Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.97.0
Konten dari Pengguna
Kajian Kritis Kewenangan DPR Dalam Rekomendasi Pemberhentian Pejabat Negara
11 Februari 2025 8:33 WIB
·
waktu baca 7 menitTulisan dari Sri Hartanti tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
![Ilustrasi Hakim Konstitusi yang menjalankan tugasnya dibawah bayang-bayang tekanan dan intervensi DPR akibat perluasan wewenang DPR untuk merekomendasikan pemberhentian Pejabat Negara | Sumber: ChatGPT](https://blue.kumparan.com/image/upload/fl_progressive,fl_lossy,c_fill,q_auto:best,w_640/v1634025439/01jkqrpd2f9mnzyar3rsvfrz7e.png)
ADVERTISEMENT
Berulah kembali, DPR yang menurut data mengukir prestasi "prestisius" sebagai Lembaga Negara yang paling tidak dipercaya publik peringkat ke-2 [LSI, April 2023] kembali disorot pasca rilisnya pernyataan resmi DPR terkait persetujuan revisi Peraturan DPR No. 1 Tahun 2020 tentang Tata Tertib DPR.
ADVERTISEMENT
Dalam revisi Peraturan Tata Tertib dimaksud, DPR menyisipkan Pasal 228A sebagai berikut:
Lebih jauh, DPR melalui anggota Baleg, Daniel Johan, berdalih bahwa revisi ini ditujukan untuk mengatasi kekosongan mekanisme DPR dalam mengawasi dan mengevaluasi pejabat yang telah lolos uji kelayakan dan kepatuhan, utamanya pejabat yang diusulkan, disetujui, atau diberi pertimbangan oleh DPR. Hal ini akan berujung pada mengikatnya revisi Peraturan Tata Tertib tersebut terhadap Pejabat Negara yang telah ditetapkan dalam rapat paripurna DPR, seperti pimpinan KPK, komisioner KPU dan Bawaslu, pimpinan TNI-Polri, maupun Hakim Agung dan Hakim Konstitusi.
ADVERTISEMENT
Sejatinya, Tata Tertib merupakan peraturan yang sifatnya hanya mengikat kedalam tubuh DPR. Artinya, ada cacat hukum dalam revisi Peraturan DPR 1/2020, yang mana seharusnya Tata Tertib ini hanya berlaku mengikat kedalam untuk mengatur jalannya kinerja DPR, tidak berlaku mengikat keluar dan membawa konsekuensi hukum bagi Pejabat Negara maupun Lembaga Negara lain.
Sudah barang tentu revisi Peraturan DPR 1/2020 ini malah mengamini apa yang pernah terjadi dalam skandal pemberhentian sepihak Hakim Aswanto dari jabatan Hakim Konstitusi pada September 2022. Kini DPR memberikan legitimasi atas apa yang pernah dibuatnya pada Hakim Aswanto, dan ini berpotensi memunculkan "Aswanto-Aswanto lain" dengan dasar pembenar perubahan Peraturan DPR 1/2020.
Kewenangan DPR Dalam Rekomendasi Pemberhentian Pejabat Negara: Pengawasan atau Intervensi?
Penambahan Pasal 228A dalam revisi Peraturan Tata Tertib DPR terbaru berpotensi mentransformasikan DPR sebagai lembaga over power yang melangkahi hakikat fungsi pengawasannya. Anggota Baleg DPR, Daniel Johan, menyatakan bahwa hasil evaluasi yang dilakukan terhadap Pejabat Negara yang diusulkan, disetujui, atau diberi pertimbangan oleh DPR salah satunya dapat berupa “rekomendasi pemecatan atau rekomendasi perbaikan”, artinya terdapat opsi-opsi lain selain berupa rekomendasi. Secara gramatikal, ‘rekomendasi’ sendiri mengarah pada usulan dari pihak yang tidak berwenang memutuskan dan tidak bersifat mengikat bagi pihak yang diberi rekomendasi, pihak pemberi rekomendasi tidak memiliki hak untuk memaksakan keputusan pada pihak yang berwenang membuat keputusan. Namun, terlepas dari hakikat makna kata ‘rekomendasi’, patut digarisbawahi bahwa hasil evaluasi terhadap Pejabat Negara yang telah ditetapkan dalam rapat paripurna DPR tidak hanya berbentuk rekomendasi, tapi juga dapat berbentuk lain.
