Menilik Kebijakan Inovasi di Indonesia

Sri Harjanto Adi Pamungkas
Mahasiswa Magister Manajemen dan Kebijakan Publik UGM / Peneliti Kebijakan Publik / Asisten Riset di Departemen Manajemen dan Kebijakan Publik UGM
Konten dari Pengguna
3 Mei 2022 14:07 WIB
·
waktu baca 7 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Sri Harjanto Adi Pamungkas tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Suasana Pembelajaran Kebijakan Publik di Perguruan Tinggi
zoom-in-whitePerbesar
Suasana Pembelajaran Kebijakan Publik di Perguruan Tinggi
ADVERTISEMENT
Walaupun inovasi telah menjadi kata kunci dalam berbagai bidang di era modern ini, masih terdapat skeptisme tentang kemampuan negara untuk berinovasi dengan baik. Inovasi dalam pandangan umum dianggap sebagai instrumen yang menjadi alat bagi sektor swasta dan bukan negara. Namun, bila melihat sedikit lebih jauh ke belakang, misalnya dari era post war hingga kebangkitan kembali hegemoni madzhab ekonomi neoklasik, justru negara adalah pemeran utama dalam inovasi (Mazzucato, 2018a).
ADVERTISEMENT
Apalagi saat ini ketika dunia sedang menghadapi tantangan besar akibat melebarnya ketimpangan ekonomi, climate change yang telah berubah menjadi climate crisis, dan yang paling baru pandemi covid-19 maka tuntutan bagi negara untuk berinovasi semakin krusial.
Singapura memiliki cerita sukses dalam mempromosikan birokrasi digital di era pandemi ini. Abdou (2021) mengidentifikasi berbagai inisiatif birokrasi digital yang dilakukan Singapura seperti membangun sistem konsultasi medis online, membangun aplikasi TraceTogether, penggunaan robot yang diberi nama Spot, revitalisasi Smart Nation Program, hingga sistem check-in digital nasional.
Kisah sukses Singapura ini, beserta dengan kisah sukses inovasi lain yang dimotori negara seperti di Amerika Serikat (Mazzucato, 2018b), China (Kroeber, 2020), Korea Selatan (Kim, 2006) menjadi acuan bahwa negara bisa menjadi aktor aktif dan bukan sekedar watchdog inovasi.
ADVERTISEMENT
Lebih jauh, bagaimana hubungan antara inovasi dan peran negara dalam mengelolanya? Hubungan antara inovasi dan peran negara ini dalam studi kebijakan publik disebut sebagai kebijakan inovasi (innovation policy). Schot dan Steinmueller (2018) dalam studinya berhasil memetakan tiga kerangka (framing) kebijakan inovasi yang merupakan gagasan dominan dalam praktik kebijakan inovasi.
Framing pertama disebut sebagai innovation for growth yang muncul dalam periode paska perang dunia kedua (post-war period). Framing pertama ini berbasis pada institusionalisasi dukungan pemerintah terhadap ilmu pengetahuan, riset, dan pengembangan (science and R&D). Asumsi yang mendasarinya adalah bahwa institusionalisasi ini akan memberikan kontribusi pada percepatan pertumbuhan ekonomi dan menyelesaikan permasalahan kegagalan pasar dalam produksi ilmu pengetahuan dan teknologi baru.
ADVERTISEMENT
Framing kedua disebut sebagai sistem inovasi nasional (national system of innovation) yang muncul pada periode awal globalisasi pada 1980an. Framing kedua ini memberikan penekanan pada pembentukan suatu sistem inovasi nasional yang mempertemukan pengguna teknologi (masyarakat/konsumen), perusahaan swasta, dan agensi riset negara. Pengguna teknologi berperan dalam memberikan informasi tentang teknologi seperti apa yang dibutuhkan. Agensi riset pemerintah berperan dalam produksi basic research and science. Sementara, perusahaan swasta berperan dalam mengubah basic research and science menjadi produk komersial.
