Konten dari Pengguna

Perempuan Jadi Buruh Pabrik, Kenapa Tidak?

SRI RAHAYU
Mahasiswa Penerbitan (Jurnalistik) Politeknik Negeri Jakarta
25 Mei 2022 22:08 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari SRI RAHAYU tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi perempuan pekerja pabrik (Sumber photo: pexels.com)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi perempuan pekerja pabrik (Sumber photo: pexels.com)
ADVERTISEMENT
Menjadi lulusan SMK pada 2020 tidaklah mudah. Karena saat itu terjadi pandemi Covid-19 yang membuat beberapa sektor kehidupan tidak dapat berjalan semestinya. Termasuk sektor perekonomian, banyak perusahaan yang berhenti beroperasi atau bahkan karyawan yang terkena Pemutusan Hubungan Kerja (PHK).
ADVERTISEMENT
Yuni Yulia Rahma, perempuan kelahiran Garut adalah salah satu korban lulusan SMK pada 2020 yang langsung disambut pandemi Covid-19 dan kerasnya kehidupan. Ia memutuskan untuk tidak melanjutkan pendidikannya ke perguruan tinggi karena terkendala masalah ekonomi yang minim.
Bingung, itulah yang ia rasakan. Ke mana harus mencari pekerjaan? Yang bekerja saja banyak yang di PHK. Selama 1,5 tahun ia tidak mempunyai pekerjaan, yang Yuni lakukan sekadar bantu-bantu di rumahnya.
Namun, Tuhan tak pernah tidur dan tidak pula hanya membiarkan hamba-Nya kesusahan. Akhirnya ia mendapat panggilan wawancara kerja di salah satu pabrik sepatu daerah Garut. Alhasil ia diterima bekerja, meski upahnya tidaklah besar. Sekadar mampu mencukupi keperluannya sendiri dan membaginya dengan orang tua.
ADVERTISEMENT
Aman dan tenteram bekerja di pabrik merupakan suatu hal yang amat langka ditemui, Yuni merasakan pahit manisnya menjadi seorang buruh pabrik.
Permasalahan kesetaraan gender masih seringkali dihadapi perempuan di tempat kerja, sekaligus rintangan untuk mencapai posisi kepemimpinan. Pemberian jabatan masih dibagi berdasarkan jenis gender, di mana laki-laki selalu menempati posisi lebih tinggi dibandingkan perempuan.
Meski begitu, kian hari perempuan terus mengembangkan kemampuannya, sehingga sekarang ini banyak ditemui pekerja perempuan di pabrik-pabrik.
Menurut Yuni, dengan cara bekerja di pabrik, ia mampu mandiri dan mendewasakan diri. Apalagi perempuan dituntut untuk bisa apa saja, jadi kuli pabrik pun, kenapa tidak? Asal kuat di bawah tekanan perintah, dan amarah atasan.
Kian hari, Yuni merasa tertekan dengan target pencapaian produk harian. Saat target tidak tercapai, akan dimarahi. Sedangkan atasannya tidak mau tahu mengapa tidak sesuai target.
ADVERTISEMENT
Selain itu, terdapat persaingan antar grup (line) produksi. Apabila target pencapaian produksinya turun, maka akan dibandingkan dengan grup lain. Belum lagi mendapat perkataan tak mengenakan hati dan memekakkan telinga.
Membantah atasan? Suatu hal yang sangat mustahil untuk Yuni lakukan.
“Namanya juga kerja di telunjuk orang, jadi mau tidak mau harus tetap bertahan. Karena zaman sekarang cari kerja susah,” keluh Yuni.
Jika bukan karena butuh, ia tidak akan bertahan hingga sejauh ini.
“Cuma bisa menikmati apa yang pantas dinikmati dan bersyukur punya pekerjaan, karena di luar sana banyak yang membutuhkan. Jadi tetap semangat para pejuang rupiah," serunya.
Penulis: Sri Rahayu