Konten dari Pengguna

'Vaksin' Kebenaran Tangkal Virus Hoaks Saat Pandemi

Supriyono Pangribowo
Data analist pada Kementerian Kesehatan
24 Juli 2021 8:26 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Supriyono Pangribowo tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi Hoaks. Sumber : Freepik.com
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Hoaks. Sumber : Freepik.com
ADVERTISEMENT
Hari-hari kita kini dihiasi dengan berita lonjakan kasus COVID-19, tenaga kesehatan yang kelelahan, rumah sakit yang kelebihan kapasitas, kerja keras pemerintah mengejar cakupan vaksinasi, orang yang kehilangan pekerjaan, dan beberapa kabar lain yang menggambarkan betapa beratnya perjuangan kita saat ini. Satu hal yang semakin memperburuk keadaan adalah produksi berita hoaks yang seolah menjadi wabah yang tidak kalah mengerikan.
ADVERTISEMENT
Wardle dan Derakhshan (2018, dalam Ireton dan Posetti 2018) membagi hoaks menjadi misinformasi dan disinformasi. Misinformasi adalah informasi salah yang disebabkan penerima pesan tidak mengetahui kepalsuan informasi. Disinformasi adalah informasi palsu dengan pelaku penyebarnya paham secara sadar atas kepalsuan informasi. Pelaku penyebar disinformasi melakukan diseminasi untuk menyesatkan publik.
Belum lama ini dalam grup whatsapp keluarga, salah seorang kerabat mengabarkan bahwa ramainya lalu lalang ambulans di Jakarta hanyalah untuk menakut-nakuti warga saja agar suasana mencekam sehingga rakyat benar-benar mempercayai adanya COVID-19. Menurutnya, ambulans yang hilir mudik di ibu kota tersebut sesungguhnya adalah ambulans kosong yang tidak mengangkut pasien maupun jenazah.
Sebetulnya tidak sulit untuk mengklarifikasi hoaks di atas. Dengan logika sederhana kita bisa menyatakan bahwa tentu saja ambulans tersebut kosong, karena baru saja mengantarkan jenazah untuk dimakamkan di TPU (Tempat Pemakaman Umum) dan sedang dalam perjalanan ke rumah sakit untuk menjemput jenazah berikutnya.
ADVERTISEMENT
Hoaks yang beredar dalam inner circle seperti keluarga tak ubahnya semacam paradoks. Pada satu sisi, seharusnya mudah untuk menangkalnya karena beredar di keluarga sendiri. Namun di sisi lain menjadi sulit ketika yang menyampaikan berita bohong adalah orang yang dekat dan mungkin dituakan. Selain itu, klarifikasi yang disampaikan berpotensi membuat orang yang menyampaikan informasi palsu tersinggung sehingga menimbulkan masalah baru. Kita tentunya masih ingat fenomena cebong kontra kampret yang membuat keterbelahan di masyarakat termasuk di tingkat keluarga bukan?
Posetti (2018) menyebutkan bahwa penyebarluasan hoaks yang cepat disebabkan memudarnya kepercayaan publik terhadap media mainstream, keinginan untuk mendapatkan informasi secara real-time, serta hadirnya propaganda sistematis dan amplifikasi ketidakjujuran. Screening pada media digital dalam menyebarluaskan informasi di tengah cepatnya arus informasi tanpa batas juga kerap mendapat sorotan dalam beredarnya kabar bohong.
ADVERTISEMENT
Dalam konteks pemanfaatan teknologi informasi, para peneliti mengelompokkan pengguna internet menjadi digital native dan digital immigrant. Digital native adalah pengguna internet yang lahir sejak tahun 1980 dan setelahnya. Kelompok ini dibesarkan ketika dunia digital berkembang sangat cepat dan masif sehingga membuat mereka lebih adaptif dalam menggunakan teknologi digital. Digital immigrant adalah kelompok yang lahir sebelum tahun 1980. Kelompok ini tumbuh ketika teknologi informasi belum berkembang pesat, sehingga pada umumnya kurang cakap dalam penggunaan teknologi digital dibandingkan digital native.