Framing ketiga disebut sebagai innovation for transformative change yang muncul sebagai respons atas tantangan krisis lingkungan, sosial, dan ekonomi saat ini. Framing ini berbasis pada prinsip bahwa pemerintah perlu mengatur arah pengembangan inovasi untuk memunculkan perubahan transformatif guna menyelesaikan permasalahan krisis lingkungan, sosial, dan ekonomi yang ada saat ini.
ADVERTISEMENT
Tiga framing yang telah dijabarkan sebelumnya memberikan gambaran jelas tentang aktor, sistem, dan tujuan dari kebijakan inovasi. Aktor yang ada meliputi pemerintah melalui agensi-agensinya, perusahaan swasta, dan masyarakat sebagai pengguna inovasi yang dihasilkan.
Sistem yang dibangun meliputi sistem peran aktif negara (framing 1), sistem kolaborasi (framing 2), dan sistem direksional negara (framing 3). Sementara tujuan inovasi kebijakan meliputi pertumbuhan ekonomi (framing 1), peningkatan kapasitas dan daya saing (framing 2), dan perubahan transformatif (framing 3). Secara umum, peran dari pemerintah adalah sebagai produsen basic science & technology (framing 1), kolaborator (framing 2), dan pengarah visi (framing 3). Peran perusahaan swasta adalah komersialisasi (framing 1 dan 2) dan pelaku produsen baik untuk basic science & technology maupun comercialized product sesuai dengan visi perubahan transformatif (framing 3).
ADVERTISEMENT
Banyak negara di dunia saat ini berupaya untuk memperkuat kolaborasi dengan perusahaan swasta. Salah satu alasan utamanya adalah faktor biaya. Anggaran yang dibutuhkan untuk membangun inovasi tidak bisa hanya berasal dari anggaran publik namun juga perlu kontribusi dari perusahaan swasta.
Saat ini, hal yang menjadi kendala adalah bahwa investasi di bidang inovasi membutuhkan inovasi jangka panjang dengan risiko besar untuk basic science & technology. Perusahaan swasta relatif enggan untuk masuk ke investasi basic science & technology (Lazonick, 2006; Prasetyantoko, 2008).
Perusahaan swasta lebih cenderung memilih untuk investasi pada commercialized product yang lebih bersifat jangka pendek dan lebih minim risiko (Mazzucato, 2018a). Berbagai negara telah menggunakan berbagai instrumen kebijakan untuk mengatasi permasalahan ini misalnya penggunaan insentif moneter di Korea Selatan dan insentif non-moneter di Jepang (Kim, 2006).
ADVERTISEMENT
Pertanyaan krusial berikutnya adalah bagaimana posisi Indonesia saat ini dalam sektor inovasi global, apa potensi dan kendala yang dimiliki Indonesia, dan bagaimana Indonesia dapat melakukan pembenahan melalui instrumen-instrumen kebijakan publik yang ada.
Posisi Indonesia dalam sektor inovasi global sayangnya dapat dikatakan terbelakang. Berdasarkan The World Digital Competitiveness Ranking (WDCR) tahun 2019, Indonesia hanya berada di urutan 56 dari 62 negara (IMD, 2019). Posisi yang menunjukkan bahwa daya saing Indonesia dalam dunia digital terbilang masuk kategori 10 terbawah.
Lebih lanjut, berdasarkan e-government survey yang dilakukan oleh PBB pada tahun 2020 terkait digitalisasi sektor publik, Indonesia hanya berada di urutan 88 dari 193 negara. Hal ini menunjukkan bahwa spesifik dalam hal e-government, posisi Indonesia saat ini pun masih terbilang terbelakang.
