Kompleksitas Kebijakan Penanggulangan Pandemi di Indonesia

Sri Harjanto Adi Pamungkas
Mahasiswa Magister Manajemen dan Kebijakan Publik UGM / Peneliti Kebijakan Publik / Asisten Riset di Departemen Manajemen dan Kebijakan Publik UGM
Konten dari Pengguna
11 Mei 2022 14:39 WIB
·
waktu baca 7 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Sri Harjanto Adi Pamungkas tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Pandemi membuat aktivitas ekonomi menjadi lesu [sumber: dokumentasi penulis]
zoom-in-whitePerbesar
Pandemi membuat aktivitas ekonomi menjadi lesu [sumber: dokumentasi penulis]
ADVERTISEMENT
Kebijakan publik memang adalah kunci dalam perang melawan pandemi, namun bukan berarti ini hal yang sederhana untuk dilakukan. Kebijakan publik tidak hadir dalam suatu ruang hampa. Kebijakan publik tidak beroperasi dalam lingkungan yang terisolasi seperti laboratorium yang bebas konteks dan pengaruh. Kebijakan publik mengambil tempat di suatu laboratorium yang bersifat real-world setting sehingga ada banyak elemen lingkungan yang memberikan pengaruh. Pengaruh-pengaruh ini bukan hanya menghadirkan tantangan bagi suatu kebijakan publik namun juga menghadirkan kompleksitas dan ketidakpastian.
ADVERTISEMENT
Rinfret, Scheberle, dan Pautz (2018) membangun suatu kerangka tipologi lingkungan kebijakan yang dapat menjadi instrumen dalam melihat kompleksitas kebijakan. Kerangka tipologi ini mengindentifikasi bahwa dalam lingkungan kebijakan terdapat 4 konteks lingkungan yang berdampak terhadap kebijakan publik. Keempat hal ini adalah: (1) Lingkungan politik, (2) Lingkungan ekonomi, (3) Lingkungan sosial-budaya, dan (4) Lingkungan administratif.
Paragraf berikutnya akan memberikan penjelasan yang lebih detail terkait 4 hal ini.
Lingkungan politik memberikan pengaruh terhadap kebijakan publik melalui berbagai saluran. Saluran pertama adalah partai politik. Setiap partai politik memiliki basis ideologi dan pendekatan kebijakan yang berbeda. Hal ini mendorong preferensi prioritas kebijakan yang juga saling berbeda satu sama lain. Saluran kedua adalah melalui pejabat-pejabat pemerintahan. Terdapat variasi dalam latar belakang pejabat pemerintahan seperti dari asosiasi profesional, kader partai politik, aktivis LSM dan lain sebagainya yang membuat pendekatan kebijakan dan preferensi kepentingan (interest) juga turut berbeda. Selain itu terdapat pula siklus politik melalui pemilu yang dilaksanakan secara rutin yang turut memberi pengaruh pada pemilihan agenda kebijakan serta konsistensi implementasi kebijakan.
ADVERTISEMENT
Lingkungan ekonomi memberikan pengaruh terhadap kebijakan utamanya melalui saluran fiskal dan moneter. Ketika situasi ekonomi sedang bertumbuh maka kapasitas fiskal negara meningkat dan siklus moneter lebih stabil. Namun ketika situasi ekonomi mengalami kelesuan bahkan krisis maka kapasitas fiskal negara menurun, beban fiskal meningkat, dan stabilitas moneter tergoncang. Situasi ekonomi secara dominan menyita perhatian publik dan pemerintah yang berpengaruh terhadap penentuan prioritas kebijakan, pilihan instrumen kebijakan, serta konsistensi implementasi kebijakan.
Lingkungan sosial-budaya memberikan pengaruh melalui saluran kerangka norma dan kerangka identitas. Kerangka norma menentukan hal apa yang dapat diterima oleh masyarakat suatu negara dan hal apa yang tidak dapat diterima. Sementara kerangka identitas menentukan preferensi dari suatu masyarakat di suatu negara. Norma dan identitas kemudian membentuk dua hal penting dalam kebijakan publik yaitu sikap terhadap kebijakan dan pola penentuan prioritas kebijakan atau kebutuhan. Misalnya bagi masyarakat Indonesia kebijakan pencabutan jaminan sosial kesehatan secara penuh tidak dapat diterima karena bertentangan dengan kerangka norma bahwa negara menjamin kebutuhan dasar (utamanya jaminan kesehatan) dari warga negara. Sementara, kerangka identitas memberikan pengaruh misalnya bagi pendirian kementerian agama dan pengadilan agama di Indonesia.
