Toleransi Dalam Keberagaman: Dari Yogyakarta Untuk Indonesia

Sorec
Researcher
Konten dari Pengguna
30 Oktober 2017 12:56 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Sorec tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Oleh Anno Susabun
Ada persoalan paling krusial dalam wacana relasi agama dan negara. Pertama, negara otoriter menganggap sepi hadirnya agama-agama. Kedua, kuasa agama mayoritas di mana ideologi keagamaan dijadikan sebagai rujukan kolektif dan dipasang sebagai baju kebangsaan. Pada tataran nasional, persoalan kedua inilah yang sedang menjadi kegalauan kolektif kita karena banyaknya fenomena yang membuktikan bahwa pluralisme identitas belum dapat diolah sebagai kekayaan. Dua problem utama yang diangkat berikut (heterofobia dan ketunggalan identitas) menjadi tema sentral tulisan ini.
ADVERTISEMENT
Heterofobia (Membenci Pluralitas)
Dewasa ini, fundamentalisme menjadi tantangan bagi demokrasi. Bangkitnya populisme di Eropa (Le Pen di Perancis, Lutz Bachmann di Jerman dan Geert Wilders di Belanda) dan Amerika (Donald Trump) menyerang demokrasi secara sangar kendati negara-negara tersebut menamai dirinya negara demokrasi. Ide “Frexit” Le Pen, misalnya bertendensi memperkuat identitas Perancis dan lebih lanjut berkarakter diskriminatif dengan menolak imigran Muslim masuk ke Prancis. Tantangan fundamentalisme agama terhadap demokrasi tampil ketika gejala heterofobia muncul berbarengan dengan deprivatisasi agama menjadi ideologi negara. Nilai-nilai dasar demokrasi misalnya kebebasan, kesetaraan dan persaudaraan diberangus oleh tendensi superioritas agama yang satu terhadap yang lain.
Logika fundamentalisme menandaskan bahwa tatanan politik sebuah negara mesti diukur secara moral etis oleh standar kebenaran absolut agamanya. Implikasinya adalah kebenaran absolut yang diklaim dimiliki oleh sebuah agama dipancang sebagai basis moral etis semua warga negara. Padahal politik adalah persoalan baik atau buruknya sebuah kebijakan yang dilempar ke tengah deliberasi publik, bukan persoalan benar atau salahnya pendirian seorang warga negara.
ADVERTISEMENT
Teori demokrasi modern mengenal adanya negara hukum sekular. Dalam negara hukum sekular, kebebasan setiap warga negara digaransi oleh negara untuk memerankan identitas sosial yang dimilikinya tanpa merasa tersiksa oleh pelbagai intimidasi pihak tertentu. Negara hukum sekular menolak logika fundamentalisme yang memilah warga negara berdasarkan pegangan agama yang benar atau salah (kafir) sebab metode ini tentu saja akan mengeksklusi penganut agama minoritas dari korpus politik. Ketika politik identitas keagamaan ditebar di hadapan publik, eksemplar politik tidak lain mewajah dalam libido dominandi, syahwat untuk menguasai kelompok identitas lainnya dengan berbagai modus.
Problem Ketunggalan Identitas
Selain heterofobia, gejala lain yang lahir dari logika fundamentalisme adalah cacat pikir mengenai afiliasi identitas. Paradigma ketunggalan afiliasi identitas seorang warga negara menjadi persoalan serius terutama ketika identitas tunggal seseorang berhadapan dengan kekhasan demokrasi yaitu keberagaman.
ADVERTISEMENT
Amartya Sen mengidentifikasi dua macam reduksionisme identitas dalam analisis sosial dan ekonomi. Pertama, problem ‘pengabaian identitas’ yaitu menampik atau menihilkan sama sekali pengaruh rasa berbagai identitas apapun dengan orang lain. Kedua, ‘afiliasi tunggal’. Reduksionisme ini mengandaikan bahwa setiap orang demi tujuan praktis, terkait hanya dengan satu kolektivitas saja, tak lebih dan tak kurang (2006: 27-28). Bentuk kedua menjadi fokus analisis tulisan ini. Afiliasi tunggal seorang warga negara melucuti baju-baju identitasnya lantas menyisakan hanya satu baju identitas yang identik dengan kesahihannya sebagai warga negara. Politik identitas keagamaan adalah bentuk reduksionisme ‘afiliasi tunggal’ identitas warga negara yang hanya diposisikan sebagai anggota agama tertentu sambil melucuti afiliasi identitas lain orang itu.
