Konten dari Pengguna

Belajar dari Sejarah Pengelolaan Sampah Jepang

Sri Wahyono
Peneliti Persampahan di Pusat Riset Lingkungan dan Teknologi Bersih BRIN, Youtube: Indonesia Waste Adventure, Book Writer.
14 Juni 2023 13:31 WIB
·
waktu baca 17 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Sri Wahyono tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi pengolahan sampah. Foto: PhotoByToR/Shutterstock
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi pengolahan sampah. Foto: PhotoByToR/Shutterstock
ADVERTISEMENT
Negeri Sakura Jepang adalah salah satu negara yang paling bersih kota-kotanya dan pengelolaan sampahnya terbaik di dunia. Oleh karena itu, banyak orang tertarik datang untuk mempelajari bagaimana cara jitu Jepang mengelola sampahnya. Namun, banyak orang yang belum mengetahui latar belakang pengelolaan sampahnya hingga berhasil saat ini. Jepang memiliki sejarah panjang dalam pengelolaan sampahnya, sepanjang sejarah bangsanya.
ADVERTISEMENT
Berdasarkan Buku yang berjudul “Sejarah dan Kondisi Terkini Penanganan Sampah di Jepang” (diterbitkan pada tahun 2016 oleh Kementerian Lingkungan Hidup Jepang), sejarah persampahan di Jepang dibagi dalam tiga fase, yakni pertama fase kesehatan publik; kedua fase perlindungan lingkungan; dan ketiga fase pembentukan masyarakat berwawasan bahan daur ulang.
Fase kesehatan publik adalah era munculnya upaya perbaikan terhadap kesehatan masyarakat yang menurun akibat dari buruknya pengelolaan sampah pada masa itu. Fase tersebut meliputi dua periode sejarah, yaitu periode Restorasi Meiji (akhir abad 19 hingga awal abad 20) dan periode pasca perang (1945 – 1950).
Selanjutnya, fase perlindungan lingkungan meliputi dua periode, yaitu periode pertumbuhan ekonomi pesat (1960 hingga 1970) dan periode pertumbuhan ekonomi pesat ke ekonomi buble (1980 hingga 1990).
ADVERTISEMENT
Sementara itu, fase pembentukan masyarakat berwawasan bahan daur adalah periode tahun 1990-an hingga sekarang.

Fase Kesehatan Publik

Ilustrasi partisipasi publik. Foto: Evgeny Starkov via Shutter Stock
Periode pertama dari fase kesehatan publik adalah Restorasi Meiji yang berlangsung pada akhir abad 19 hingga awal abad 20. Restorasi Meiji adalah serangkaian kejadian politik di Jepang yang berpuncak pada pengembalian kekuasaan kepada Kaisar Meiji pada tahun 1868.
Restorasi ini menyebabkan perubahan besar pada struktur politik dan sosial Jepang. Pada masa itu, feodalisme Jepang secara perlahan-lahan digantikan oleh ekonomi pasar. Masyarakat Jepang bergerak menggabungkan kemajuan Barat dengan nilai-nilai tradisional Timur. Restorasi Meiji mengakselerasi industrialisasi di Jepang pada saat itu.
Pada masa Restorasi Meiji, sampah yang dihasilkan oleh penduduk kota ditangani sendiri oleh penduduk atau oleh pihak swasta. Pihak swasta mengumpulkan sampah dan mengambil sampah yang berharga untuk kemudian dijual. Sayangnya, sisa sampahnya seringkali dibuang di pinggir jalan, di lahan kosong dan ditimbun sehingga mencemari lingkungan.
ADVERTISEMENT
Tumpukan sampah yang menggunung di sekitar tempat tinggal mengakibatkan penyebaran berbagai penyakit menular. Lokasi pembuangan sampah menjadi tempat berkembang biak lalat, nyamuk dan tikus yang membawa bibit penyakit. Akibatnya kesehatan publik menjadi terganggu oleh berbagai macam penyakit, misalnya pes dan kolera.