ADVERTISEMENT
Walaupun demikian, Indonesia memiliki beberapa potensi strategis untuk melakukan akselerasi perbaikan sektor inovasinya. Potensi strategis yang dimiliki Indonesia menurut Zhongming dkk (2020) meliputi populasi muda yang besar, kelas menengah yang berkembang, ekosistem start-up yang mulai berkembang, kemampuan menghasilkan lulusan STEM dalam jumlah besar, hingga arah kebijakan nasional yang semakin menaruh perhatian pada ilmu pengetahuan dan teknologi.
Indonesia perlu melakukan langkah-langkah strategis dalam menghadapi tantangan sembari memberdayakan potensi strategis yang dimiliki dalam sektor inovasinya. Ash Center (2013) membangun suatu konsep tentang tipologi infrastruktur yang dapat digunakan untuk mengidentifikasi hal apa saja yang perlu dilakukan oleh Indonesia. Tipologi infrastruktur ini membagi infrastruktur dalam tiga kategori yaitu hard, soft, dan wet infrastructure.
ADVERTISEMENT
Pertama, Indonesia perlu meningkatkan kapasitas dalam hal hard infrastructure melalui percepatan penyelesaian megaproyek Palapa Ring. Kedua, Indonesia perlu meningkatkan kapasitas dalam hal soft infrastructure melalui penerapan agile governance yang dapat mendorong inovasi. Ketiga, Indonesia perlu meningkatkan kapasitas dalam hal wet infrastructure melalui penguatan program-program link & match antara perguruan tinggi dengan industri.
Berbagai upaya ini perlu dilengkapi dengan kombinasi instrumen kebijakan insentif moneter, non-moneter, dan fiskal. Insentif moneter dapat diberikan dalam hal skema insentif kinerja di sektor publik dan skema subsidi di sektor privat yang mendorong inovasi. Insentif non-moneter dapat diupayakan melalui kebijakan-kebijakan yang bersifat direksional (mengarahkan) berbagai aktor untuk menaruh fokus dan sumber daya pada upaya akselerasi inovasi. Instrumen fiskal dapat diberikan melalui insentif pajak untuk aktivitas riset dan pengembangan.
ADVERTISEMENT
DAFTAR PUSTAKA
ASH Center. (2013). The Sum Is Greater Than The Parts: Doubling Shared Prosperity in Indonesia Through Local and Global Integration. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama
Abdou, A. M. (2021). Good governance and COVID‐19: The digital bureaucracy to response the pandemic (Singapore as a model). Journal of Public Affairs, 21(4), 26-56.
IMD. (2019). World Digital Competitiveness Ranking. [online] diakses melalui <https://www.imd.org/wcc/world-competitiveness-center-rankings/world-digital-competitiveness-rankings-2020/>
Kim, Junmo. (2006). Infrastructure of the digital economy: some empirical findings with the case of Korea. Technological forecasting & Social Change, edisi 73, hal 377-389
Kroeber, Arthur. (2016). China’s Economy: What Everyone Needs to Know. Oxford:
Oxford University Press.
Lazonick, William. (2006). Corporate Governance, Innovative Enterprise, and Economic Development. Diunduh pada 22 September 2020 dari http://hdl.handle.net/10419/63272
ADVERTISEMENT
Mazzucato, Mariana. (2018). The Entrepreneurial State: Debunking Public vs Private Sector Myths. Inggris: Penguin
Mazzucato, Mariana. (2018). Mission-oriented innovation policies: Challenges and opportunities. Oxford: Industrial and Corporate Change
Prasetyantoko, A., & Finansial, B. (2008). Stabilitas sebagai Barang Publik. Jakarta: Kompas
PBB. (2020). UN E-government Survey 2020. [online] diakses melalui <https://publicadministration.un.org/egovkb/en-us/Reports/UN-E-Government-Survey-2020>
Zhongming, Z., Linong, L., Xiaona, Y., Wangqiang, Z., & Wei, L. (2020). Innovate Indonesia: Unlocking Growth through Technological Transformation.
Schot, J., & Steinmueller, W. E. (2018). Three frames for innovation policy: R&D, systems of innovation and transformative change. Research policy, 47(9), 1554-1567.