Konten dari Pengguna

Analisis Dimensi Ketimpangan Ekonomi di Indonesia

Sri Harjanto Adi Pamungkas
Dosen (CPNS) di FISIP Universitas Indonesia (mulai 2024). Peneliti di UGM (2021-2023). Menempuh pendidikan sarjana dan magister di bidang Manajemen dan Kebijakan Publik.
8 Juni 2022 21:40 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Sri Harjanto Adi Pamungkas tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Sumber: dokumentasi penulis
zoom-in-whitePerbesar
Sumber: dokumentasi penulis
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Catatan: tulisan ini adalah bagian pendahuluan dari laporan penelitian yang menganalisis tentang ketimpangan dan agenda-agenda kebijakan terkait di Indonesia.
ADVERTISEMENT
Ketimpangan ekonomi bersama dengan krisis iklim adalah tantangan utama umat manusia pada abad ke-21. Mariana Mazzucato (2018), Direktur Institute for Innovation and Public Purpose di University College London bahkan menyebutnya sebagai The Grand Challenge. Hal ini tentu tidak berlebihan, United Nations dalam World Social Report 2020 menyatakan bahwa semenjak 1990 ketimpangan pendapatan telah meningkat di hampir seluruh negara maju dan banyak negara berkembang.
Lebih jauh, kelompok 40 persen terbawah hanya menikmati kurang dari 25 persen dari total pendapatan di 92 negara yang menjadi lokasi penelitian tersebut. Realita ini adalah salah satu wajah dari perekonomian dunia abad ke-21. Setelah melewati periode pemerataan ekonomi paska berakhirnya depresi besar 1920an dan Perang Dunia II, gelombang liberalisasi ekonomi turut membawa tren naiknya ketimpangan pendapatan. Kondisi ini menjadi representasi dari distribusi manfaat ekonomi yang relatif lebih timpang paska 1990an.
ADVERTISEMENT
Indonesia adalah salah satu negara yang berhadapan dengan laju peningkatan ketimpangan ekonomi. Pada satu sisi, Indonesia paska krisis finansial Asia atau di Indonesia lebih dikenal sebagai krisis moneter (krismon) di akhir dekade 1990-an telah berhasil mewujudkan pertumbuhan ekonomi yang stabil. Indonesia juga berkembang menjadi salah satu kekuatan ekonomi terbesar di dunia berdasarkan volume produk domestik bruto (PDB). Suatu hal yang membawa Indonesia masuk dalam jajaran keanggotaan G-20.
Sayangnya, pada sisi lain, berdasarkan laporan Oxfam (2017) dalam dua dekade terakhir ketimpangan antara kelompok terkaya dan kelompok - kelompok yang lebih miskin mengalami peningkatan yang lebih cepat dibanding negara-negara lainnya di Asia Tenggara. Lebih jauh, Oxfam memberi gambaran memilukan tentang realitas yang dihasilkan oleh ketimpangan ekonomi ini. Hanya dalam waktu satu hari, orang Indonesia terkaya dapat memperoleh bunga dari kekayaannya lebih dari seribu kali lipat jumlah pengeluaran kelompok masyarakat paling miskin untuk kebutuhan dasar selama setahun.
ADVERTISEMENT
Bagi Indonesia, penanggulangan ketimpangan ekonomi dapat dikatakan sebagai salah satu agenda besar nasional. Hal ini dikarenakan Indonesia saat ini tengah berada dalam periode yang strategis sekaligus kritis. Strategis dalam artian Indonesia tengah berada dalam suatu jalur (growth trajectory) yang baik. Indonesia dalam dua dekde paska Krisis Finansial Asia di Akhir 1990an, yang biasa disebut sebagai krisis moneter (krismon), berhasil pulih dan tumbuh secara meyakinkan. Pada dekade pertama paska krismon Indonesia dapat tumbuh dengan rerata di atas 5 persen. Sementara pada dekade kedua paska krismon Indonesia dapat tetap menjaga kecenderungan positif pertumbuhan dengan rerata di atas 4 persen. Situasi ini membuat peluang Indonesia untuk dapat masuk dalam kategori negara berpendapatan menengah ke atas (upper-middle-income country) menjadi terbuka.