Kondisi tersebut menimbulkan kesadaran bahwa menjaga kebersihan seluruh kota adalah hal yang sangat penting. Kondisi kesehatan publik mendapat perhatian serius.
Untuk mengatasi masalah tersebut dirasakan perlu landasan hukum. Untuk itu disusunlah Undang-Undang Pembersihan Sampah yang ditetapkan pada tahun 1900. Undang-undang tersebut menjelaskan pengumpulan dan pembuangan sampah sebagai kewajiban pemerintah kota dan menempatkan petugas pengolah sampah di bawah pengawasan pemerintah.
Bayangkan, mereka sudah memiliki Undang-undang mengenai pengelolaan sampah pada tahun 1900. Sedang kita di Indonesia baru memilikinya pada tahun 2008.
ADVERTISEMENT
Undang-undang tersebut menyatakan bahwa sampah harus dibakar di fasilitas insinerator. Namun karena fasilitas insinerator sampah terbatas, kebanyakan sampah hanya ditimbun dan dibakar tak terkendali di ruang terbuka.
Tradisi mengelola sampah dengan cara dibakar di insinerator seperti yang saat ini berjalan di Jepang kelihatannya adalah bermula dari sini. Saat ini di Jepang berdiri lebih dari 1000 fasilitas insinerator skala besar yang panasnya menjadi sumber energi.
Periode selanjutnya dari fase kesehatan publik setelah Restorasi Meiji adalah periode pasca perang yang berjalan antara tahun 1945 – 1950.
Tahun 1945 adalah tahun muram bagi bangsa Jepang, tahun kekalahan Jepang dalam pertempuran di Asia setelah Nagasaki dan Hiroshima di bom atom oleh negeri Paman Sam.
ADVERTISEMENT
Pasca kekalahan tersebut, Jepang tidak hanyut dalam ratapan kesedihan, tetapi segera bangkit dari keterpurukan.
Pada masa tersebut, Jepang juga dihadapkan pada masalah lingkungan yaitu meningkatnya jumlah sampah perkotaan akibat perkembangan ekonomi dan meningkatnya populasi perkotaan. Pada saat itu masyarakat memiliki tabiat buruk yaitu membuang sampah ke sungai dan laut atau ditimbun di lahan terbuka, yang mengakibatkan masalah kesehatan publik seperti berkembangan biaknya vektor penyakit menular.
Sebenarnya pada saat itu sudah ada pola pengelolaan sampah yaitu pengumpulan, pengangkutan dan pembuangan sampah di TPA. Namun karena keterbatasan jumlah pekerja dan sempitnya jalanan penduduk, pengumpulan sampah menjadi terhambat. Selain itu, pengangkutan sampah ke lokasi insinerator atau TPA juga mengalami kesulitan karena mengharuskan memuat ulang sampah dari gerobak ke truk pengangkut sampah.
ADVERTISEMENT
Sampah menjadi berserakan di jalan-jalan sehingga menyebabkan permasalahan kesehatan.
Permasalahan lainnya yaitu, meskipun saat itu penanganan sampah telah ditegaskan sebagai kewajiban dari pemerintah kota, koordinasi dan kerja sama antara pemerintah nasional, provinsi dan masyarakat masih lemah. Akibatnya pemerintah kota mesti berjuang keras sendirian dalam menangani masalah sampahnya.
Untuk memperbaiki kondisi tersebut, pemerintah Jepang menyusun Undang-undang Kebersihan Publik pada tahun 1954 yang isinya mengembangkan sistem pembagian peran dan kerja sama antar pemangku kepentingan dalam penanganan sampah (pemerintah pusat, pemerintah daerah dan masyarakat) dan untuk memecahkan permasalahan sampah perkotaan secara efektif,.
