Konten dari Pengguna

Grasak Grusuk Pembangunan Geothermal di Sumatera Barat

Muhammad Soultan Joefrian
Mahasiswa jurusan Ilmu Politik Universitas Andalas
21 April 2025 10:45 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Muhammad Soultan Joefrian tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Saat ini dimana bumi mengalami pemanasan global yang menyebabkan terjadinya bencana alam di berbagai negara, tak terluput di Indonesia sebagai penghasil oksigen terbesar kedua di dunia setelah hutan amazon di Brazil. Pemanasan global yang disebabkan oleh aktivitas manusia yang mengeksploitasi alam secara ugal-ugalan tanpa adanya Analisis Dampak Lingkungan (Amdal), tentunya membawa dampak negatif bagi kita sebagai umat manusia.
ADVERTISEMENT
Terlebih lagi masih masif dan mudahnya pemerintah memberikan izin melakukan penambangan energi fosil seperti batubara kepada badan usaha, koperasi dan perusahaan perseorangan untuk diperjualbelikan sebagai suplai pasokan listrik di Indonesia. Tentunya dengan penambangan batubara secara terus menerus akan berdampak pada lingkungan sekitar pertambangan, selain itu efek penggunaan energi batubara untuk suplai listrik ini juga berdampak seperti emisi karbon yang dihasilkan dari proses pembakarannya.
Ilustrasi pengoperasian Geothermal (Pexels.com).
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi pengoperasian Geothermal (Pexels.com).
Oleh karena itu, pemerintah membuat Undang-Undang tentang Energi Baru Terbarukan dengan tujuan untuk menjamin ketahanan, kemandirian dan kedaulatan energi nasional. Tidak hanya itu, Undang-Undang ini juga bertujuan menempatkan Energi Baru Terbarukan pada posisi untuk menggantikan energi tak terbarukan yang dilaksanakan secara bertahap, terukur, dan rasional dengan tetap menjaga keseimbangan pasokan.
ADVERTISEMENT
Salah satu energi baru terbarukan yang diusung oleh pemerintah adalah energi geothermal atau yang lebih dikenal dengan energi panas bumi, yang mana energi ini diklaim oleh pemerintah sebagai energi yang ramah lingkungan dan berkelanjutan. Akan tetapi, rendahnya emisi karbon dari pengolahan panas bumi disertai dengan pengorbanan bukan saja manusia, tetapi juga hutan, bentang air, dan kelengkapan infrastruktur ekologis dari kehidupan kepulauan, yang semuanya jauh lebih berbahaya daripada besaran emisi karbonnya. Hal inilah yang kemudian memicu berbagai penolakan dari masyarakat sekitar yang terdampak.
Ilustrasi demonstrasi geothermal (Shutterstock.com).
Salah satu dampak negatif yang akan muncul dari pengoperasian PLTP adalah pelepasan gas Hidrogen Sulfida (H₂S). Gas ini, dihasilkan dari proses ekstraksi geothermal, memiliki bau tidak sedap dan dalam konsentrasi tinggi dapat berdampak buruk pada kesehatan manusia, termasuk menyebabkan iritasi mata, tenggorokan, serta masalah pernapasan.
ADVERTISEMENT
Tidak hanya itu, pengoperasian PLTP ini memerlukan air dalam jumlah besar untuk mendinginkan sistem dan sebagai fluida operasi. Jika tidak dikelola dengan baik, ini bisa menyebabkan penurunan kualitas air tanah di sekitar lokasi. Selain itu, risiko pencemaran kimia pada air tanah juga bisa terjadi jika ada kebocoran.
Lalu, aktivitas ekstraksi panas bumi dapat memicu perubahan struktur geologi di bawah tanah, yang dapat menyebabkan deformasi tanah atau gempa bumi mikro. Meskipun tidak berbahaya, gempa-gempa kecil ini bisa merusak infrastruktur dan bangunan di permukiman sekitar. Ditambah dengan proyek geothermal yang besar dapat mengundang migrasi penduduk dari daerah lain untuk mencari pekerjaan. Ini dapat mengubah dinamika sosial dan budaya lokal, yang terkadang menimbulkan konflik atau ketidakharmonisan di antara penduduk asli dan pendatang.
ADVERTISEMENT
Mengingat banyaknya dampak negatif dari pembangunan pembangkit listrik tenaga panas bumi/ geothermal inilah banyak muncul perlawanan dari masyarakat lokal. Seperti di Sumatera Barat yang memiliki 16 titik panas bumi dan terkhusus masyarakat Gunung Talang Kabupaten Solok yang terkenal dengan keberhasilan mereka menolak terjadinya pembangunan PLTP disana karena mereka sadar akan dampak yang akan mereka terima setelah PLTP ini siap dibangun.
Hal yang sama juga terjadi pada masyarakat Tandikek Singgalang, karena pada pengesahan Ranperda RTRW di DPRD Provinsi Sumatera Barat bersama Gubernur Sumatera Barat beberapa waktu yang lalu tercatut bahwa rencananya akan dibangun pembangkit listrik tenaga panas bumi (PLTP). Tentu saja ini juga menimbulkan gonjang-ganjing di tengah masyarakat, karena bagi masyarakat yang sudah tahu dampak negatif dari PLTP ini pasti akan melakukan penolakan, berbeda dengan masyarakat yang belum tahu dampak positif dan negatif dari Pembangunan PLTP ini.
ADVERTISEMENT
Muhammad Soultan Joefrian, S.IP
Alumni Ilmu Politik Universitas Andalas