Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Kenaikan Tarif Cukai Rokok 2022 dan Wacana Peta Jalan CHT
15 Desember 2021 14:25 WIB
·
waktu baca 5 menitTulisan dari Spin Rinto tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Baru-baru ini Pemerintah telah mengumumkan perubahan tarif Cukai Hasil Tembakau (CHT) alias cukai rokok tahun 2022 dengan rata-rata kenaikan sebesar 12%. Kenaikan ini lebih rendah jika dibandingkan dengan tarif CHT tahun 2020, kenaikannya rata-rata sebesar 12,5%, sedangkan tahun 2020 sebesar 23%.
ADVERTISEMENT
Nyaris hampir setiap akhir tahun, pemerintah melalui Kementerian Keuangan mengumumkan perubahan tarif CHT yang berlaku setiap awal tahun berikutnya setelah pengumuman tarif baru. Tercatat hanya di tahun 2019 pemerintah tidak mengubah tarif CHT ini.
Di tengah kebijakan tarif CHT yang kerap berubah, muncul wacana mengenai penyusunan Peta Jalan (roadmap) Cukai Hasil Tembakau (CHT). Wacana ini digulirkan dalam rangka memberikan kepastian tarif CHT yang hampir tiap tahun berubah-ubah.
Pemerintah sebenarnya sudah pernah menyatakan penyusunan peta jalan menjadi kunci kebijakan CHT dalam jangka Panjang. Demikian pula Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Indonesia (GAPPRI) mengusulkan kebijakan serupa kepada pemerintah dalam bentuk Peta Jalan Industri Hasil Tembakau (IHT) yang esensinya sama saja dengan Peta Jalan CHT. Peta jalan tersebut diharapkan akan memberikan kepastian berusaha kepada pelaku industri rokok maupun petani tembakau.
ADVERTISEMENT
Namun, tentu saja selain aspek keberlangsungan usaha, pemerintah juga akan dihadapkan dengan aspek kesehatan masyarakat sebagai dampak buruk dari konsumsi rokok. Akan terjadi ketimpangan jika Peta Jalan CHT ini hanya mempertimbangkan kepentingan industri rokok dan petani tembakau.
Kebijakan ini akan menuai pro kontra di kalangan masyarakat, khususnya antara pelaku bisnis rokok dan petani tembakau dengan kalangan masyarakat yang peduli akan dampak buruk tembakau bagi Kesehatan.
Keberlangsungan Usaha vs Kesehatan
Peta Jalan CHT akan sulit diterapkan karena sangat kontras dengan Roadmap Pengendalian Dampak Konsumsi Rokok bagi Kesehatan yang tertuang dalam Permenkes nomor 40 tahun 2013. Di mana Pemerintah justru menargetkan penurunan prevalensi perokok sebesar 8,7% pada 2024. Salah satunya melalui peningkatan tarif cukai rokok serta pelarangan iklan dan sponsorship rokok.
ADVERTISEMENT
Dengan demikian, sekali lagi akan sulit untuk menyelaraskan antara Peta Jalan CHT dengan Peta Jalan Pengendalian Dampak Konsumsi Rokok bagi Kesehatan. Karena kedua roadmap ini akan memiliki target masa depan yang kontradiktif satu sama lain. Apakah mungkin roadmap CHT menjamin tarif cukai yang pro kepada industri rokok sekaligus pro kepada Kesehatan? Rasanya impossible.
Pun seandainya Pemerintah mengakomodir penyusunan roadmap CHT, maka jelas akan ada target kenaikan produksi rokok dan tembakau di dalamnya. Hal ini akan menimbulkan kesan pemerintah melanggar kewajibannya untuk menekan produksi, distribusi dan konsumsi rokok dalam rangka menjaga Kesehatan masyarakat.
Kecuali memang Pemerintah berniat menjadikan Industri rokok sebagai sunset Industry. Yaitu industri yang perlahan akan hilang di masa mendatang seiring berjalannya waktu. Dalam arti produksi rokok ke depan akan semakin berkurang dan Industri rokok bermetamorfosis ke jenis industri lainnya seperti sektor jasa, keuangan dan lain-lain. Jika kebijakan ini yang diambil maka Peta Jalan CHT akan lebih relevan dengan aspek kesehatan.
ADVERTISEMENT
Belajar dari Masa Lalu
Secara historis, sebenarnya Peta Jalan Industri rokok sudah pernah dimuat dalam Peraturan Menteri Perindustrian (Permenperin) Nomor 63/M-IND/PER/8/2015. Beleid tersebut mencakup Peta Jalan produksi industri hasil tembakau tahun 2015-2020. Namun roadmap tersebut berujung mangkrak karena kalah dalam gugatan uji materil di Mahkamah Agung pada tahun 2016.
