Ujian Kebhinekaan Yogya Itu Bernama 'Refugee'

Sorec
Researcher
Konten dari Pengguna
31 Oktober 2017 15:46 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Sorec tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Oleh Ilham Dary Athallah
Bangkit (27) dan Na'ima (22) begitu gembira. Katering kepemilikan keduanya menang tender dari Dinas Sosial Provinsi DIY. Kontraknya tak begitu besar untuk ukuran pengusaha sekelasnya, hanya lima juta rupiah setiap hari. Untuk satu tahun menghadirkan nasi berkat ala kadarnya.
ADVERTISEMENT
Andai saja penyantap nasi berkat itu bukan pengungsi (refugee) dari Afghanistan dan Iran, kegembiraan itu pasti berlangsung lama. Tak hanya selama satu bulan, hingga petaka menghampirinya. Kala itu pengungsi mogok makan. Unjuk rasa di depan asrama haji. Bukan menuntut keadilan muluk layaknya para aktivis pertontonkan. Tapi urusan perut belaka; mereka minta daging asap dan kaldu kebuli di nasi boksnya. Kisahnya kemudian viral di media, dinas sosial dan imigrasi saling tuding tak mau disalahkan, dan kontrak penyediaan makanan berhenti untuk sekali dan selamanya. Saya pun tak ketinggalan menulis itu untuk KRjogja.com.
Tapi bagi sang pengusaha, kesialan itu tak berhenti disana. Penduduk sekitar menggeruduk Asrama Haji. Digeledah lah seluruh ruang kamar tidur para pengungsi, hanya untuk menemukan bilah-bilah pedang raksasa di lemarinya. Lengkap dengan penemuan tarian pedang dalam video prosesi ritual keagamaan Syiah.
ADVERTISEMENT
Imajinasi mereka kemudian menari begitu saja. Semua yang ada di video itu, dan tinggal maupun berhubungan dengan pengungsi di asrama haji, adalah Syiah. Tak terkecuali yang menyediakan makanan orang Syiah. Pasti Syiah!
Di situlah ormas dan warga yang melabelinya dirinya sebagai umat muslim, dilanda kecemasan dan ketakutan. Makin menolak keberadaan pengungsi, dan makin beringas. Melontarkan ragam tuduhan layaknya adanya satu dua pengungsi yang pergi ke diskotik, mengacau burjo, dan sebenarnya tajir. Tuduhan yang ternyata satu dua diantaranya benar, dan menjadi stereotype bagi semua pengungsi disana.
Celakanya lagi, tokoh masyarakat, kelompok mahasiswa, dan netizen lain, tak mau kalah. Memekikkan simpati dan keberagaman, sembari menuduh pihak lain keras kepala dan intoleran. Juga tidak pancasilais. Lengkaplah sudah perpecahan kecil di Yogya itu terjadi. 2015. Jauh sebelum geger Pilkada DKI terjadi. Dan tantangan ini selayaknya membuat kita berefleksi: bahwa tantangan itu bagai api dalam sekam, dan kelak senantiasa terjadi jika dua pihak tak saling memahami.
ADVERTISEMENT
Pentingnya adil sejak dalam pikiran
Ilustrasi pengungsi (Foto: hawkarena)
Perpecahan itu akan semakin menggelinding bak bola api liar. Apa yang mereka sebut mengedukasi dan menginklusikan kelompok ekstrimis menjadi bhinneka, justru menjadikan kelompok tersebut semakin terkungkung, eksklusif, juga terdiskriminasi. Lewat sumpah serapah yang kerap mereka terima, dan seakan menyederhanakan masalah pengungsi yang ada di Yogyakarta hanya masalah penerimaan masyarakat. Padahal, kedudukan hukum mereka pun tak kalah bermasalah.
Karena Indonesia higga kini tidak menandatangani kesepakatan internasional Geneva Covention 1951, Indonesia tak memiliki kewajiban sama sekali untuk menerima pengungsi. Maupun fasilitas dan akomodasi apapun. Dan peraturan ini menimbulkan implikasi. Undang undang keimigrasian kita tak kenal istilah pengungsi. Status kewarganegaraan maupun izin tinggal, takkan bisa diberikan pada mereka yang datang bermodal nekat saja.
ADVERTISEMENT
Begitu pula dengan perihal pendanaan. Tidak boleh satu sen pun dana APBN maupun APBD terkucur bagi pengungsi. Tidak ada landasan hukumnya. Namun tentu hukum bisa diakali sedikit. Layaknya penanganan ribuan pengungsi Rohingnya yang menggunakan dana operasional menteri dan biaya perjalanan dinas kementerian sosial. Tapi toh jumlahnya hanya dua milyar.
Dan ketika Pemerintah Provinsi Aceh dan Kabupaten Langsa ingin menganggarkan bantuan untuk mereka yang terlantar dengan kemampuan finansialnya sendiri, Kemenko PMK tetap melarang. Bahkan sudah menyiapkan gebug, dan menganggap keduanya maladministrasi juga melanggar hukum .
Dari situlah menjadi penting bagi segenap bangsa untuk mulai mendengar, memahami peliknya fenomena ini, serta masing-masing mengintropeksi diri, sama banyaknya dengan kesempatannya berbicara di media dan mendikte satu sama lain tentang perspektifnya. Menilik bahwa di balik setiap fenomena, ada alasan rasional mengapa para pengungsi sampai rela terombang-ambing di tengah samudera selama berbulan-bulan. Tanpa mengetahui secara pasti kapan, dan di mana mereka kelak akan mendarat, tentu akal sehat manapun tak akan menerima mereka hanya datang untuk melakukan apa stereotip dan prasangka yang sebagian dari kita miliki saja. Apalagi jauh-jauh untuk menyebarkan syiah. Mereka pergi, mempertaruhkan harta benda dan nyawanya, untuk kehidupan yang lebih baik.
ADVERTISEMENT
Tapi juga menyadari, bahwa cara untuk merubah paradigma itu bukan saling otot dengan label pemisahan umat muslim atau Bhinneka. Tapi juga menunjukkan keteladanan nyata bagi mereka yang mempertanyakan keberadaan pengungsi, bahwa para pengungsi juga orang baik.
Akan sulit juga toh bagi masyarakat awam kebanyakan, menghormati pendatang yang tidak bisa bahasa kita sama sekali. Menginap tak tentu waktu dan minta uang makan dari pajak kita. Lalu demo mogok makan dan menyimpan pedang di lemari? Kita sudah lama punya slogan dimana bumi dipijak, disitu langit dijunjung. Tapi belum juga sempat memahami, bukannya dibujuk dan dijelaskan baik-baik, malah dituduh intoleran. Makin panaslah itu hati.
Masyarakat yang menyebut dirinya bhinneka harus bertindak, Membimbing para pengungsi yang masih meraba bagaimana hidup dan berperilaku layaknya orang Indonesia dan menjadi pancasilais, dan memberi kita semua alasan terbaik untuk menyambutnya dengan tangan terbuka.
ADVERTISEMENT
Semua perlu berubah. Pengungsi, dan masyarakat. Tak lagi memisahkan diri dan saling ngotot dengan label paling pancasilais maupun paling muslim sembari menegasikan kelompok lainnya, disitulah kebhinekaan sejati laksana akan muncul.
Karena lagi-lagi, bukannya kita semua adalah pengungsi di Bumi, setelah pendahulu kita diusir dari surga Tuhan?