Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Konten dari Pengguna
Menapaki Kembali Perjalanan 'Putusan 90' Dalam Perspektif Hukum
15 Februari 2024 11:02 WIB
Tulisan dari Sri Hartanti tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Peringatan: tulisan ini tidak bermaksud menggiring preferensi politik dan tidak terafiliasi dengan pihak manapun.
ADVERTISEMENT
Bermula dari petitum yang diminta oleh Almas Tsaqibbiru Re A dalam perkara permohonan PUU Pasal 169 huruf (q) UU 7/2017 tentang Pemilu sebagaimana tertuang dalam Putusan MK No. 90/PUU-XXI/2023 (selanjutnya disingkat 'Putusan 90'), sebagai berikut :
Diputus ultra petita oleh MK menjadi :
Demikian inti amar 'Putusan 90' yang diketok palu pada 16 Oktober 2023 yang selanjutnya menimbulkan rentetan peristiwa - peristiwa hukum lainnya, dan berujung pada runtuhnya kepercayaan serta legitimasi publik terhadap MK saat ini.
Namun yang menjadi problematik, 'Putusan 90' mengandung ambiguitas atau kekaburan tafsir yang tidak berkepastian hukum.
ADVERTISEMENT
Bagian Mana Dari 'Putusan 90' yang Ambigu?
1. Makna Jabatan Elected Official yang Bias: Karetnya Tafsir Jabatan Elected Official
'Putusan 90' memberikan alternatif selain syarat usia minimum 40 tahun untuk menjadi Calon Presiden dan Calon Wakil Presiden, yakni sepanjang pernah/sedang menduduki jabatan elected official.
Namun, apa limitasi jabatan elected official yang dimaksud MK dalam 'Putusan 90'?. Apakah tiap - tiap hakim konstitusi memiliki kesesuaian dan kesamaan pandangan atas apa yang disebut dengan jabatan elected official dalam 'Putusan 90'?, mengingat beragamnya cakupan jabatan elected official. Benarkah jabatan elected official dimaksud telah dimaknai dengan presisi?.
Ada 3 probabilitas tafsir jabatan elected official dimaksud dalam 'Putusan 90' yang selengkapnya dapat dilihat pada tabel berikut.
'Putusan 90' telah menciptakan 3 probabilitas tafsir jabatan elected official yang cakupannya berbeda secara signifikan. Ketidakjelasan makna jabatan elected official dimaksud menyebabkan kebingungan dalam penerapannya, dan tak menutup kemungkinan melahirkan isu konstitusionalitas baru lainnya dikemudian hari. Biasnya limitasi makna jabatan elected official membuka celah hukum yang dapat disalahgunakan menjadi seolah - olah konstitusional.
ADVERTISEMENT
2. Amar 'Putusan 90' yang Plural Diantara 9 Hakim Konstitusi
Penelusuran menunjukkan bahwa 5 hakim konstitusi yang berada dalam posisi "mengabulkan sebagian" nyatanya mempunyai tafsiran yang berbeda - beda dalam memaknai jabatan elected official pada 'Putusan 90'. Perbedaan penafsiran tersebut tampak dari amar putusan dan concurring opinion antar 5 hakim konstitusi, yang lebih mudahnya dapat dilihat pada tabel berikut.
Posisi Anwar Usman (in casu Hakim Ketua MK), M. Guntur Hamzah, Manahan MP Sitompul (3 hakim konstitusi) tidak dapat dipersamakan dengan posisi Enny Nurbaningsih dan Daniel Yusmic P. Foekh (2 hakim konstitusi). Sebab, meskipun sama - sama berada dalam posisi "mengabulkan sebagian", namun poin yang dikabulkan sebagian itu berbeda, perbedaan itu secara lebih mudah dapat dilihat sebagai berikut.