ADVERTISEMENT
Namun, pada satu sisi lain Indonesia juga tengah berada dalam periode yang kritis. Hal ini karena Indonesia juga rawan untuk terjebak dalam middle-income trap seperti yang pernah dialami oleh negara-negara Amerika Latin. Apalagi, mengutip studi yang dilakukan oleh Ash Center (2013) menunjukkan bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia tidak bersifat inklusif (non-inclusive), tidak cukup pesat (non-rapid), dan tidak berkelanjutan (unsustainable).
Secara historis, Indonesia baru mengalami laju peningkatan ketimpangan ekonomi paska krismon. Namun, terdapat beberapa perbedaan mendasar secara ekonomi pada kondisi saat itu. Indonesia sebelum krismon adalah negara dengan tax ratio tertinggi kedua di kawasan dan mencapai puncaknya pada rentang tahun 1990 - 1995 (Oxfam, 2017). Selain itu, ekonomi Indonesia sebelum krismon didukung oleh gairah pertumbuhan industri manufaktur yang luas (ADB, 2018).
ADVERTISEMENT
Manufaktur memang salah satu sektor yang paling efektif mendistribusikan manfaat ekonomi. Berkembangnya manufaktur juga dapat mendorong tenaga kerja untuk terserap dalam sektor - sektor ekonomi formal. Hal ini memiliki dua keuntungan, baik untuk negara maupun masyarakat. Bagi negara, sektor formal yang berkembang dapat meningkatkan pendapatan anggaran karena pendapatan pajak dari pekerja yang masuk di sektor formal juga akan meningkat. Bagi masyarakat, dengan bekerja di sektor formal maka lebih dapat menikmati perlindungan sosial. Mulai dari jaminan ketenagakerjaan, jaminan kesehatan, hingga jaminan hari tua dan lain sebagainya.
Sementara, paska krismon tax ratio Indonesia justru berbalik menjadi salah satu yang terendah di kawasan. Hal ini salah satunya didorong oleh perkembangan sektor informal terutama paska krismon yang mengkhawatirkan. Selain itu, riset ASH Center dari Harvard Kennedy School pada 2013 menunjukkan bahwa ekonomi Indonesia paska krismon tidak lagi ditandai oleh gairah manufaktur namun ekspor komoditas. Apalagi dari awal tahun 2000an hingga 2013 Indonesia menikmati lonjakan permintaan dan harga komoditas akibat geliat ekonomi China. Suatu hal yang disebut sebagai periode resource boom.
ADVERTISEMENT
Sayangnya, ketergantungan kepada ekspor komoditas selain minim nilai tambah juga memperlebar ketimpangan (Oxfam, 2017). Ketergantungan pada ekspor komoditas mentah membuat industri Indonesia tidak banyak terlibat dalam pengolahan menuju barang setengah jadi dan jadi yang sebenarnya penting untuk meningkatkan nilai tambah. Selain itu, serapan tenaga kerja sektor komoditas juga tidak setinggi sektor manufaktur. Hal ini dapat mendorong semakin melebarnya ketimpangan.
Ketimpangan ekonomi pada dasarnya memiliki pola yang serupa antar negara. Namun, bukan berarti sepenuhnya identik karena setiap negara memiliki konteks domestik masing - masing. Berbicara tentang ketimpangan ekonomi di Indonesia tentu perlu diawali dengan melihat struktur perekonomian. Struktur perekonomian Indonesia dapat dikelompokkan dalam dua segmentasi. Pertama adalah usaha besar (UB) sementara yang kedua adalah usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM). Berdasarkan UU NO.20/2008 usaha mikro adalah usaha dengan aset maksimal Rp50 juta dan omzet maksimal Rp300 juta. Usaha kecil adalah usaha dengan aset lebih dari Rp50 juta - Rp500 juta dan omzet lebih dari Rp300 juta - Rp2,5 miliar. Usaha menengah adalah usaha dengan aset lebih dari Rp500 juta - Rp10 miliar dan omzet lebih dari Rp 2,5 miliar - Rp50 miliar. Terakhir, usaha besar adalah usaha dengan aset lebih dari Rp10 miliar dan omzet lebih dari Rp50 miliar.
