Perdebatan Seputar Pajak NFT

Spin Rinto
Awardee LPDP Program Magister Ilmu Ekonomi Konsentrasi Keuangan Publik, Universitas Indonesia
Konten dari Pengguna
4 Februari 2022 21:04 WIB
·
waktu baca 6 menit
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Spin Rinto tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi NFT. Foto : koleksi/karya pribadi penulis
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi NFT. Foto : koleksi/karya pribadi penulis
ADVERTISEMENT
Media sosial belum lama ini pernah dihebohkan oleh seorang Sultan Ghozali. Anak muda asal Semarang ini mendadak viral setelah meraup profit miliaran rupiah dari hasil penjualan Non-Fungible Token (NFT) di platform OpenSea. Melalui akun Ghozali Everyday, dia berhasil menjual NFT berupa koleksi swafoto dirinya setiap hari selama 5 tahun dan menghasilkan pundi-pundi yang nilainya mencapai miliaran rupiah.
ADVERTISEMENT
Kabar terbaru dari akun Instagram Direktorat Jenderal Pajak (@ditjenpajakri), Ghozali baru saja mendatangi KPP Semarang Timur untuk mendaftar NPWP sekaligus memperoleh informasi terkait kewajiban pajaknya. Ini adalah buntut dari cuit Ghozali di Twitter yang berkomitmen menjadi pembayar pajak yang baik, tak berselang lama setelah dicolek oleh DJP selaku otoritas pajak.
Tak ayal sampai saat ini masih ada netizen yang mempertanyakan dasar hukum pengenaan pajak atas NFT. Menurut sebagian warganet, NFT tidak layak untuk dikenakan pajak karena regulasinya belum ada. Juga masih ada yang memperdebatkan kalau memang bayar pajak, lalu jenis pajak apa saja sih yang dikenakan terhadap raja NFT Indonesia, Ghozali?
Argumen “NFT tidak kena pajak” muncul bisa jadi karena aset digital tersebut diperjualbelikan dengan cryptocurrency, yang umumnya menggunakan Etherum, bukan dalam bentuk Rupiah. Selain itu, karena transaksi NFT ini dilakukan di dunia maya dan lintas negara. Bukan di wilayah NKRI. Lalu benarkah demikian? Karena masih banyak yang memperdebatkan tentang pajak NFT ini, maka sebagai praktisi pajak, saya akan ikut nimbrung dengan opini saya pribadi, tentunya dengan beberapa dalil sebagai penguat.
ADVERTISEMENT
Pertama-tama, kita harus memahami terlebih dahulu bahwa pajak tidaklah dipungut kecuali dengan undang-undang. Itulah yang membedakannya dengan pemalakan. Artinya bahwa pajak apa saja yang dipungut oleh pemerintah harus memiliki dasar hukum yang jelas. Selain itu, sebagaimana kita ketahui bahwa belum ada aturan perpajakan khusus terkait transaksi NFT ini. Sehingga masih banyak ruang perdebatan di dalamnya. Dengan demikian, saya akan berdalil dengan keterbatasan peraturan perundang-undangan yang ada.
Sebelum melangkah lebih jauh, kita harus membedakan jenis transaksi NFT. Transaksi NFT dapat meliputi penjualan NFT untuk mendapatkan cryptocurrency (oleh creator NFT seperti Ghozali), pembelian NFT dengan cryptocurrency yang sepadan (oleh buyer NFT), dan trading antar NFT (oleh trader NFT). Sehingga jika merujuk pada peraturan perundangan-undangan yang ada, maka jenis pajak yang potensial untuk NFT dapat mencakup Pajak Penghasilan (PPh), dan Pajak Pertambahan Nilai (PPN).
ADVERTISEMENT
Pajak Penghasilan
Berdasarkan UU PPh Nomor 36 Tahun 2008, yang menjadi objek pajak adalah penghasilan, yaitu setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak, baik yang berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia, yang dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan Wajib Pajak yang bersangkutan, dengan nama dan dalam bentuk apa pun.
Kata kunci pertama dari definisi penghasilan di atas adalah “baik yang berasal dari Indonesia maupun luar Indonesia”. Artinya bahwa transaksi NFT dapat dikenakan PPh sekalipun dilakukan di luar wilayah NKRI seperti luar negeri maupun ruang digital seperti OpenSea. Selama pelakunya adalah WNI yang memenuhi syarat sebagai subjek pajak, maka tetap memiliki kewajiban PPh meskipun yang bersangkutan berdomisili di luar negeri, seperti para Pekerja Migran Indonesia (PMI). Apalagi jika pelaku transaksinya seperti Ghozali yang masih berdomisili di Indonesia.
ADVERTISEMENT
Kata kunci berikutnya adalah “dengan nama dan dalam bentuk apa pun”. Maka entah itu dalam bentuk uang rupiah, uang dolar, uang elektronik bahkan dalam bentuk cryptocurrency sekalipun tetap dianggap sebagai objek Pajak Penghasilan.
Ditambah lagi, UU tidak menyebutkan secara eksplisit jenis sumber penghasilan apa saja yang dikenakan PPh, namun hanya membatasi penghasilan yang tidak termasuk objek pajak. Prinsip negative list ini memberikan diskresi kepada negara untuk memungut pajak atas penghasilan dari jenis apa pun selama tidak termasuk objek pajak yang dikecualikan. Lalu sumber penghasilan apa saja yang dikecualikan dari objek PPh?