Enny Nurbaningsih dan Daniel Yusmic P. Foekh tidak termasuk dalam posisi "mengabulkan sebagian" yang menghasilkan bunyi amar 'Putusan 90' saat ini. Amar saat ini merupakan hasil legitimasi dari Anwar Usman (in casu Ketua MK), M. Guntur Hamzah, dan Manahan MP Sitompul saja.
ADVERTISEMENT
Padahal, titik temu dari keseluruhan 5 hakim konstitusi yang berada dalam posisi "mengabulkan sebagian" ada pada jabatan Gubernur saja. Hal ini dapat dipandang bahwa mestinya makna jabatan elected official yang menjadi alternatif lain syarat usia minimum 40 tahun adalah jabatan Gubernur, dan amar 'Putusan 90' saat ini tidak tepat, sehingga harus diubah menjadi "... atau pernah/sedang menduduki jabatan gubernur".
Bagaimana dengan 4 hakim konstitusi lainnya yang mengajukan dissenting opinion?. Dissenting opinion tersebut secara singkat dapat dilihat pada tabel berikut.
Bagaimana Cara Kerja 'Putusan 90' Diambil?
Dalam hukum acara MK, pada pokoknya pengambilan putusan harus diupayakan semaksimal mungkin diambil dengan cara musyawarah untuk mufakat. Bila tidak dapat dicapai mufakat, musyawarah ditunda sampai RPH berikutnya. Bila tetap tak dicapai mufakat, putusan diambil berdasarkan suara terbanyak.
ADVERTISEMENT
Kemelut pembahasan RPH dalam memutus 'Putusan 90' terpaksa ditunda dan diulang beberapa kali oleh karena mulai terlihatnya tanda - tanda pergeseran dan perubahan pandangan serta pendapat beberapa hakim konstitusi dari Putusan 29 - 51 - 55 sebelumnya (vide salinan Putusan MK 90/PUU-XXI/2023 dissenting opinion Saldi Isra hlm. 96). Dilihat dari dissenting opinion ini, maka tak ayal jika 'Putusan 90' diambil berdasarkan mekanisme suara terbanyak.
Namun, bagaimana pedoman mutlak pengambilan putusan berdasarkan suara terbanyak di MK?. Dalam 'Putusan 90', rasio 5 : 4 (mengabulkan sebagian : dissenting opinion) memang secara kuantitas dimenangkan oleh 5 hakim konstitusi pada posisi mengabulkan sebagian. Namun, karena 5 hakim konstitusi ini dipecah lagi menjadi 2 cabang, yakni 3 : 2 hakim konstitusi, maka apa benar kuantitas 3 hakim konstitusilah yang memenangkan suara terbanyak sehingga layak menjadi amar 'Putusan 90' saat ini?, apakah begitu pemaknaan dan cara kerja 'diambil berdasarkan suara terbanyak' di MK?. Padahal, amar 'Putusan 90' yang hanya dilegitimasi oleh 3 hakim konstitusi saja tidak merepresentasikan putusan yang diambil berdasarkan suara terbanyak.
ADVERTISEMENT
Lebih jauh, 5 hakim konstitusi menang karena sama - sama mengabulkan sebagian, kuantitasnya 1 angka lebih unggul dibanding 4 hakim konstitusi yang mengajukan dissenting opinion. Lantas, apa benar cara MK memutus hanya berdasarkan suara 3 dari 5 hakim konstitusi yang mengabulkan sebagian?.
Tidakkah seharusnya dicari titik tengah yang sama diantara 5 hakim konstitusi yang mengabulkan sebagian (in casu titik tengah jabatan gubernur), barulah layak disebut sebagai putusan yang 'diambil berdasarkan suara terbanyak'. Apalagi, dalam pandangan Arief Hidayat, 'Putusan 90' diambil dengan komposisi yang selama ini sepengetahuan beliau belum pernah terjadi (vide salinan Putusan MK 90/PUU-XXI/2023 dissenting opinion Arief Hidayat, hlm. 114).
