Yogyakarta: Perpaduan Sempurna antara Pendidikan dan Cinta

Sorec
Researcher
Konten dari Pengguna
26 Oktober 2017 16:22 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Sorec tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Jalan Malioboro Yogyakarta (Foto: Wikimedia)
zoom-in-whitePerbesar
Jalan Malioboro Yogyakarta (Foto: Wikimedia)
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Oleh Agung Kresna Bayu
Yogya dan pendidikan merupakan dua kata yang tidak bisa dipisahkan. Layaknya Yogya dan istimewa yang menjadi pesona tak terpisahkan dalam penyebutan daerah istimewa Yogyakarta. Bangunan megah dengan nama institusi pendidikan terkenal banyak berdiri dan berada di Yogyakarta, siapa tidak kenal UGM, UNY, UPN, UII, UIN, dansebagainya. Kampus tersebut memiliki daya tarik dan pesona khas bagi pelajar dari daerah lain untuk belajar dan berproses di Yogya, hal tersebut juga seperti yang dialami penulis. Lahir di kota yang memiliki sebutan kota pendidikan dan wisata ditambah anugerah alam berupa udara dingin nan masih segar, dikenal oleh banyak orang sebagai kota yang menjadikan sepak bola dengan simbol arema sebagai kebanggaan, Malang, tetapi mengapa penulis memilih Yogya sebagai destinasi untuk belajar? Alasan pertama penulis pergi ke Yogya pastinya ingin menuntut ilmu, tetapi bak sekali marengkuh dayung dua tiga pulau terlampaui. Selain belajar penulis juga berusaha membuktikan kata-kata Anis Baswedan yang mengatakan bahwa “setiap sudut kota Jogja itu romantis”. Hal ini menjadi motivasi dan semangat lebih bagi penulis untuk pergi ke Yogya selain untuk belajar juga membuktikan kata romantis menurut tokoh yang besar dalam bingkai Yogyakarta.
ADVERTISEMENT
Perjalanan awal ke Jogja menjadi pengalaman yang berkesan, sebab selain penulis berangkat sendiri tanpa ditemani kedua orang tua. Penulis juga baru pertama kali menuju kota yang akan menjadi tempat belajar dan berproses bagi penulis. Saat di perjalanan, penulis memiliki gairah keingintahuan yang tinggi terhadap kota yang akan menjadi destinasi hidup penulis selanjutnya. Penulis menemukan banyak hal baru yang belum penulis ketahui sebelumnya, seperti jargon Yogya berhati nyaman, Yogya kota toleransi, dan Yogya miniatur Indonesia. Penulis makin bersemangat untuk segara tiba dan belajar dalam kota yang memiliki ragam pesona dan budayanya. Setelah sampai dan hidup beberapa bulan di Yogya, penulis mulai mengetahui dan memahami cerita lain yang menjadikan penulis berpikir ulang untuk mengatakan bahwa Yogya istimewa, berhati nyaman, toleransi, dan mininya Indonesia.
ADVERTISEMENT
Pertama hal terebut terjadi saat penulis mengikuti salah satu sesi perkuliahaan, di mana salah satu dosen penulis memberikan presentasi dari hasil penelitian yang dilakukan Wahid Institute. Poin penting dalam penelitian tersebut memberikan gambaran bahwa kasus intoleransi mengalami peningkatan, dan Yogya menjadi kota dengan jumlah tindakan intoleransi peringkat dua terbanyak di Indonesia hanya "kalah" dari Jawa Barat. Hal ini menjadikan penulis berpikir dan bertanya kembali cerita yang selama ini lekat dengan Yogyakarta. Peristiwa kedua penulis alami saat membaca media cetak Yogyakarta yang menceritakan penyerangan rumah ibadah oleh kelompok lain, penolakan pendirian bangunan ibadah, dan penyerangan yang berujung kekerasaan terhadap kelompok yang berbeda keyakinan. Selanjutnya saat penulis pergi ke salah satu desa di kaki Gunung Merapi penulis dibuat heran sekaligus tidak percaya mengapa? Sebab ada seorang anak sd yang memiliki agama muslim dan mengatakan pada anak lain yang tidak beragama muslim ”moh ambek kowe, kowe duduk wong islam, ojo gelem ambek arek iki” (Ngga mau sama kamu, kamu bukan orang islam, jangan mau sama orang ini). Kata-kata ini menjadi refleksi kembali patutkah Yogya berhati nyaman dan istimewa?