Merujuk pasal 4 ayat (3) UU PPh dan UU HPP, yang dikecualikan dari objek pajak adalah penghasilan yang berasal dari sumbangan keagamaan, zakat, harta hibah tertentu, warisan, deviden tertentu, pembayaran dari perusahaan asuransi, iuran yang diterima dana pensiun, penghasilan dari modal yang ditanamkan oleh dana Pensiun, bagian laba yang diperoleh anggota dari perseroan komanditer, penghasilan yang diperoleh perusahaan modal ventura tertentu, beasiswa dan seterusnya.
ADVERTISEMENT
Yang jelas tidak ada NFT dalam daftar pengecualian di atas. Sehingga bisa dipastikan bahwa penghasilan dari transaksi NFT merupakan objek PPh. Lalu jenis Pajak PPh apa yang pantas dikenakan untuk transaksi NFT ini? Tergantung dari jenis transaksinya. Kalau pelaku transaksi merupakan creator NFT seperti Ghozali, maka Dia dapat dikenakan PPh Final dengan tarif 0,5% dari omzet penjualan NFT setelah dikurangi omzet tidak kena pajak sebesar Rp 500 Juta. Tentunya dengan asumsi bahwa omzet tersebut tidak melebihi Rp 4,8 miliar setahun.
Kalau omzet Ghozali terus meroket hingga melebihi Rp 4,8 miliar maka akan dikenakan PPh dengan tarif berlapis Pasal 17 UU PPh mulai dari 5%, 15%, 25%, 30% hingga 35% yang bersifat progresif tergantung dari bracket penghasilannya.
ADVERTISEMENT
Lalu bagaimana perlakuan PPh untuk para buyer atau trader NFT? Masih akan ada ruang perdebatan. Tergantung apakah NFT dianggap sebagai aset derivatif ataukah sebagai barang koleksi. Dalam konteks Indonesia, saya berpendapat bahwa NFT bukanlah aset derivatif, berbeda dengan uang kripto yang telah diakui sebagai aset derivatif oleh Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi (BAPPETI) melalui Peraturan BAPPETI Nomor 2 Tahun 2020 tentang Ketentuan Teknis Penyelenggaraan Pasar Fisik Aset Kripto (Crypto Asset) di Bursa Berjangka.
Maka implikasinya, beda dengan aset kripto, NFT belumlah dapat dikenakan PPh Final PPh Pasal 4 ayat (2) atas transaksi derivatif yang diperdagangkan di bursa.
Lalu bagaimana lagi kalau NFT sebagai barang koleksi? Jika demikian, maka trader NFT akan dikenakan PPh atas keuntungan (gain) dari trading NFT tersebut. Sebagaimana barang koleksi non digital kalian seperti jam Rolex, sepeda Brompton dan sebagainya, maka atas gain tersebut akan dikenakan PPh dengan tarif progresif Pasal 17 UU PPh.
ADVERTISEMENT
Pajak Pertambahan Nilai
PPN di Indonesia menganut prinsip negative list. Di mana daftar barang/jasa yang tidak kena PPN telah ditentukan dalam Undang-Undang. Sehingga barang/jasa apa pun yang tidak termasuk dalam daftar tersebut akan dianggap sebagai objek PPN.
Berdasarkan Pasal 4A UU PPN Nomor 42 Tahun 2009 sebagaimana telah diubah dengan UU HPP Nomor 7 Tahun 2021, barang yang tidak kena PPN meliputi makanan dan minuman yang disajikan di hotel, restoran, rumah makan, warung, dan sejenisnya (karena telah dikenakan pajak daerah), serta uang, emas batangan untuk kepentingan cadangan devisa negara, dan surat berharga.
Lagi-lagi, tidak ada NFT dalam list tersebut. Lalu apakah berarti NFT dikenakan PPN? Eit, tunggu dulu. NFT memang bisa masuk kategori barang kena PPN tetapi tidak serta-merta atas transaksi barang tersebut dikenakan PPN. Perlu diketahui, prinsip pemajakan PPN berbeda dengan PPh. PPN di Indonesia memiliki karakteristik destination principles. Artinya bahwa transaksi NFT akan dikenakan PPN jika dan hanya jika dilakukan di dalam Daerah Pabean atau wilayah NKRI.
ADVERTISEMENT
Sekarang akan timbul lagi pertanyaan, apakah dunia maya atau ruang virtual dapat dikategorikan sebagai Daerah Pabean? Berdasarkan UU PPN Nomor 42 Tahun 2009, Daerah Pabean adalah wilayah Republik Indonesia yang meliputi wilayah darat, perairan, dan ruang udara di atasnya, serta tempat-tempat tertentu di Zona Ekonomi Eksklusif dan landas kontinen yang di dalamnya berlaku undang-undang yang mengatur mengenai kepabeanan. Dengan demikian saya menilai bahwa ruang virtual tidaklah termasuk dalam Daerah Pabean. Sehingga NFT tidak layak dikenakan PPN.
Tidak dapat dipungkiri NFT adalah hal yang masih baru di seluruh negara di dunia, termasuk Indonesia. Maka tidak heran masih menimbulkan perdebatan dalam aspek perpajakannya. Saya membayangkan ke depan Indonesia akan memiliki regulasi perpajakan khusus terkait ekonomi digital, termasuk NFT di dalamnya.
ADVERTISEMENT