Apa Realita Dari 'Putusan 90' Yang Luput Dari Sorotan Publik?
ADVERTISEMENT
ADVERTISEMENT
Terlepas dari bunyi amar 'Putusan 90' saat ini, yang sudah terlanjur diturunkan dalam Pasal 13 ayat (1) huruf q Peraturan KPU 23/2023, penilaian objektif menunjukkan bahwa sejatinya produk 'Putusan 90' oleh MK secara legalitas tidak dapat memberikan 'karpet merah' bagi setiap orang yang sedang duduk dalam jabatan setingkat Bupati/ Walikota untuk maju menjadi Capres - Cawapres, karena faktanya tafsir jabatan elected official oleh 5 hakim konstitusi mengabulkan sebagian itu bertitik temu sebatas pada jabatan gubernur saja.
Disisi lain, hanya 3 dari 9 hakim konstitusi yang secara eksplisit dan lugas memberikan 'karpet merah' bagi setiap orang yang sedang duduk pada jabatan setingkat Bupati/ Walikota melalui alternatif "... pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum termasuk pemilihan kepala daerah". 6 hakim konstitusi dalam concurring opinion dan dissenting opinion masing - masing pada intinya tidak memberikan legalitas bagi setiap orang yang sedang duduk pada jabatan setingkat Bupati/ Walikota untuk maju menjadi Capres - Cawapres. Mengapa?, karena 2 hakim konstitusi (concurring opinion) hanya memberikan legalitas bagi gubernur/kepala daerah tingkat provinsi, tidak untuk selebihnya. Sedangkan 4 hakim konstitusi lainnya (dissenting opinion) berpandangan bahwa 'Putusan 90' cacat materiil dan formil, baik itu seharusnya ditolak, diputus NO/tidak dapat diterima, maupun tidak dapat diajukan kembali.
ADVERTISEMENT
Selain itu, MK dalam 'Putusan 90' juga tidak menerapkan purcell principle. Padahal prinsip ini relevan untuk diterapkan dalam memeriksa, mengadili, dan memutus 'Putusan 90'.
Dengan diterapkannya purcell principle, MK seharusnya tidak memutus perkara PUU yang mengubah aturan pemilu sepanjang tahapan pemilu 2024 telah dimulai, yakni sejak 14 Juni 2022. Sekalipun MK memutus perkara PUU yang berdampak pada perubahan aturan pemilu ketika tahapan pemilu 2024 telah berjalan, maka penerapan dari Putusan MK itu seharusnya hanya dapat diberlakukan pada pemilu 2029, bukan pada pemilu 2024 yang tahapannya telah berjalan. Kecuali jika putusan itu terkait dengan penyelamatan suara pemilih yang berpotensi terbuang jika aturan pemilu tidak diubah melalui putusan MK. (Dian Agung Wicaksono, Dosen Departemen HTN FH-UGM). [1] 'Putusan 90' ini pada akhirnya mendadak mengubah tatanan kepemiluan di Indonesia, padahal tidak ada urgensi penerapan 'Putusan 90' pada pemilu 2024 karena tak terkait dengan penyelamatan suara pemilih. Ini sama halnya seperti mengubah aturan dasar permainan catur ditengah jalan yang langsung diberlakukan ditengah jalannya permainan catur.
ADVERTISEMENT
Namun, karena asas non retroaktif (hukum tidak berlaku surut), dan putusan MK bersifat final and binding, maka meskipun 'Putusan 90' secara substantif penuh tanda tanya, namun secara formil kekuatan hukumnya sah. Belum ada terobosan mekanisme hukum apapun yang dapat membatalkan putusan MK.