ADVERTISEMENT
Terakhir, lingkungan administratif memberikan pengaruh pada kebijakan publik karena adanya saluran hierarki dan struktur pemerintahan serta rantai koordinasi. Hierarki dan struktur pemerintahan menjadi hal yang seringkali berpengaruh karena terkait dengan level pemerintahan mana yang bertanggung jawab terhadap suatu kebijakan. Sementara, rantai koordinasi menentukan bagaimana suatu kebijakan diorganisasikan dalam konteks kelembagaan pemerintahan.
Indonesia dalam menghadapi pandemi COVID-19 sangat terpengaruh oleh dinamika lingkungan perekonomian. Hal ini karena elemen perekonomian utama Indonesia adalah konsumsi rumah tangga. Menteri Perdagangan RI, M. Lutfi menyatakan bahwa PDB Indonesia didominasi oleh konsumsi rumah tangga yang mencapai 57,6 persen pada 2020 (Setkab, 2021). Padahal konsumsi rumah tangga tertekan akibat pandemi COVID-19 karena adanya pembatasan mobilitas sosial, penurunan kapasitas produksi oleh industri serta gelombang PHK yang terjadi.
ADVERTISEMENT
Selain itu, pendapatan perpajakan Indonesia mengalami penurunan yang disertai dengan peningkatan kebutuhan belanja akibat pandemi COVID-19. Berdasarkan data dari Kementerian Keuangan RI (2021), pada 2020 defisit anggaran mencapai 947,6 triliun rupiah, pendapatan negara turun 15,9 persen, dan belanja negara naik 12,3 persen. Hal ini membuat kapasitas fiskal Indonesia tertekan karena defisit fiskal mencapai lebih dari 6 persen. Hal ini membuat pemerintah harus mengambil kebijakan yang sangat tidak populer yaitu meningkatkan utang luar negeri untuk menutup defisit serta membiayai pemulihan pandemi COVID-19.
Selain itu, dengan keterbatasan kapasitas fiskal ini maka pemerintah harus melakukan berbagai penyesuaian kebijakan seperti pengalihan anggaran untuk penanganan pandemi COVID-19 dan perluasan basis pajak melalui pajak digital. Namun, prioritas kebijakan ekonomi tetap pada memberikan berbagai instrumen insentif fiskal serta perluasan jaring pengaman sosial.
ADVERTISEMENT
Sementara itu, lingkungan politik menghadirkan dilema yang rumit bagi Indonesia dalam upaya penanganan pandemi COVID-19. Hal ini karena adanya paradoks antara penanganan krisis kesehatan dengan penanganan krisis ekonomi. Dalam menangani krisis kesehatan maka dibutuhkan suatu pembatasan sosial skala besar dan perluasan jaring pengaman sosial secara masif. Namun, hal ini dapat merugikan secara ekonomi karena pembatasan sosial dapat menurunkan kapasitas produksi, mengganggu rantai distribusi, serta menurunkan konsumsi (daya beli). Sebaliknya, menangani krisis ekonomi memerlukan pembatasan sosial yang bersifat proporsional atau minimal serta menjaga beban utang serta defisit fiskal tetap terkendali. Padahal, langkah ini justru akan kontra-produktif terhadap penanganan krisis kesehatan.
Dalam menghadapi dilema ini pemerintah pusat pada awalnya lebih memilih memprioritaskan penanganan krisis kesehatan yang juga merupakan aspirasi publik melalui PSBB (Pembatasan Sosial Berskala Besar). Namun, ternyata dampaknya justru merugikan secara ekonomi dan Indonesia akhirnya terjatuh pada resesi ekonomi pada kuartal ketiga tahun 2020. Setelahnya, pemerintah memilih untuk mengedepankan penanganan krisis ekonomi melalui pembatasan sosial secara proporsional. Langkah ini termanifestasikan dalam kebijakan PPKM (Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat).
ADVERTISEMENT
Tantangan berikutnya yang harus dihadapi oleh Indonesia adalah dari lingkungan sosial-budaya kebijakan. Pemerintah memberlakukan kebijakan pembatasan sosial yang ketat terhadap aktivitas-aktivitas keagamaan. Hal ini menimbulkan tentangan dari sebagian kelompok masyarakat. Alasannya karena pembatasan aktivitas keagamaan tentunya tidak dapat diterima dalam kerangka norma sosial yang ada.