Undang-undang tersebut juga menjelaskan sistem pengumpulan dan pembuangan sampah oleh pemerintah kota dan menjelaskan kewajiban pemerintah nasional dan provinsi untuk menyediakan dukungan biaya dan teknologinya serta kewajiban warga untuk bekerja sama dengan pemerintah kota dalam mengumpulkan dan membuang sampah.
ADVERTISEMENT
Sejalan dengan itu, dengan tujuan untuk meningkatkan kualitas lingkungan hidup dan kesehatan; dan mempromosikan pengembangan fasilitas lingkungan hidup, pada tahun 1963, dibuatlah Undang-undang tentang Tindakan Darurat Pengembangan Fasilitas Lingkungan Hidup.
Dalam undang-undang tersebut pemerintah Jepang merumuskan Rencana Lima Tahunan untuk Pengembangan Fasilitas Lingkungan Hidup dalam rangka menentukan kebijakan pengembangan fasilitas penanganan sampah, termasuk di dalamnya fasilitas insinerator. Rencana tersebut juga membahas bantuan kerja sama pemerintah daerah dengan perusahaan swasta untuk pengumpulan dan pengangkutan sampah secara efisien.
Namun demikian, meski ada kemajuan dalam pengembangan sistem penanganan sampah perkotaan, sampah industri belum diproses secara khusus. Sampah industri masih diproses bersama-sama dengan sistem penanganan sampah kota.

Fase Perlindungan Lingkungan

Ilustrasi pengolahan sampah di Osaka, Jepang. Foto: happycreator/Shutterstock
Fase perlindungan lingkungan adalah lanjutan dari fase kesehatan publik. Fase perlindungan lingkungan dimulai pada periode pertumbuhan ekonomi cepat yang berlangsung antara 1960 hingga 1970-an.
ADVERTISEMENT
Pada tahun 1960 hingga 1970, Jepang mengalami pertumbuhan ekonomi yang sangat cepat. Dalam kondisi tersebut, masyarakat Jepang meningkat pendapatannya dan hidupnya semakin sejahtera. Akibatnya, perilaku konsumsinya menjadi berubah. Masyarakat Jepang menjadi lebih konsumtif. Akibatnya produksi massal juga semakin meningkat. Sikap konsumtif pun semakin menjadi. Akibatnya, jumlah limbah yang dihasilkan juga semakin meningkat, yakni sampah perkotaan dan sampah industri.
Laju timbulan sampah meningkat 5 kali lipat dari tahun 1960-an hingga tahun 1980-an atau peningkatan 35 juta ton sampah dalam kurun waktu 20 tahun.
Selain meningkatnya timbulan sampah, timbulan limbah industri juga semakin meningkat. Hal itu sejalan dengan semakin meningkatnya aktivitas dan jumlah industri yang mengejar produksi massal. Saat itu, limbah industri seperti lumpur, sampah resin sintetis, dan limbah minyak dibuang tanpa penanganan yang baik.
ADVERTISEMENT
Limbah industri mengandung zat berbahaya seperti logam berat merkuri dan kadmium, yang merusak lingkungan dan kesehatan warga di area pembuangan. Selain itu, sampah plastik dan bahan lain dibuang dalam jumlah besar. Plastik ketika dibuang tidak mudah hancur. Jika pun dibakar di insinerator, akan menyebabkan suhu tinggi sehingga merusak tungku pembakaran sampah. Pembakaran sebagian jenis plastik juga menghasilkan abu, jelaga, gas asam, dan zat berbahaya lainnya yang menyebabkan polusi udara dan air.
Contoh klasik dan paling populer akibat dari pencemaran limbah industri adalah penyakit Minamata dan penyakit Itai-itai. Arti Itai-itai adalah teriakan ‘aduh sakit’ dalam bahasa Jepang.
Penyakit Minamata adalah penyakit yang diakibatkan oleh akumulasi logam merkuri (air raksa) di tubuh yang menyebabkan gangguan sensorik pada tubuh, penyempitan visual, gangguan pendengaran dan gangguan berbicara. Beberapa pasien dengan gejala parah meninggal dunia. Selain itu, akumulasi merkuri pada janin juga mengakibatkan penyakit yang sama.