Putusan MKMK No. 02/MKMK/L/11/2023 belum mampu membatalkan 'Putusan 90', meski terbukti bahwa Hakim Ketua MK Anwar Usman melakukan pelanggaran etik berat hingga dicabut jabatan hakim ketua itu terhadapnya, karena ikut serta dalam RPH dan memutus 'Perkara 90' (conflict of interest). MKMK juga menilai bahwa UU Kekuasaan Kehakiman tidak dapat diterapkan pada hakim konstitusi. Atas dasar putusan MKMK, Suhartoyo kemudian diangkat menjadi Hakim Ketua menggantikan pendahulunya, Anwar Usman. Namun, Anwar Usman mengajukan upaya hukum ke PTUN untuk meminta agar jabatannya sebagai Hakim Ketua MK dikembalikan.
ADVERTISEMENT
Bagaimana MK Memberi Advis tentang Jabatan Kesepadanan Syarat Usia Minimum Capres - Cawapres 40 Tahun?
Masih terkait dengan 'Putusan 90', MK memberikan advis jabatan yang dapat disepadankan sebagai alternatif syarat usia minimum Capres - Cawapres 40 tahun melalui perkara permohonan PUU No. 141/PUU-XXI/2023, yang menguji penormaan baru Pasal 169 huruf (q) UU 7/2017 pasca 'Putusan 90'. Permohonan itu diajukan oleh Brahma Aryana, mahasiswa Fakultas Hukum, Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia yang dalam petitum pokok permohonannya meminta agar penormaan baru Pasal 169 huruf (q) UU 7/2017 pasca 'Putusan 90' yang berbunyi :
ADVERTISEMENT
Diubah menjadi :
Meski pada akhirnya MK menolak permohonan secara keseluruhan, menariknya, MK memberikan advis kepada pembentuk UU lewat pertimbangan hukum 'Putusan 141'. Advis itu berkaitan dengan jabatan elected official yang dipandang 8 hakim konstitusi (in casu Hakim Ketua Suhartoyo, tanpa mengikutsertakan Anwar Usman) secara utuh dan konklusif dapat disepadankan dengan syarat usia minimum Capres - Cawapres 40 tahun.
Tidak seperti pertimbangan hukum 'Putusan 90' yang plural, pertimbangan hukum 'Putusan 141' ini bersuara bulat dan utuh. Pada intinya, berikut pokok advis yang diberikan MK :
1. Jabatan yang Disepadankan Haruslah Jabatan yang Levelnya Tidak Begitu Jauh Jaraknya Dengan Jabatan Presiden - Wakil Presiden
MK memandang, bila pembentuk UU berpendapat perlu merevisi/menyesuaikan lebih lanjut jabatan elected official yang disepadankan, maka penyesuaian itu menjadi wajar agar jabatan Presiden dan Wakil Presiden memiliki kesepadanan yang tidak begitu jauh dengan jabatan elected official yang akan disejajarkan dengan jabatan Presiden dan Wakil Presiden.
ADVERTISEMENT
Sebab, jabatan Presiden merupakan jabatan tertinggi kepala negara dan kepala pemerintahan yang penting dan strategis dalam negara demokrasi konstitusional dengan sistem presidensial. Beberapa hal yang menjadi kekuasaan Presiden, yakni :
ADVERTISEMENT
Terkait dengan kewenangan diatas, dalam menjalankan tugas sebagai Presiden, bila Presiden mangkat, berhenti, diberhentikan, atau tidak dapat melakukan kewajibannya, maka Presiden digantikan oleh Wakil Presiden sampai habis masa jabatannya (vide Pasal 8 ayat 1 UUD 1945). Oleh karena itu, jabatan Wakil Presiden pun menjadi jabatan yang penting dan strategis dalam suatu negara demokrasi konstitusional yang menganut sistem presidensial.
Mengingat sebegitu penting dan strategisnya jabatan Presiden dan Wakil Presiden, maka syarat untuk menjadi Capres atau Cawapres haruslah benar - benar sesuai dengan bobot jabatannya. Meskipun tidak ada jabatan yang sepadan dengan jabatan Presiden, namun setidaknya mesti dicari jabatan yang levelnya tidak jauh jaraknya dengan jabatan Presiden yang berasal dari hasil pemilu (elected official).