Alasan MA mengabulkan gugatan tersebut karena bertentangan dengan berapa UU di atasnya, utamanya UU Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM dan UU nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.
Belajar dari gugatan di masa lalu, menurut hemat saya, sebaiknya Pemerintah saat ini lebih fokus kepada efektivitas perubahan tarif CHT dalam mengurangi konsumsi rokok ketimbang menyusun Peta Jalan CHT. Penetapan tarif CHT ini hendaknya memprioritaskan aspek Kesehatan, setelah itu barulah ke aspek penerimaan negara, tenaga kerja, petani tembakau dan industri rokok.
ADVERTISEMENT
Merujuk data WHO, konsumsi tembakau bertanggung jawab atas kematian dini secara global sekitar 3 juta orang setiap tahunnya. Di mana nikotin dalam rokok menyebabkan penyakit kanker, serangan jantung dan stroke. Bahkan di Indonesia, rokok menjadi penyebab tingkat kematian kedua setelah hipertensi. Lebih miris lagi, korbannya bukan hanya perokok aktif tapi juga perokok pasif yang tak berdosa.
Maka sudah selayaknya CHT ini menjalankan fungsinya sebagai Pigouvian Tax, yaitu pajak atas eksternalitas negatif berupa gangguan Kesehatan yang ditimbulkan. Juga sebagai Sin Tax, yaitu pajak untuk mengendalikan konsumsi rokok yang memiliki dampak negatif secara moral , khususnya bagi anak generasi kita.
Namun, faktanya peningkatan tarif CHT pun belum tentu dapat mengendalikan konsumsi rokok. Contoh di tahun 2021 kenaikan tarif CHT rata-rata 12,5% tapi tidak menyebabkan perubahan siginifikan pada harga rokok di pasaran. Harga rokok masih terjangkau karena kadang dijual di bawah harga eceran yang tertera pada pita cukai.
ADVERTISEMENT
Selain itu, kalaupun harga rokok naik, para konsumen rokok tetap dapat menjangkaunya dengan kehadiran rokok ilegal. Tentu saja rokok ilegal jauh lebih murah karena biaya produksinya lebih rendah akibat tidak membayar cukai. Maka menjadi tantangan besar bagi Aparat Bea Cukai dan Polri dalam menekan peredaran rokok ilegal ini.
Pemerintah juga perlu menjamin agar Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau (DHBCHT) sebagai bentuk earmarking cukai rokok bisa lebih efektif dan tepat sasaran. Pemanfaatan DHBCHT di daerah harus lebih optimal untuk mengatasi dampak buruk rokok.
Berdasarkan PMK nomor 206/PMK.07/2020 proporsi DHBCHT untuk Kesehatan hanya sebesar 25%, lebih rendah dari sebelumnya sebesar 50%. Dana earmarking ini juga sebaiknya dioptimalkan untuk sosialisasi secara masif akan bahaya rokok. Selain itu, DBHCT juga bisa digunakan untuk upaya penegakan hukum atas peredaran rokok ilegal.
ADVERTISEMENT
Memang benar bahwa kenaikan CHT dapat berimbas pada lapangan kerja di sektor industri rokok. Namun, selama ini CHT untuk Sigaret Kretek Tangan (SKT) tidak mengalami kenaikan signifikan. Tahun 2022 tarif CHT untuk SKT hanya naik maksimal 4,5%. Hal ini karena pertimbangan industri ini padat karya yang menyerap sekitar 158 ribu tenaga kerja. Berbeda dengan rokok Sigaret Putih Mesin (SPM) dan Sigaret Kretek Mesin (SKM) dengan kenaikan masing-masing maksimal 14,4% dan 14,3%.
Pemerintah sebaiknya lebih fokus pada upaya pengendalian konsumsi rokok dengan tarif CHT yang lebih tinggi agar harga rokok sulit terjangkau. Tentunya juga harus diikuti dengan penegakan hukum terhadap peredaran rokok ilegal.
Jadi, kembali ke wacana Peta Jalan CHT, saat ini roadmap tersebut tidak diperlukan karena akan bertentangan dengan aspek kesehatan. Kalaupun Pemerintah akhirnya Menyusun Peta Jalan CHT maka pilihan yang realistis adalah menjadikan Industri rokok sebagai Sunset Industry.
ADVERTISEMENT