ADVERTISEMENT
Secara general, revisi Peraturan DPR 1/2020 ini pada akhirnya berpotensi mengintervensi Lembaga Negara lain, DPR bukan lagi melakukan check and balance, tapi mendominasi trias politica ketatanegaraan, menjelma menjadi lembaga yang over power dan dapat mengacaukan sistem bernegara. Ketidakdewasaan praktik politik di Indonesia membuat pelaksanaan Pasal 228A revisi Peraturan DPR 1/2020 riskan ditunggangi "dendam politik".
Salah satu prinsip dasar sistem ketatanegaraan Indonesia adalah pemisahan kekuasaan (separation of power) antara legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Pemberian ruang bagi DPR untuk merekomendasikan pemberhentian Pejabat Negara berpotensi melanggar prinsip separation of power. Sebagai contoh, MK sebagai pelaku kekuasaan kehakiman yang merdeka memiliki 9 Hakim Konstitusi, yang mana 3 diantaranya diajukan oleh DPR [Pasal 18 ayat (1) UU MK], pemberhentian Hakim Konstitusi ditetapkan berdasarkan Keputusan Presiden atas permintaan Ketua MK [Pasal 23 ayat (4) UU MK], dengan eksisnya Pasal 228A revisi Peraturan DPR 1/2020, DPR berpotensi dapat mengintervensi pemberhentian Hakim Konstitusi dengan sedemikian rupa. Sehingga atas rekomendasi pemberhentian Hakim Konstitusi dari pimpinan DPR dapat mendesak Presiden untuk mengeluarkan Keputusan Presiden tentang pemberhentian Hakim Konstitusi dimaksud. Hal ini justru mengaburkan batas – batas kewenangan antar lembaga legislatif, eksekutif, dan yudikatif yang menimbulkan ketimpangan kekuasaan.
ADVERTISEMENT
Selain itu, hal ini juga dapat membuka peluang penyalahgunaaan wewenang oleh DPR. Mengingat, dalam tubuh DPR terdiri atas partai – partai politik, sehingga hasil rekomendasi pemberhentian Pejabat Negara yang ditetapkan dalam rapat paripurna DPR dapat dilatarbelakangi oleh kepentingan politik. Ini dapat berujung pada "politik balas dendam" atau pemanfaatan kekuasaan untuk menjatuhkan Pejabat Negara yang tak sejalan dengan kepentingan politik DPR, sekalipun Pejabat Negara tersebut tidak melanggar hukum, dapat pula dilakukan tanpa melibatkan proses hukum yang sah dan adil sehingga menciptakan ketidakpastian hukum dan ketidakadilan bagi Pejabat Negara yang bersangkutan.
Sebut saja yang terjadi pada hakim Aswanto, beliau diberhentikan sepihak oleh DPR dalam masa jabatan berjalan karena kerap menganulir produk hukum yang dibuat DPR, puncaknya saat beliau menyatakan UU Cipta Kerja inkonstitusional bersyarat dengan alasan cacat formil hingga kurangnya meaningful participation, sejalan dengan Saldi Isra, Suhartoyo, Wahiduddin Adams, dan Enny Nyrbaningsih. Beliau dianggap tidak menunjukkan kinerja optimal dari kacamata DPR (baca: tidak sejalan dengan kepentingan politik DPR). Beliau bahkan mendapat kritik tajam salah satunya berasal dari Bambang Wuryanto yang pada saat itu menjabat sebagai Ketua Komisi III DPR RI sebagai berikut:
ADVERTISEMENT
Lebih lanjut, beliau mengibaratkan dengan direksi yang diusulkan pada sebuah perusahaan, pasti akan mengambil kebijakan yang sesuai dengan arahan owner. Jika tidak, maka yang bersangkutan bakal dicopot dari jajaran direksi.