Lebih lanjut, pembatasan juga diberlakukan terhadap arus mudik dalam hari besar keagamaan, utamanya idul fitri. Hal ini juga menimbulkan tentangan. Terutama karena pembatasan dalam arus mudik dan aktivitas selama lebaran berbenturan dengan kerangka identitas yang cukup dominan di Indonesia. Kerangka identitas yang sudah terlanjur tertanam dan menjadi konstruksi sosial yaitu melakukan mobilitas dan interaksi sosial selama lebaran mendapatkan pembatasan. Padahal, hal ini dianggap sebagai bagian dari identitas keindonesiaan untuk melakukan mobilitas sosial melalui mudik dan interaksi sosial selama hari besar keagamaan seperti lebaran dan natal.
ADVERTISEMENT
Tantangan terakhir yang secara signifikan mempengaruhi kebijakan di periode pandemi adalah lingkungan administratif. Permasalahan pertama terkait dengan pada level pemerintahan mana kebijakan pembatasan sosial dapat diambil. Pemerintah pusat pada masa awal pandemi memilih untuk tidak melakukan pembatasan sosial. Sementara itu, banyak kepala daerah yang kemudian mengambil inisiatif untuk melakukan pembatasan sosial seperti di DKI Jakarta, kota Solo dan Tegal. Kasus di Tegal dapat dikatakan cukup ekstrem karena akses masuk dari daerah lain ditutup. Kebijakan ini menimbulkan pro dan kontra. Termasuk juga kebijakan serupa yang diambil oleh daerah-daerah lainnya.
Pemerintah pusat kemudian memberikan teguran namun pemerintah daerah memberikan kritik balik dengan mengatakan bahwa pemerintah pusat lambat mengambil keputusan. Berikutnya adalah permasalahan koordinasi dan integrasi data terkait pandemi COVID-19. Berdasarkan laporan dari BBC Indonesia (2021), terdapat perbedaan data yang mencolok antara pemerintah pusat dan daerah di mana data kematian terpaut hampir 24% atau per 25 Juli 2021, perbedaan tersebut mencapai 19.857 kasus. Per tanggal tersebut, data kematian yang dihimpun KawalCovid-19 mencapai 103.136, sementara pemerintah pusat 83.279 kasus. Jika disandingkan, maka data pemerintah pusat terlambat hampir tiga minggu dari laporan rekapitulasi data pemerintah daerah.
ADVERTISEMENT
Berdasarkan analisis yang telah dilakukan pada paragraf-paragraf sebelumnya maka beberapa kesimpulan dapat diambil. Pertama, lingkungan ekonomi memberikan pengaruh signifikan dalam kebijakan penanggulangan pandemi di Indonesia melalui adanya kapasitas fiskal yang terbatas. Hal ini dibarengi dengan penurunan pendapatan pajak yang disertai dengan peningkatan kebutuhan belanja untuk penanganan pandemi. Kedua, lingkungan politik menghadirkan kompleksitas dalam hal penentuan prioritas utama kebijakan publik. Kompleksitas itu terutama berakar dari adanya dilema antara memprioritaskan kebijakan penanganan krisis kesehatan atau penanganan krisis ekonomi.
Ketiga, lingkungan sosial-budaya memberi pengaruh signifikan terutama akibat adanya benturan kebiasaan lama (status quo) dengan kebiasaan baru (new normal) yang dihadirkan oleh kebijakan penanganan pandemi. Keempat, lingkungan administratif menghadirkan kompleksitas dalam hal koordinasi vertikal antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah. Terakhir, adanya informasi asimetris, rasionalitas terbatas, dan kompleksitas institusional turut menghadirkan tantangan dalam hal kebijakan penanganan pandemi COVID-19 di Indonesia.
ADVERTISEMENT
Daftar Pustaka
BBC Indonesia. (2021). Angka kematian covid-19: beda data pemerintah pusat dan daerah capai 19.000 kasus, ‘hijau di luar merah di dalam’. [online] diakses pada 23 Maret 2022 melalui
<https://www.bbc.com/indonesia/indonesia-57971840>
Kementerian Keuangan RI. (2021). Pandemi Covid-19 mempengaruhi kinerja APBN 2020. [online] diakses pada 23 Maret 2022 melalui
<https://www.kemenkeu.go.id/publikasi/berita/pandemi-covid-19-mempengaruhi-kinerja-apbn 2020/#:~:text=Sementara%2C%20realisasi%20belanja%20negara%20pada,desa%20sebesar%20Rp762%2C5%20triliun.>
Rinfret, S. R., Scheberle, D., & Pautz, M. C. (2021). Public policy: A concise introduction. CQ Press.
Sekretariat Kabinet RI. (2021). Minister: household consumption records higher growth than that of before pandemic. [online] diakses pada 30 Maret 2022 melalui
<https://setkab.go.id/en/minister-household-consumption-records-higher-growth-than-that-of-before-pandemic/>