Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Garut Punya Candi Hindu
21 Juni 2022 22:26 WIB
Tulisan dari SRI RAHAYU tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Dia adalah Jiji Supardi, seorang juru pemelihara kompleks Candi Cangkuang yang bertempat di Kampung Pulo, Desa Cangkuang, Kecamatan Leles, Kabupaten Garut, Jawa Barat. Di tempat ini terdapat sebuah candi, dan museum yang isinya berupa jejak peninggalan penyebaran agama Islam di Garut. Di sana juga ada satu makam keramat, serta sebuah kampung adat. Sehari-hari Jiji dan juru pemelihara lainnya, bertugas merawat dan membersihkan kompleks tersebut.
Kompleks Candi Cangkuang ini merupakan tempat wisata sejarah. Banyak wisatawan lokal dan asing yang datang, sekadar liburan saja, ziarah, atau menggali informasi sejarah. Salah satu bagian dari tugas Jiji, memberikan penjelasan mengenai sejarah di kompleks ini kepada wisatawan.
ADVERTISEMENT
Seperti pada 22 Juni 2021, Jiji kedatangan seorang mahasiswi yang ingin menggali sejarah seputar kompleks Candi Cangkuang. Si perempuan itu menggantungkan kamera digital di lehernya. Kemudian di bagian bajunya bertuliskan Teknik Grafika dan Penerbitan, Politeknik Negeri Jakarta.
Mahasiswi tersebut mewawancarai Jiji secara langsung di Museum Situs, beragam pertanyaan pun diberikan olehnya. Dari sekian banyak jawaban yang Jiji lontarkan, penjelasan yang paling mendalam mengenai sejarah bangunan Candi Cangkuang. Dia memaparkannya secara runtut, dari mulai penemuan bangunan Candi Cangkuang hingga akhirnya dijadikan tempat wisata sejarah.
Jiji menerangkan sembari sesekali membetulkan posisi masker yang digunakan. Jiji pun mulai menjelaskan bahwa Candi Cangkuang merupakan satu-satunya candi Hindu, yang ditemukan di Garut pada 1966. Oleh tim peneliti Harsoyo dan Uka Tjandrasasmita, berdasarkan laporan Vorderman dalam buku Notulen Bataviaasch Genotschap terbitan 1893. Laporan tersebut berisi informasi adanya satu arca yang rusak, dan makam kuno di bukit Kampung Pulo, Leles.
Awalnya, para peneliti melihat adanya batu berupa reruntuhan bangunan candi. Di sampingnya, terdapat satu makam kuno serta arca Syiwa yang berada di tengah reruntuhan bangunan. Makam kuno yang dimaksud, merupakan makam Arief Muhammad yang berkemungkinan besar sebagai leluhur penduduk Desa Cangkuang.
ADVERTISEMENT
Merunut dari keyakinan itu, maka peneliti melakukan penggalian. Ternyata di dekat kuburan Arief Muhammad, ditemukan fondasi candi berkuran 4,5 x 4,5 meter. Serta batu-batu candi lainnya yang berserakan. Penemuan batu-batu andesit berbentuk balok, membuat tim peneliti merasa yakin bahwa dahulu di sekitar tempat itu terdapat sebuah candi.
Kendati demikian, Tim Sejarah dan Lembaga Kepurbakalaan pun segera melakukan penelitian lebih lanjut di wilayah itu. Hingga 1968, penelitian masih berlangsung. Proses pemugaran candi dimulai pada 1974-1975. Kemudian, pelaksanaan rekonstruksi pada 1976 meliputi kerangka badan, atap dan arca Syiwa.
Tidak sampai di situ saja, mahasiswi itu lanjut bertanya mengenai kendala yang kerap terjadi saat proses rekonstruksi. Jiji memberitahukan, kendala utama rekonstruksi candi yakni batuan candi yang ditemukan sekitar 40% dari aslinya. Sebelumnya karena ketidaktahuan, balok-balok tersebut digunakan untuk batu nisan oleh penduduk setempat. Sehingga batu asli yang digunakan merekonstruksi bangunan candi, hanya 40%. Selebihnya dibuat dari adukan semen, batu koral, pasir dan besi.
ADVERTISEMENT
Para ahli menduga bahwa Candi Cangkuang didirikan pada abad ke-8. Berdasarkan tingkat kelapukan batu, serta kesederhanaan bentuk (tidak adanya relief).
Sebutan "Candi Cangkuang" berasal dari nama desa tempat candi ini berada. Sedangkan kata "Cangkuang," merupakan nama tanaman sejenis pandan (pandanus furcatus), yang banyak tumbuh di sekitar museum.
Selepas menjelaskan beberapa hal tersebut, Jiji pun menunjukkan pohon cangkuang kepada mahasiswi tadi. Si mahasiswi tampak antusias memperhatikan setiap detail pohon cangkuang, dari batang, daun, hingga buahnya yang hampir mirip seperti nangka.
Jiji juga bercerita mengapa tempat ini akhirnya dijadikan sebagai wisata alam dan budaya, dikarenakan banyak orang yang berdatangan untuk berziarah dan melihat candi Hindu tersebut.
Dengan dibukanya tempat wisata ini, dapat membantu perekonomian masyarakat Kampung Pulo. Mereka menjajakan makanan dan pakaian khas Garut. Ada pula yang bekerja sebagai sopir rakit, yaitu transportasi untuk melewati danau menuju kompleks Candi Cangkuang.
ADVERTISEMENT
Selanjutnya, Jiji bercerita bahwa profesinya saat ini bukan hanya sekadar mencari nafkah saja. Namun, turut serta menjaga peninggalan leluhur yang ada di Candi Cangkuang. Sekaligus menjaga semua adat istiadat yang ada di kampung adat Pulo.
Penulis: Sri Rahayu