ADVERTISEMENT
Penyakit ini ditemukan pada tahun 1956 pada penduduk di sekitar Teluk Minamata yang mengkonsumsi ikan yang tercemar oleh merkuri. Pencemaran merkuri terjadi akibat pembuangan limbah pabrik kimia ke lautan. Hingga Oktober 2013, tercatat 2.275 orang mengidap penyakit Minamata.
Satu lagi penyakit Itai-itai. Penyakit ini akibat akumulasi logam berat kadmium di tubuh. Logam tersebut merusak ginjal dan pengerasan tulang. Gejalanya adalah nyeri pada bahu, pinggang dan lutut. Jika bertambah parah maka pertulangan bisa patah sehingga menyebabkan kelumpuhan yang menyakitkan. Penyakit tersebut ditemukan pada tahun 1955, pada penduduk yang mengkonsumsi beras yang tercemar kadmium. Pencemaran kadmium terjadi akibat pangairan sawah tercemar limbah smelter pabrik logam yang mengandung kadmium. Sejumlah 196 pasien tercatat menderita penyakit Itai-itai hingga tahun 2011.
ADVERTISEMENT
Untuk mengantisipasi permasalahan lingkungan akibat tata kelola sampah perkotaan dan limbah industri yang buruk, Pemerintah Jepang mengantisipasinya antara lain melalui instrumen regulasi.
Pemerintah Jepang menghapus Undang-undang Kebersihan Publik, pada tahun 1970, yang dianggap sudah tidak relevan lagi dan menggantinya dengan menetapkan Undang-undang Penanganan Sampah dan Kebersihan Publik (atau disebut Undang-undang Penanganan Sampah). Undang undang ini mengatur tanggung jawab dan standar penanganan sampah, baik sampah perkotaan dan sampah atau limbah industri.
Undang-undang Penanganan Sampah menjelaskan tanggung jawab pemerintah kota untuk mengelola sampah perkotaan sebagaimana yang telah dilakukan sebelumnya. Sementara itu, pelaku bisnis bertanggung jawab mengelola sampah industri yang dihasilkannya. Undang-undang Penanganan Sampah juga dengan jelas menegaskan perlindungan lingkungan hidup dan penanganan sampah untuk peningkatan kesehatan publik.
ADVERTISEMENT
Pada tahun 1973, dalam penegakan peraturan Undang-undang Penanganan Sampah, pemerintah Jepang menetapkan standar penilaian mengenai limbah berbahaya, termasuk di dalamnya logam berat berbahaya (seperti mercuri dan kadmium) dan polutan organik (seperti PCB).
Pada tahun 1977, untuk memastikan pembuangan akhir sampah yang aman, pemerintah Jepang menetapkan standar desain dan perawatan TPA.
Pemerintah Jepang juga menetapkan standar pengendalian emisi yang menyangkut pencemaran udara dan air. Regulasi untuk standar jelaga, gas asam, dan sebagainya dijelaskan pada Undang-undang Pengendalian Polusi Udara (ditetapkan pada tahun 1968), dan regulasi untuk standar merkuri, kadmium, dan sebagainya dijelaskan pada Undang-undang Pengendalian Polusi Air (ditetapkan pada tahun 1970).
Selain instrumen hukum, dalam upaya untuk menciptakan sistem koordinasi, pemerintah Jepang juga menggunakan instrumen kelembagaan yaitu dengan menetapkan Badan Lingkungan. Badan tersebut ditetapkan pada tahun 1971 untuk mempromosikan dan menerapkan peraturan-peraturan mengenai pencemaran.
ADVERTISEMENT
Instrumen yang tidak kalah penting yang diterapkan pada periode ini adalah instrumen pembiayaan. Caranya yaitu dengan memberikan subsidi nasional pada proyek-proyek penanganan sampah yang strategis di daerah. Subsidi nasional mendukung pembangunan fasilitas penanganan sampah yang memenuhi standar.