Dengan melihat kasus peredaran informasi palsu di media sosial selama masa pandemi ini, kita dihadapkan pada fakta bahwa tidak ada kelompok yang kebal hoaks, baik digital native maupun digital immigrant. Keterbatasan digital immigrant dalam kecakapan penggunaan teknologi informasi membuat mereka memiliki akses yang terbatas terhadap sumber-sumber informasi yang reliable seperti media utama pada umumnya.
ADVERTISEMENT
Digital native memang memiliki akses yang lebih baik terhadap sumber-sumber teknologi informasi. Namun sayangnya keadaannya juga tidak lebih baik dalam mengendus kabar bohong. Tidak sedikit dari kelompok ini yang hanya mengandalkan platform mesin pencari. Padahal tidak semua informasi yang diperoleh pada penelusuran tersebut dapat dipercaya. Kemampuan yang lebih baik dalam pemanfaatan teknologi informasi membuat digital native cenderung terlalu pede dengan hanya menyandarkan kebenaran informasi pada satu atau sebagain sumber tertentu yang diyakininya benar.
Lantas, bagaimana kita bisa mendapatkan “vaksin” kebenaran untuk menangkal “virus” hoaks? Salah satu upaya yang dapat dilakukan adalah meningkatkan literasi dengan menerapkan cek fakta. Cek fakta dapat dilakukan dengan mencari kebenaran informasi pada media-media mainstream dan kanal resmi milik pemerintah.
ADVERTISEMENT
Meng-upgrade literasi juga dapat dilakukan melalui diksusi dengan orang yang kompeten di bidangnya, seperti tenaga kesehatan maupun mereka yang bekerja di pemerintahan selaku pembuat regulasi. Dalam konteks pandemi, selain institusi pemerintah kita juga memiliki organisasi profesi seperti IDI, PDGI, IAKMI, PPNI, dan IBI. Narasumber yang memiliki kepakaran dan terlibat langsung dalam permasalahan tentu memilki kredibilitas yang tinggi sebagai rujukan informasi.
Kita juga dapat memperkuat amunisi dengan membaca literatur/referensi ilmiah untuk memperkaya pengetahuan. Pemahaman terhadap substansi dengan landasan teori akan meningkatkan kepercayaan diri saat mendebat berita bohong.
Upaya lainnya adalah dengan menerapkan prinsip 4R dan mengenalkannya kepada lingkungan sekitar, seperti keluarga dan peer-group. Prinsip 4R adalah konsep yang digagas untuk memanfaatkan internet secara bijak, yang terdiri dari Respect, Resilience, Responsibility, dan Reasoning.
ADVERTISEMENT
Respect artinya menghormati orang lain di dunia maya. Prinsip ini adalah salah satu bentuk screening diri sebelum menyebarluaskan informasi, terutama pada materi yang bersifat sensitif seperti SARA ataupun keterbatasan fisik. Resilience menuntut netizen untuk memiliki ketahanan terhadap hal negatif yang beredar di internet. Pengguna internet harus memilki kesiapan psikologis dan mental baja terhadap konten yang bernada menyudutkan dirinya dan diharapkan dapat membantu sesama untuk memiliki ketahanan serupa.
Responsibility bermakna setiap orang harus bertanggung jawab terhadap konten yang diunggah. Tiap individu bisa melakukan kesalahan. Netizen yang “telanjur” menyebarkan informasi yang salah harus bisa mempertanggungjawabkan dengan klarifikasi dan penghapusan informasi tersebut. Reasoning menekankan penggunaan nalar dan data dalam penelusuran informasi. Prinsip ini vital dalam menelaah validitas dan kebenaran informasi, baik untuk disimpan sendiri maupun sebelum disebarluaskan.
ADVERTISEMENT
Semoga, dengan mengimplementasikan langkah-langkah di atas, kita dapat memperoleh kekebalan komunal untuk memerangi pandemi hoaks yang semakin merajalela.