Konten dari Pengguna

Toothbrush Problem dalam Penelitian Psikologi

Suwanda Priyadi
Mengajar di Fakultas Psikologi UMS
25 Februari 2024 9:40 WIB
·
waktu baca 2 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Suwanda Priyadi tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi sikat gigi Foto: Shutterstock
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi sikat gigi Foto: Shutterstock
ADVERTISEMENT
Walter Mischel, tokoh psikologi kenamaan, melalui kolom majalah Observer yang diterbitkan Association for Psychological Science tahun 2008, menyinggung isu toothbrush problem.
ADVERTISEMENT
Toothbrush problem adalah istilah yang menggambarkan fenomena di mana para peneliti cenderung memperlakukan teori orang lain seperti sikat gigi dalam artian ‘tidak ada orang yang ingin menggunakan milik orang lain’.
Meskipun terdengar lucu, hal ini sebenarnya menunjukkan konflik mengakar yang merugikan perkembangan sains.
Salah satu bentuk nyata dari fenomena ini adalah kecenderungan peneliti untuk mengembangkan alat ukur psikologis versinya sendiri. Mulai dari menerjemahkan, memodifikasi, atau menggabungkan alat ukur yang sudah ada, hingga mengembangkannya dari dasar teori tertentu.
Akhirnya, banyak alat ukur dengan nama atau label yang sama, namun mengukur hal yang berbeda. Sebaliknya, beberapa alat ukur mengukur hal yang sama, namun memiliki nama atau label yang berbeda.
Dalam artikel Psychological Measures Aren’t Toothbrushes yang terbit di jurnal Communications Psychology tahun 2023. Elson dkk. menjelaskan bahwa perbedaan alat ukur dalam mengukur objek atau konstruk yang sama akan menghasilkan ketidakstabilan dan ketidakpastian pada hasil penelitian.
ADVERTISEMENT
Hal ini berdampak pada sulitnya menggabungkan temuan dari berbagai penelitian dalam metaanalisis. Sehingga, mengaburkan kesimpulan dan mengurangi kepercayaan pada bukti ilmiah.
Selain itu, ketika peneliti mengubah atau menyesuaikan alat ukur tanpa mengungkapkannya secara jelas. Hal ini menyulitkan pembaca atau peneliti lain untuk memahami metode penelitian yang digunakan. Sehingga, menghambat replikabilitas dan pemahaman ilmiah.
Untuk mengatasi masalah ini, penting bagi peneliti untuk mengikuti pedoman standardisasi, menggunakan alat ukur standar, dan secara transparan melaporkan modifikasi yang dilakukan terhadap suatu alat ukur.
Sains seharusnya tidak hanya tentang menciptakan “sikat gigi” pribadi. Kita harus memperhatikan kolaborasi, mengakui kontribusi orang lain, dan membangun sains yang sifatnya kumulatif, termasuk ketika menggunakan alat ukur psikologis.
Hal ini penting untuk memfasilitasi replikasi, validasi, dan integrasi penelitian yang melampaui batas-batas disiplin ilmu.
ADVERTISEMENT