Pemerintah juga mendidik individu-individu dengan pengetahuan dan keahlian khusus yang kemudian ditetapkan sebagai manajer teknik pada fasilitas penanganan sampah dalam rangka memastikan efisiensi perawatan fasilitas.
Melalui langkah-langkah yang integratif tersebut, Pemerintah Jepang mendukung pembangunan fasilitas penanganan sampah di daerah yang memenuhi standar dan membantu meningkatkan kemampuan fasilitas-fasilitas tersebut.
Itulah peristiwa yang terjadi pada periode pertumbuhan ekonomi cepat.
Dalam fase perlindungan lingkungan, periode pertumbuhan ekonomi cepat diikuti oleh periode pertumbuhan ekonomi bubble yang terjadi antara tahun 1980 hingga 1990.
ADVERTISEMENT
Sebagai akibat dari peningkatan konsumsi dan peningkatan aktivitas produksi karena ekonomi bubble, jumlah sampah perkotaan dan industri terus meningkat drastis. Akibat dari meningkatnya jumlah sampah, TPA yang ada menjadi berkurang kapasitasnya. Data umur TPA selama periode tersebut menunjukkan umur TPA sampah perkotaan kurang dari sepuluh tahun, sedangkan umur TPA sampah industri pada tingkat yang lebih rendah yaitu satu hingga tiga tahun.
Mencari lokasi TPA baru demikian sulitnya karena penolakan warga. Salah satu faktor yang menyebabkan sulitnya pembangunan TPA baru adalah aksi penolakan yang dilakukan oleh warga masyarakat yang mengkhawatirkan pencemaran lingkungan yang disebabkan oleh TPA. Dalam keadaan sulit mencari lokasi TPA yang baru, umur TPA yang ada semakin menurun.
Selain permasalahan ketersedian TPA, pemerintah kota juga menghadapi permasalahan pembuangan limbah industri ilegal.
ADVERTISEMENT
Berdasarkan Undang-undang Penanganan Sampah, pelaku bisnis bertanggung jawab atas sampah yang dihasilkan. Namun, pada saat itu masih ada pelaku bisnis yang kurang bertanggung jawab dalam menyediakan biaya yang diperlukan dalam penanganan sampah. Pelaku bisnis tersebut menyerahkan penanganan sampah kepada pengolah sampah yang bersedia melaksanakan penanganan sampah dengan biaya murah tanpa mengecek apakah mereka mampu mengolah sampah tersebut dengan baik. Akibatnya, pembuangan sampah secara ilegal dan kegiatan melawan hukum dilakukan oleh para pengolah sampah hingga menyebabkan polusi lingkungan yang serius.
Permasalahan lainnya yang muncul pada periode ekonomi bubble adalah pencemaran dioksin oleh fasilitas insinerator. Dioxin memiliki efek negatif terhadap tubuh manusia. Dioxin dilaporkan terdeteksi pada debu dari fasilitas insinerator sampah di Jepang. Kekhawatiran publik atas masalah dioxin semakin meluas setelah adanya laporan efek dioxin pada air susu ibu pada konferensi internasional di Kyoto pada tahun 1994; dan tanah yang terkontaminasi pada area sekitar fasilitas insinerator sampah dilaporkan di sekitar Kota Tokorozawa di Provinsi Saitama.
ADVERTISEMENT
Kecemasan atas dioxin yang dihasilkan oleh fasilitas insinerator sampah meningkatkan kekhawatiran warga sehingga timbul gerakan penolakan atas pembangunan fasilitas insinerator. Masyarakat menggugat agar fasilitas insinerator ditutup. Sebagai contoh, hasil dari tuntutan tersebut fasilitas insinerator pada Kota Shintone di Provinsi Ibaraki ditutup.