Membangun Toleransi dalam Keberagaman
ADVERTISEMENT
Dalam situasi pelik seperti di atas, ada beberapa upaya yang dapat ditawarkan sebagai solusi: Pertama, Pancasila yang puluhan tahun silam dirajut dari nilai-nilai nusantara mengambil posisi penting sebagai solusi atas kebuntuan diskursus mengenai dasar negara yang tepat bagi Indonesia. Sebagai roh bangsa, Pancasila dapat merangkum semua kalangan, bukan hanya golongan agama tertentu. Kedua, pendidikan multikultural menjadi kemendesakan, mengingat roh fundamentalisme seringkali merebak melalui jalur ini. Hakikat pendidikan multikultural adalah menjadikan ranah pendidikan sebagai miniatur masyarakat multikultur, di mana peserta didik dilatih bersikap bijaksana menanggapi faktum keberagaman. Ketiga, program deradikalisasi perlu dilakukan oleh agama-agama dalam rangka mengembalikan pola pikir moderat setiap umat. Dalam kaitan dengan hal ini, rekomendasi Abdul Ghaffar Karim, yang dikutip Fathorrahman Ghufron penting untuk disimak (“Menumbuhkan Literasi Agama”, Kompas, 12/4/2017). Menurut Karim, menumbuhkan literasi keagamaan merupakan proses penting untuk menghindari umat dari kedangkalan berpikir yang bermuara pada radikalisme dan fundamentalisme.
ADVERTISEMENT
Dari Yogyakarta untuk Indonesia
Melalui Amanat 5 September 1945, Kesultanan Ngayogyakarta dan Paku Alaman memutuskan untuk bergabung dengan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Jejak kota Yogyakarta sebagai kota istimewa sejak kala itu sebetulnya bukan hanya terletak pada keistimewaan penyelenggaraan pemerintahannya, melainkan juga pada sikap legowo untuk menjunjung tinggi panji kebhinekaan NKRI.
Saat ini, keistimewaan Yogyakarta tampak semakin maju dalam banyak hal, terutama dalam hal keterbukaan untuk menjunjung tinggi kebhinekaan NKRI. Penyematan julukan sebagai kota pelajar dan budaya tidak dapat dimungkiri sebab Yogyakarta yang memiliki banyak perguruan tinggi menjadi ruang pertemuan begitu banyak orang dari pelbagai daerah di Indonesia. Akan tetapi, mengapa SETARA Institute menyebut ada pemaksaan soal jilbab di Sekolah Negara Yogya (Tempo.co, 25/7/17)? Pertanyaan ini hanyalah salah satu contoh gugatan bagi Yogya. Pertama, kota Yogyakarta mestinya menjadi model antiradikalisme dan toleransi di Indonesia. Yogyakarta sudah memiliki modal yang sangat besar dengan adanya keberagaman warga negara yang menghuninya. Kedua, dalam kaitan dengan hal itu, sinergi antar elemen masyarakat mutlak diperlukan. Pemerintah mesti bekerja sama dengan elemen agama, LSM, dan terutama Perguruan Tinggi untuk membina masyarakatnya agar memiliki common ground yang tepat mengenai toleransi. Ketiga, upaya internal kampus dan sekolah-sekolah untuk menangkal gejala-gejala intoleransi mesti tampak nyata dalam rangka menjadi kota pelajar yang toleran. Pembelajaran di lembaga pendidikan mesti membuat peserta didik semakin mencintai Pancasila dan NKRI dan mengamalkannya dalam hidup bersama dengan orang lain. Kebiasaan lomba debat, misalnya akan membantu peserta didik memiliki jiwa besar dalam menerima pendapat yang berbeda. Dari Yogyakarta, niscaya kita bisa membangun Indonesia yang toleran terhadap pluralisme identitas.
ADVERTISEMENT
Note: Artikel ini merupakan peringkat kedua dari lomba esai dan video dengan tema "Jogja Istimewa: Bhinneka Tanpa Prasangka" yang diselenggarakan Departemen Sosiologi UGM.