Beban Ganda: Perempuan Menjadi Kepala Rumah Tangga

Sri Hayani
Mahasiswi Sastra Indonesia, Universitas Pamulang
Konten dari Pengguna
14 Oktober 2022 21:42 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Sri Hayani tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Perempuan saat ini bukan hanya mereka yang terkurung di rumah dan melakukan pekerjaan rumah tangga; mereka juga berpartisipasi dalam kegiatan di luar rumah untuk bekerja dan menghasilkan uang.
pixaby.com
Mencari uang untuk memenuhi kebutuhan keluarga adalah pembenaran yang paling umum, terutama bagi rumah tangga yang kurang mampu. Perempuan sangat menyadari pentingnya tenaga kerja dan keterbatasan yang tidak selurus yang mereka hadapi, terutama di negara yang tidak pernah mengambil sikap feminisme. Dengan kata lain, struktur budaya yang masih ada di masyarakat mendorong perempuan untuk memenuhi dua peran yang berbeda: pegawai dan ibu rumah tangga.
ADVERTISEMENT
Informasi tentang beban ganda dalam realitas masyarakat kita yang sangat dipengaruhi budaya patriarki, perempuan harus bekerja. Pendampingan suami dalam meringankan tanggung jawab rumah tangga istri sebenarnya tidak masalah. Hal ini menyiratkan bahwa terdapat struktur hubungan keluarga yang didasarkan pada kesatuan suami istri.
Beban ganda perempuan yang terlibat dalam: (1) posisi ibu rumah tangga, meskipun tidak secara langsung menciptakan pendapatan, namun secara konstruktif bekerja demi laki-laki (kepala keluarga) untuk menghasilkan pendapatan (uang); dan (2) bertindak sebagai pencari yang hidup (tambahan atau primer). Intinya, masalah dengan perempuan melakukan dua peran bukanlah peran itu sendiri, melainkan kerugian yang ditimbulkannya bagi keluarga.
Pada tahun 2020, jumlah kepala rumah tangga perempuan yang belum menikah di Indonesia meningkat 22% menjadi 869.277, dan perempuan yang sudah menikah meningkat sebanyak 10%. Hal ini disebabkan virus Covid-19 yang melanda di berbagai wilayah di Indonesia masa itu. Jika kita melihat kebelakang dua tahun yang lalu, akibat Covid-19 sangat merubah tatanan pemerintahan hingga tatanan kehidupan bagi warga Indonesia. Dikutip dari Kemenppa.go.id dalam artikel “Kemen PPPA: Konferensi Tingkat Menteri G20 tentang Pemberdayaan Perempuan (G20 MCWE) Angkat Tiga Isu Utama Perempuan” (23/08); Leni mengatakan bahwa “akibat pandemi Covid-19, muncul ketimpangan pada pembagian kerja perawatan tidak berbayar (unpaid care work) yang menimpa perempuan yang mencapai 61% dibandingkan laki-laki. Selain itu, peran domestik (rumah tangga) lebih banyak dibebankan pada perempuan.”
ADVERTISEMENT
Dari kondisi atau keadaan seperti yang telah dipaparkan di atas, tidak heran jika saat ini di tahun 2022 banyak perempuan yang mencari nafkah. Perempuan disini dapat dikategorikan dua bagian yaitu perempuan yang belum menikah dan perempuan yang sudah menikah. Namun, saat ini yang tengah disorot yaitu perempuan yang sudah menikah yang sebagai kepala rumah tangga. Dilansir dari laman lokadata dalam Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, pada 2020, terdapat 11,44 juta perempuan yang sebagai kepala rumah tangga. Dengan kata lain, 15,7 persen perempuan yang mencari nafkah.
Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor seperti faktor ekonomi, kemampuan mereka untuk bersaing dengan laki-laki di sektor publik; perceraian, dan ditinggal meninggal dunia oleh suami. Selain itu, perempuan sebagai pencari nafkah juga disebabkan oleh pendapatan (gaji) istri lebih besar dari suami atau suami yang belum mendapatkan pekerjaan. Hal ini dapat dilihat dari laman lokadata menunjukan bahwa , terdapat 1,1 juta rumah tangga yang sumber nafkahnya dicukupi oleh para istri, meski perempuan tersebut masih bersuami.
ADVERTISEMENT
Selain itu, data menunjukkan bahwa perempuan sebagai tulang punggung keluarga disebabkan oleh meningkatnya perceraian. Dilansir dari laman lokadata tercatat dua tahun yang lalu: cerai hidup meningkat sebesar 10n cerai meninggal 13%. Dari faktor-faktor itulah merupakan kondisi yang mengharuskan perempuan sebagai kepala rumah tangga.
Dari pemaparan diatas telah mendeskripsikan terjadinya beban ganda terhadap perempuan. Mengapa hal ini masih terjadi di Indonesia? Karena selain kondisi yang mengharuskan mereka untuk bekerja ada kaitannya juga dengan budaya patriarki. Jika kita mengetik di mesin pencarian tentang kasus feminisme atau kasus yang berkaitan dengan perempuan, banyak sekali media yang memberitakan perempuan sebagai objek ketidakadilan gender seperti beban ganda, stereotip, KDRT, dan lain sebagainya.
Di era sekarang ini, perempuan menjadi bahan perbincangan publik. Perbuatan atau tindakan mereka akan selalu diperhatikan. Seperti ada berita yang menginformasikan seorang istri yang meminta nafkah yang cukup, namun mendapat perlakuan tidak adil oleh suami seperti emosi suami yang meledak hingga terjadinya kekerasan. Miris sekali, padahal seorang istri wajar minta dinafkahi lahir batin oleh suaminya, karena perempuan yang sudah dipinang oleh laki-laki maka laki-laki itu harus bertanggung jawab untuk menafkahi dan memenuhi kebutuhannya. Hal ini akibat dari salah satu faktor yang dipaparkan di atas yaitu suami yang belum mendapatkan pekerjaan.
ADVERTISEMENT
Jika kita membicarakan tentang perempuan tidak akan ada ujungnya, berita maupun artikel yang berterbangan di media massa banyak tentang perempuan. Seperti kasus yang sedang hot saat ini didunia entertaiment yaitu KDRT Pasutri, pekerja PSK, kekerasan seksual, dan sebagainya. Sangat disayangkan, seharusnya kita sebagai makhluk sosial saling menjaga dan lebih memperhatikan hal-hal yang seperti itu.
Untuk itu mari kita lebih memperhatikan perempuan agar tidak ada lagi kasus-kasus terkait perempuan. Karena jika kita menjaga perempuan sama halnya kita menjaga penerus yang melahirkan generasi muda.