ADVERTISEMENT
Dari kedua segmen ekonomi ini UMKM adalah segmen yang sangat mendominasi struktur perekonomian Indonesia. Berdasarkan data dari Kementerian Koperasi dan UKM pada 2018 saja jumlah UMKM mencapai 64 juta unit dengan serapan tenaga kerja lebih dari 116 juta tenaga kerja dan kontribusi ke PDB lebih dari 60 persen. Pemahaman tentang struktur perekonomian ini adalah modal untuk menganalisis ketimpangan di Indonesia mulai dari sumber permasalahan hingga solusi kreatif yang dapat diambil.
Ketimpangan ekonomi di Indonesia sama dengan ketimpangan di berbagai negara lain memiliki setidaknya tiga dimensi. Pertama adalah ketimpangan pendapatan (income inequality). Berdasarkan data dari BPS, indeks gini Indonesia pada September 2020 mencapai 0,385. Kedua adalah ketimpangan kekayaan (wealth inequality). Data dari Lembaga Penjamin Simpanan (2019) menunjukkan bahwa lebih dari 56 persen dana yang disimpan di perbankan Indonesia dikuasai oleh hanya 277.010 akun rekening. Padahal total jumlah akun rekening di Indonesia mencapai lebih dari 295 juta. Ketiga adalah ketimpangan antar generasi (intergenerational inequality).
ADVERTISEMENT
Pembahasan tentang dimensi ketimpangan ketiga ini dipopulerkan oleh ekonom Perancis, Thomas Piketty. Piketty (2014) menggarisbawahi kecenderungan dari lebih tingginya tingkat pengembalian modal (return on capital) dibanding tingkat pertumbuhan ekonomi. Kondisi ini menyebabkan keluarga yang memiliki kekayaan melimpah mengalami peningkatan kekayaan lebih tinggi daripada pertumbuhan ekonomi. Kondisi ini menyebabkan semakin buruknya ketimpangan. Generasi berikutnya dari keluarga ini kemudian dapat menikmati warisan kekayaan dengan nilai yang semakin meningkat. Hal yang disebut Piketty sebagai kapitalisme patrimonial. Sementara, keluarga dengan kekayaan terbatas semakin tertinggal.
Dinamika perekonomian Indonesia paska krismon memang kompleks. Apalagi dalam hubungannya dengan laju peningkatan ketimpangan ekonomi. Pertumbuhan ekonomi yang stabil berhasil dihasilkan. Angka kemiskinan terus menurun dari tahun ke tahun. Angka pengangguran juga terus menurun dari tahun ke tahun. Akan tetapi, berbagai realita yang positif ini diwarnai juga oleh distribusi manfaat pertumbuhan ekonomi yang kurang berkeadilan. Peningkatan laju ketimpangan adalah manifestasi nyata dari distribusi manfaat ekonomi yang tidak berkeadilan ini. Indeks gini yang berada di angka 0,385 pada bulan September tahun 2020 menunjukkan realita dari ketimpangan ekonomi yang dihadapi Indonesia.
ADVERTISEMENT
Pertumbuhan ekonomi yang relatif stabil nyatanya dibarengi pula oleh pelebaran kesenjangan pendapatan antar kelompok masyarakat. Kepemilikan dana di perbankan yang lebih dari separuhnya hanya terkonsentrasi di 200-an ribu rekening menunjukkan realita ketimpangan kekayaan. Lebih dari 50 persen dana yang tersimpan di perbankan pada 2019 dimiliki oleh tidak sampai 1 persen dari total lebih dari 200 juta penduduk Indonesia.