Mengantisipasi hal tersebut, sejak tahun 1997, pemerintah Jepang telah mengembangkan berbagai langkah pengendalian emisi dioxin dari insinerator. Pada tahun 1999, dengan tujuan untuk mencegah pencemaran lingkungan oleh dioxin dan menghilangkannya dari lingkungan, pemerintah Jepang menetapkan Undang-undang tentang Langkah Khusus terhadap Dioxin. Undang-undang ini menerangkan standar dasar untuk langkah-langkah menangani dioxin dan menetapkan aturan untuk langkah-langkah menangani tanah terkontaminasi.
Sebagai akibat dari perkembangan teknologi pengendalian emisi dan fasilitas insinerasi sampah serta ketatnya peraturan, tingkat emisi dioxin dari fasilitas insinerasi sampah pada tahun 2011 berkurang sekitar 99% dibandingkan tingkat pada tahun 1997.
ADVERTISEMENT

Fase Pembentukan Masyarakat Berwawasan Daur Ulang

Ilustrasi daur ulang sampah. Foto: Dok. Paxel
Fase selanjutnya setelah fase perlindungan lingkungan adalah fase pembentukan masyarakat yang berwawasan daur ulang yang dimulai semenjak tahun 1990-an hingga saat ini.
Pengelolaan sampah di Jepang telah mengalami kemajuan yang berarti di tahun 1980-an. Namun, beberapa permasalahan sampah masih belum teratasi, termasuk terus meningkatnya jumlah timbulan sampah.
Dalam rangka menyediakan solusi yang menyeluruh atas masalah-masalah di atas, pemerintah Jepang menambah fokus kebijakannya kepada pengurangan jumlah timbulan sampah.
Pada Undang-undang Penanganan Sampah di tahun 1991, pengurangan jumlah timbulan sampah ditambahkan sebagai tujuan UU tersebut, bersamaan dengan pengumpulan dan daur ulang sampah.
Sementara itu, dalam Undang-undang Promosi Pemanfaatan Sumber Daya, yang juga ditetapkan pada tahun 1991, pemerintah juga menetapkan peraturan dasar untuk penanganan sampah, seperti pertimbangan lingkungan dalam tahap desain produk dan manufaktur; dan pengembangan sistem untuk pengumpulan dan daur ulang sampah secara mandiri oleh pelaku bisnis. Tujuan dari peraturan-peraturan ini adalah untuk memastikan penggunaan sumber daya secara efektif, untuk mengurangi timbulan sampah dan untuk melindungi lingkungan.
ADVERTISEMENT
Selain itu, Pemerintah Jepang menetapkan berbagai macam peraturan yang mempromosikan daur ulang sampah.
Selanjutnya, dalam rangka mengubah sistem ekonomi yang berdasar pada produksi massal, konsumsi massal, dan pembuangan massal; dan untuk mempromosikan pembentukan masyarakat berwawasan daur ulang demi menjamin penerapan 3R (Reduce, Reuse, dan Recycle), pemerintah menetapkan Undang-undang untuk Pembentukan Masyarakat Berwawasan Daur Ulang (Undang-undang Daur Ulang) pada tahun 2000.
Undang-undang tersebut memberikan visi masyarakat berwawasan daur ulang, yang didesain untuk mengurangi konsumsi sumber daya alam dan dampak lingkungan; dan juga menyediakan prinsip dasar untuk pembentukan masyarakat berwawasan daur ulang, termasuk mengatur urutan prioritas dalam daur ulang sumber daya dan penanganan sampah.
Untuk lebih mempromosikan pengembangan masyarakat berwawasan daur ulang, pemerintah Jepang tidak hanya membuat peraturan, tetapi juga melaksanakan berbagai upaya yang bertujuan mempromosikan pemahaman publik dan mengembangkan kolaborasi dengan entitas lain.
ADVERTISEMENT
Sejak tahun 2006, Kementerian Lingkungan Hidup Jepang bekerja sama dengan Forum Promosi 3R dan pemerintah daerah untuk menyediakan kesempatan bagi konsumen, pelaku bisnis, dan pemerintah untuk berkumpul bersama mendiskusikan pembentukan masyarakat berwawasan daur ulang dan agar masyarakat memperbaiki gaya hidup mereka.