Menjadi tanda tanya besar ketika seorang Ketua Komisi III DPR yang membidangi hukum, HAM, dan keamanan memiliki paradigma yang salah kaprah dalam memahami hubungan antara Hakim Konstitusi yang diajukan oleh DPR dengan DPR itu sendiri. Pasal 24C ayat (3) UUD 1945 jo. UU MK menggunakan frasa ‘diajukan oleh’, bukan ‘diajukan dari’. Frasa ‘diajukan oleh’ berarti bahwa DPR hanya berwenang merekrut saja, 3 Hakim Konstitusi yang diajukan oleh DPR bukan berarti menjadi perwakilan DPR di MK. Lagipula, MK adalah salah satu pelaku kekuasaan kehakiman yang diharuskan untuk merdeka dari kekuasaan lembaga manapun, termasuk DPR, karena MK memegang peran kunci dalam menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan, MK juga sebagai simbol demokrasi yang berupaya memastikan bahwa Indonesia tidak berjalan diatas demokrasi prosedural.
Lebih jauh, pemberian wewenang bagi DPR untuk merekomendasikan pemberhentian Pejabat Negara .juga dapat menurunkan tingkat independensi dan imparsialitas dari Pejabat Negara maupun Lembaga Negara yang sedang dipimpinnya, ia tak lagi dapat menjalankan tugas tanpa rasa tekanan atau intervensi yang dipengaruhi oleh dinamika politik, hal ini akan berdampak pada kebijakan yang dikeluarkan/ output kinerja dari Pejabat Negara maupun Lembaga Negara yang dipimpinnya.
ADVERTISEMENT
Sejatinya, tindakan pemberhentian Pejabat Negara telah memiliki mekanisme yang jelas dan diatur dalam berbagai peraturan perundang-undangan terkait. Misalnya, mekanisme pemberhentian Hakim Konstitusi dari jabatannya telah diatur jelas dalam Pasal 23 UU 7/2020 tentang MK; mekanisme pemberhentian Hakim Agung telah diatur jelas dalam Pasal 11A UU 3/2009 jo. Pasal 12, Pasal 13 UU 5/2004 jo. UU 14/1985 tentang MA; mekanisme pemberhentian pimpinan KPK telah diatur jelas dalam Pasal 32 UU 19/2019 tentang KPK; dan mekanisme pemberhentian Kapolri telah diatur dalam Pasal 11 UU 2/2002 tentang KNRI beserta segenap aturan turunannya.
Sehingga, perubahan Tata Tertib DPR yang memberi ruang bagi DPR untuk merekomendasikan pemberhentian Pejabat Negara terkesan tidak urgent dan berlebihan. Tidak ada kemendesakan yang menunjukkan bahwa DPR perlu memiliki kewenangan dimaksud, sebab terdapat prosedur hukum lain yang telah diatur dalam UU secara lebih tepat untuk mengatasi keluhan terkait Pejabat Negara yang tidak berkinerja optimal atau tersandung skandal hukum.
ADVERTISEMENT
Pengawasan DPR seharusnya fokus pada aspek legislasi dan anggaran serta menilai kebijakan eksekutif secara general. Jika pengawasan DPR diperluas mencakup pula pemberhentian Pejabat Negara, maka dapat membebani DPR dengan tugas yang sebenarnya tak terkait langsung dengan fungsi legislatif. DPR seharusnya tetap fokus pada pengawasan kebijakan, bukan sampai pada tingkat yang terlalu dalam pada pemberhentian Pejabat Negara yang seharusnya menjadi tanggung jawab eksekutif dan lembaga lainnya.
Eksisnya Pasal 228A revisi Peraturan DPR 1/2020 berpotensi membawa regresivitas dalam sistem ketatanegaraan Republik ini dengan membuka potensi "dendam politik", mendistraksi separation of power, mendistorsi independensi dan imparsialitas Pejabat Negara bahkan hingga lembaga yang dipimpin. Mekanisme pemberhentian Pejabat Negara harus tetap melalui prosedur yang berdasarkan peraturan perundang-undangan, dan kewenangan ini sebaiknya tidak diberikan kepada DPR yang lebih fokus pada fungsi legislatif dan pengawas kebijakan.
ADVERTISEMENT
Disclaimer: tulisan ini dilindungi oleh konstitusi yang memberikan jaminan dan perlindungan terhadap kebebasan berpendapat [Pasal 28E UUD 1945], tanpa bermaksud merendahkan pihak manapun.