Studi dari Oxfam (2017) yang sebelumnya juga telah dikutip turut memberikan gambaran pahit dari realita ketimpangan di Indonesia. Studi ini menemukan bahwa hanya dalam waktu satu hari, orang Indonesia terkaya dapat memperoleh bunga dari kekayaannya lebih dari seribu kali lipat jumlah pengeluaran kelompok masyarakat paling miskin untuk kebutuhan dasar selama setahun.
ADVERTISEMENT
Bunga dari kekayaan atau yang biasa disebut return on capital ini dalam jangka panjang dapat memperparah ketimpangan antara generasi. Keturunan dari pemilik modal dapat meningkatkan kekayaan yang dimiliki secara pasif dengan pendapatan dari bunga atas kapital yang disimpan di perbankan. Sementara, keturunan dari keluarga yang ada pada kelompok - kelompok masyarakat dengan pendapatan lebih rendah harus berjuang lebih keras untuk mencapai mobilitas vertikal. Ketiga pertumbuhan dari bunga perbankan ini lebih tinggi dari laju pertumbuhan ekonomi maka seperti yang diungkapkan oleh Piketty (2014) ketimpangan akan semakin melebar.
Tiga dimensi ketimpangan yang telah disebutkan sebelumnya pada dasarnya saling terhubung. Penanggulangan ketimpangan pendapatan merupakan langkah awal yang vital karena dalam jangka panjang dapat mengatasi ketimpangan kekayaan dan antar generasi. Distribusi pendapatan yang lebih merata meningkatkan kemampuan dari kelompok - kelompok masyarakat dengan pendapatan terbawah untuk meningkatkan kekayaan (ability to access more wealth). Kondisi ini jika dapat dijaga secara berkesinambungan dapat mengikis ketimpangan antar generasi dengan dorongan dari lebih banyak mobilitas ekonomi vertikal (vertical/upward mobility).
ADVERTISEMENT
Referensi:
ASH Center. (2013). The sum is greater than the parts: doubling shared prosperity in Indonesia through local and global integration. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Asian Development Bank. (2018). Enhancing Productivity Through Quality Jobs. Diunduh pada 22 September 2020 dari <http://dx.doi.org/10.22617/TCS189213-2>
Badan Pusat Statistik. (2020). Berita Resmi Statistik: Tingkat Ketimpangan Lembaga Penjamin Simpanan. (2019). Distribusi Simpanan Bank Umum Periode September 2019. Diunduh pada 22 September 2020 dari <http://www.lps.go.id>
Kementerian Koperasi dan UKM. (2018). Perkembangan Data Usaha Mikro, Kecil, Menengah (UMKM) dan Usaha Besar (UB) Tahun 2017 - 2018. Diunduh pada 22 September 2020 dari
<http://www.depkop.go.id/uploads/laporan/1580223129_PERKEMBANGAN%20DATA%20USAHA%20MIKRO,%20KECIL,%20MENENGAH%20(UMKM)%20DAN%20USAHA%20BESAR%20(UB)%20TAHUN%202017%20-%202018.pdf>
OXFAM. (2017). Menuju Indonesia Yang Lebih Setara. OXFAM Briefing Series Februari 2017 diunduh pada 22 September 2020 dari
ADVERTISEMENT
<https://oi-files-d8-prod.s3.eu-west-2.amazonaws.com/s3fs-public/bp-towards-more-equal-indonesia-230217-id_0.pdf>
Mazzucato, Mariana. (2018). Mission-oriented innovation policies: Challenges and opportunities. Oxford: Industrial and Corporate Change
Pengeluaran Penduduk Indonesia September 2020. Diunduh pada 22 September 2020 dari <https://www.bps.go.id/pressrelease/download.html?nrbvfeve=MTg1Mg%3D%3D&sdfs=ldjfdifsdjkfahi&twoadfnoarfeauf=MjAyMS0wNC0wMiAxNjowODo0OA%3D%3D>