ADVERTISEMENT
2. Rekomendasikan Jabatan Gubernur: Provinsi Bak Miniatur Negara
Pembentuk UU oleh MK dinilai dapat mempertimbangkan jabatan Gubernur sebagai alternatif untuk disepadankan dengan syarat batas usia minimum Capres - Cawapres 40 tahun. Terlebih, provinsi ibarat sebuah miniatur negara dalam skala yang lebih rendah. Setiap provinsi memiliki wilayah (geografis), penduduk (demografis), dan pemerintahan daerah dalam hal ini Gubernur bersama DPRD Provinsi.
Bahkan, dalam Pasal 18 ayat (1) UUD 1945 dinyatakan bahwa :
Pasal 18 ayat (1) UUD 1945 menentukan secara jelas perihal level dan tingkatan daerah dari yang terbesar hingga yang terkecil, yakni dari NKRI kemudian turun ke tingkat Provinsi dan selanjutnya Kabupaten/Kota.
ADVERTISEMENT
Desain politik hukum pembentuk UU membuat tingkatan batas usia minimum untuk menjadi Presiden (40 tahun), Gubernur (30 tahun), Bupati/Walikota (25 tahun), jenjang dan tahapan karier seperti ini penting untuk dibangun guna memberikan pengalaman dan pengetahuan dalam memimpin suatu daerah dengan beragam permasalahannya, sehingga diharapkan tatkala seorang kepala daerah menaikkan level status kepemimpinannya pada tingkat yang lebih tinggi, ia sudah sangat siap dan matang. Misalnya, seorang yang semula menjabat sebagai Gubernur kemudian mencalonkan diri menjadi Capres atau Cawapres.
Disisi lain, tantangan sebagai Presiden dan Wakil Presiden lebih rumit dan kompleks ditengah masyarakat Indonesia yang majemuk, multi - etnik, dan multikultur dengan segudang permasalahan, baik dari aspek politik, ekonomi, sosial, budaya, dan keamanan. Terlebih lagi, dalam menghadapai tantangan global yang cepat berubah. Oleh karena itu, sosok Capres dan Cawapres haruslah figur yang matang secara emosional, kompeten secara fisik maupun mental, dan intelek dalam pemikiran serta haruslah figur yang dapat menjadi katalisator pemersatu bangsa.
ADVERTISEMENT
Oleh karena itu, MK memandang bahwa jika diperlukan perubahan terhadap rumusan alternatif syarat batas usia minimal menjadi Capres atau Cawapres, maka berdasarkan penalaran yang wajar adalah dapat dipilih pernah menjabat sebagai Gubernur yang persyaratannya kemudian ditentukan lebih lanjut oleh pembentuk UU sebagai bagian dari kebijakan hukum terbuka.
3. Lempar Kembali Pada DPR: Pertegas Itu Kewenangan Pembentuk UU
MK menyebut, meskipun telah terdapat pemaknaan baru atas Pasal 169 huruf (q) UU 7/2017 pasca 'Putusan 90', namun jika diperlukan, pembentuk UU tetap berwenang merevisi atau menyesuaikan lebih lanjut terkait dengan jabatan elected official yang disejajarkan/dialternatifkan dengan batas usia minimum 40 tahun untuk menjadi Capres - Cawapres.
Sejatinya, 'Putusan 90' dalam perjalanannya penuh dengan carut marut yang menerobos asas, nilai, dan norma hukum. Hal ini terjadi akibat dinamika pengajuannya ditunggangi kepentingan politik praktis. Besar harapan agar kedepannya penormaan baru atas Pasal 169 huruf (q) UU Pemilu pasca 'Putusan 90' dapat dipertimbangkan untuk diubah oleh pembentuk UU dengan dasar naskah akademik yang baik, termasuk juga mengakomodir advis dari MK.
ADVERTISEMENT