ADVERTISEMENT
Pertanyaan tersebut menjadikan penulis berpikir dan mencoba untuk mencari solusi untuk menjawab tantangan dalam menghadapi realita kebergaman di Yogyakarta. Akhirnya penulis teringat bahwa Yogya merupakan kota pendidikan mengapa tidak menggunakan bidang ini untuk menghasilkan peserta didik yang berpengetahuan luas dan terbuka terhadap perbedaan? Sebab pendidikan merupakan bidang yang memiliki kepercayaan dalam mengajarkan pengetahuan dan nilai kehidupan. Pendidikan menjadi tempat untuk mendidik peserta didik menjadi layak dan mampu untuk manjalani roda kehidupan. Apalagi pendidikan dapat memberikan pengaruh dan pengajaran dalam proses kehidupan peserta didik, pada posisi demikian peserta didik merupakan subjek sekaligus objek yang memiliki tiga kesinambungan sebagai peserta didik yang bepengetahuan dan berpikir terbuka yakni pikiran, tingkah laku, dan perasaan. Untuk menumbuhkan peserta didik yang memiliki pikiran terbuka, cerminan tingkah laku toleransi, dan perasaan saling memiliki diperlukan dasar yang kuat dan perasaan bahwa kita semua merupakan makluk yang bersaudara. Jawaban atas gundah gulana ini penulis temukan dalam kawacandradimuka bernama cinta.
Ilustrasi cinta (Foto: Pixabay)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi cinta (Foto: Pixabay)
Cinta menjadi dasar dari kehidupan manusia, kita hidup tidak terlepas dari cinta, kita beragama karena cinta, dan kita berkonflik pun sebab cinta yang diartikan salah. Pada saat ini generasi milenial memaknai cinta hanya sebatas romansa, 'aku cinta kamu' antara laki-laki dan perempuan, atau hanya menjadi ungkapan romantis yang menimbulkan adrenalin menjadi naik. Akan tetapi kita melupakan bahwa cinta sejatihnya memiliki arti yang lebih luas ketimbang 'aku cinta kamu'. Cinta menjadi dasar dari setiap tindakan dalam kehidupan manusia. Lantas bagaimana kita menggunakan cinta sebagai dasar membentuk peserta didik dan hubugannya dengan keberagaman? Dalam argumen di atas, penulis menyampaikan bahwa peserta didik memiliki tiga unsur pembentuk yakni pikiran, tingkah laku, dan perasaan. Di sinilah hakikat dasar dari cinta menjadi landasan untuk menjadikan peserta didik saling mencintai bukan hanya pada identitas yang sama tetapi juga pada kelompok lain yang berbeda. Cinta bisa menimbulkan perasaan saling memiliki dan mengasihi. Saat menggunkan cinta sebagai dasar menilai perbedaan maka akan terjadi perasaan selalu damai dan tenang walaupun keadaan sedang runyam, sebagaimana memaknai cinta menurut salah satu ilmuwan bernama Erich Fromm bahwa cinta itu proses untuk menjadi, bukan memiliki.
ADVERTISEMENT
Note: Artikel ini merupakan esai terbaik lima dalam kompetisi Esai dan Video "Jogja Istimewa: Bhinneka Tanpa Prasangka" yang diselenggarakan Departemen Sosiologi, UGM.
Yogyakarta: Perpaduan Sempurna antara Pendidikan dan Cinta (2)
zoom-in-whitePerbesar