Pemerintah Jepang telah menetapkan bulan Oktober sebagai Bulan Promosi 3R untuk mengembangkan pemahaman dan kerja sama antara konsumen dan pelaku bisnis mengenai inisiatif 3R. Selama Bulan Promosi 3R yang diselenggarakan setiap tahun, berbagai program dan kegiatan diselenggarakan oleh lembaga pemerintah, pemerintah daerah, dan pihak terkait lainnya untuk mempromosikan pembentukan masyarakat berwawasan daur ulang.
Kementerian Lingkungan Hidup Jepang juga memberikan penghargaan kepada perorangan, perusahaan, organisasi, dan komunitas yang telah mencapai hasil yang luar dalam pembentukan masyarakat berwawasan daur ulang.
ADVERTISEMENT
Kementerian Keuangan, Perdagangan dan Industri juga menyelenggarakan Kampanye Belanja Ramah Lingkungan berkolaborasi dengan prefektur, kotamadya, asosiasi bisnis logistik, dan organisasi konsumen. Beragam kegiatan dilakukan dalam kampanye tersebut untuk menunjukkan kepada konsumen, penyalur, dan pengecer mengenai pentingnya perilaku konsumsi ramah lingkungan seperti penggunaan kantong guna ulang untuk belanja, redesain kemasan, dan pembelian produk ramah lingkungan, dan sebagainya.
Dalam rangka mempromosikan pengurangan sampah di masyarakat lokal, pemerintah Jepang juga mengamanatkan pemerintah kota untuk terlibat dalam mengembangkan sistem sosial pengurangan jumlah timbulan dan daur ulang sampah dalam Program Kota Bersih Berbasiskan Daur Uang.
Sebagai bagian dari usaha untuk meningkatkan kepedulian warga akan pentingnya daur ulang, beberapa pemerintah kota membangun plaza daur ulang yang difungsikan untuk memperbaiki, memamerkan, dan menawarkan produk daur ulang dan juga menyediakan informasi tentang penukaran barang yang masih bisa dipakai ulang.
ADVERTISEMENT
Pada setiap kota juga disiapkan selebaran dan panduan yang menjelaskan cara memilah dan meletakkan sampah dengan bahasa sederhana menggunakan ilustrasi yang menarik. Selanjutnya, pemerintah mengadakan penyuluhan bagi warga untuk menjelaskan cara memilah sampah dan pentingnya pengumpulan sampah yang dipilah serta bagaimana menerapkan kegiatan daur ulang.

Kondisi Pengelolaan Sampah Saat Ini

Ilustrasi Membersihkan Tong Sampah di Rumah. Foto: Shutterstock
Dengan berbagai program pengelolaan sampah yang didukung oleh instrumen hukum, kelembagaan, pembiayaan, dan kerja sama antar pemangku kepentingan kondisi pengelolaan sampah di Jepang saat ini sudah sampai pada sistem pengelolaan sampah yang baik dan mapan mulai dari pemilahan sampah di sumber, pengumpulan dan pengangkutan sampah, pengolahan sampah, dan pemrosesan akhir sampah. Jepang telah menjadi negara yang modern dalam pengelolaan sampahnya dan menjadi negara yang paling bersih di dunia.
ADVERTISEMENT
Selain itu, sejak tahun 2000 timbulan sampah di Jepang cenderung menurun sebagai akibat perubahan sistem ekonomi dan masyarakat berwawasan daur ulang. Jumlah sampah yang ditimbun di TPA juga semakin berkurang karena pengolahan sampah di insinerator dan di industri daur ulang dilakukan secara masif. Akibat upaya tersebut, jumlah TPA juga semakin sedikit. Sebuah prestasi yang sangat jarang dicapai oleh negara lain.

