tercermin pada praktik di mana seorang guru atau pengajar memiliki kekuasaan yang absolut atas siswa dalam proses pendidikan, sementara siswa dianggap sebagai objek pasif yang hanya perlu mendengarkan dan mengikuti semua arahan dan perintah dari sang pengajar. Prinsip ini merupakan prinsip yang mirip dengan sistem feodal dalam kehidupan masyarakat yang dapat menghambat pembelajaran aktif, berpikir kritis dan menciptakan lingkungan yang tidak sehat bagi siswa.
Gambar pemuda yang sedang belajar dan berdialog dengan gurunya. Photo by : Muhammad Sopiyan
Realita di lapangan menunjukkan feodalisme dalam sistem pendidikan Indonesia masih menjadi tantangan struktural yang menghambat proses terwujudnya pendidikan yang inklusif dan berkualitas. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) 2023, ketimpangan pendidikan antara wilayah perkotaan dan pedesaan tercermin dari 27,98% penduduk desa yang menamatkan pendidikan SMA dibanding 49,16% di kota, sementara 12,39% penduduk desa tidak menyelesaikan pendidikan SD.
ADVERTISEMENT
Fenomena ini tidak terlepas dari warisan feodalistik dan budaya yang terinstitusionalisasi melalui praktik seperti pelabelan "sekolah favorit", hierarki guru dan murid yang kaku dan pengukuran kompetensi berbasis nilai ujian nasional. Guru sering kali memposisikan diri sebagai otoritas mutlak yang menekan siswa sehingga tidak mampu dan tidak diberikan cukup ruang untuk bisa berpikir kritis dan mengungkapkan pendapatnya.
Hasil analisa tentang feodalisme pendidikan kontemporer menunjukkan tiga pola utama yang perlu diperhatikan secara seksama. Pertama resistensi terhadap perubahan kurikulum seperti Kurikulum Merdeka karena mentalitas "guru paling tahu" yang membuat siswa hanya perlu patuh saja kepada guru, selanjutnya beban struktural pada guru sebagai ujung tombak birokrasi pendidikan, dan terakhir reproduksi ketidakadilan melalui pemeringkatan sekolah.
ADVERTISEMENT
Praktik-praktik diatas bertentangan dengan hakikat pendidikan menurut Plato yang menekankan paideia (pembentukan karakter) sebagai proses pembebasan dari belenggu ketidaktahuan melalui dialog kritis. Filsuf Yunani ini menegaskan bahwa pendidikan seharusnya mengembangkan arete (keutamaan) dengan mengoptimalkan potensi individu melalui kurikulum terstruktur yang meliputi musik untuk jiwa dan gimnastik untuk tubuh.
Sederhanya kurikulum pendidikan harusnya mampu memberikan wadah kepada siswa agar mampu mengembangkan kemampuan dan meningkatkan rasa ingin tahu yang melekat pada diri siswa, bukannya hanya sebatas pemberian pemahaman dan pengetahuan, akan tetapi menjadi tempat berdialektika untuk mencari kebenaran.
Relevansi dari pemikiran Plato terlihat dalam kontras antara idealnya pendidikan sebagai mimesis (peniruan kebajikan) dengan realitas feodalistik di Indonesia yang justru membatasi ruang ekspresi siswa.
ADVERTISEMENT
Plato menyarankan sistem pendidikan negara seharusnya adalah pendidikan yang menyamakan akses bagi laki-laki dan perempuan dan menyesuaikan dengan minat yang ingin dikembangkan oleh siswa, sementara data BPS 2023 menunjukkan 31,13% penduduk desa hanya tamat SD akibat keterbatasan fasilitas dan stigma feodal. Konsep "guru sebagai mitra" dalam Kurikulum Merdeka sejalan dengan pandangan Plato tentang pendidikan dialogis, tetapi implementasinya masih terhambat kultur senioritas yang memposisikan murid sebagai objek pasif saja.
Solusi struktural yang diperlukan pendidiakn Indonesia saat ini salah satunya melalui reformasi sistem rekrutmen guru berbasis kompetensi yang benar dan bukan hanya sebatas senioritas saja, selanjutnya yakni alokasi anggaran pendidikan yang berkeadilan dan merata disetiap daerah, kemudian yang terakhir yakni transformasi kurikulum yang mengintegrasikan trivium (grammar, logic, rhetoric) ala Plato dengan kearifan lokal dan sesuai dengan peminatan siswa.
ADVERTISEMENT
Sejatinya sistem pendidikan memerlukan intervensi kebijakan berbasis justice as fairness untuk memutus siklus feodalisme multigenerasional. Dengan memadukan konsep Merdeka Belajar dan filosofi Plato tentang pendidikan sebagai techne (keterampilan hidup) dan bukan mengirm siswa yang bermasalah ke barak militer untuk diajarkan bagaimana hidup disiplin, hal ini sedikit bertolak belakang dengan system social yang sebenarnya, di mana tantara tidak memiliki kewenangan untuk memebrikan pelajaran kepada masyarakat sipil.
Jika pemimpin di Indonesia memiliki kesadaran, Indonesia dapat membangun ekosistem pendidikan yang membebaskan sekaligus memberdayakan dan melahirkan para penerus bangsa yang memiliki keterampilan sesuai dengan bakat dan minat mereka jika menerapkan prinsip yang dibuat Plato. Akan tetapi kesadaran itu belum muncul pada diri pemimpin Indonesia saat ini, mari kita usahakan agar prinsip ala Plato ini dapat diterapkan dengan baik dalam system Pendidikan di Indoensia dengan cara menumbuhkan kesadaran ini terlebih dahulu pada diri kita sebagai anak bangsa yang akan meneruskan kesuskesan Indonesia di masa yang akan datang.
ADVERTISEMENT