Pembelajaran yang Dapat Dicontoh

Demikianlah uraian singkat sejarah panjang pengelolaan sampah di Jepang yang bermulai dari fase kesehatan publik, berlanjut ke fase proteksi lingkungan, hingga fase pembentukan masyarakat berwawasan daur ulang.
Saat ini semua mengakui bahwa Jepang telah menjadi negara percontohan dalam hal pengelolaan sampahnya.
Kondisi Jepang tentu berbeda dengan Indonesia. Namun demikian, ada beberapa hal pembelajaran yang dapat diambil dari sejarah pengelolaan sampah di Jepang.
ADVERTISEMENT
Pertama, kegiatan perbaikan pengelolaan sampah di Jepang terlihat runut, jelas, dan konsisten menuju perubahan yang terbaik bagi kebersihan dan kesehatan lingkungan perkotaan. Fase lama secara bertahap digantikan fase berikutnya yang semakin baik. Semestinya, kita di Indonesia pun demikian. Namun, kalau kita memotret perjalanan pengelolaan sampah di Indonesia, fase-fase tersebut tidak dilalui satu demi satu. Fase-fasenya tumpang tindih. Keseluruhan fase saat ini kita alami. Hal itu akibat kurangnya konsistensi dan komitmen pemerintah dalam menggarap pengelolaan sampah kota yang lebih baik.
Kedua, semua kegiatan pengelolaan sampah di Jepang selalu dilandasi oleh instrumen hukum sehingga arahnya jelas dan menjadi pedoman para pemangku kepentingan. Berbagai regulasi persampahan disusun sesuai dengan peruntukannya, bahkan sejak tahun 1900-an. Regulasinya pun fleksibel untuk direvisi. Beberapa kali Undang-Undang terkait dengan pengelolaan sampah direvisi sesuai dengan kebutuhan zaman. Kita memiliki Undang-Undang Pengelolaan Sampah No. 18 Tahun 2008 yang beberapa pasalnya dipandang perlu direvisi tapi sampai sekarang masih utuh seperti semula.
ADVERTISEMENT
Ketiga, dalam mengelola sampahnya, Jepang menggerakkan seluruh instrumen non-teknis, tidak hanya instrumen regulasi tetapi juga instrumen pembiayaan, kelembagaan, dan kerja sama antar pemangku kepentingan serta keberpihakan politik lokal. Instrumen-instrumen tersebut digunakan untuk mendukung beroperasinya sarana prasarana pengelolaan sampah mulai dari pemilahan di sumber; pengumpulan dan pengangkutan; kegiatan daur ulang; pengolahan sampah menjadi energi; dan beroperasinya TPA yang ramah lingkungan. Dengan integrasi berbagai instrumen tersebut, pengelolaan sampah di Jepang berjalan berkelanjutan dan kebutuhan akan lahan TPA juga semakin kecil.
Keempat, sejalan dengan kesadaran global tentang menipisnya sumber daya alam karena konsumsi dan produksi massal beserta dampak lingkungan akibat dari jumlah sampah yang semakin meningkat, Jepang mempromosikan pembentukan masyarakat berwawasan daur ulang. Pembentukan masyarakat daur ulang tersebut dilakukan secara masif melalui kolaborasi antar pihak; sosialisasi dan kampanye pemilahan sampah; pembentukan forum 3R; penyelenggaraan konferensi pengurangan sampah; lomba kota bersih; pemberian penghargaan kepada perorangan, perusahaan, organisasi, dan komunitas yang telah mengelola sampahnya dengan baik.
ADVERTISEMENT
Sebenarnya masih banyak pembelajaran lain yang dapat dicontoh dari sejarah panjang pengelolaan sampah di Jepang. Namun itu semua mesti disesuaikan dengan kondisi sosial, ekonomi, dan budaya Bangsa Indonesia. Mudah-mudahan pengelolaan sampah di Indonesia semakin baik sehingga lingkungan perkotaan menjadi bersih, sehat dan nyaman dihuni seperti halnya Jepang.