Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Solusi Masalah Sampah Plastik
20 Juni 2023 12:55 WIB
·
waktu baca 14 menitTulisan dari Sri Wahyono tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Pencemaran sampah plastik saat ini sudah mencapai tingkat yang sangat mengkhawatirkan yang mengancam seluruh sendi kehidupan baik itu terhadap aspek lingkungan, sosial budaya maupun pembangunan ekonomi. Pencemaran sampah plastik juga tidak sebatas pada suatu wilayah, tetapi juga bersifat transboundary (lintas batas negara). Oleh karena itu adalah tepat jika Hari Lingkungan Hidup Sedunia pada tanggal 5 Juni 2023 yang lalu mengangkat tema Solutions to Plastic Pollution atau Solusi untuk Pencemaran Plastik.
ADVERTISEMENT
Sejalan dengan itu, Pada tanggal 29 Mei hingga 2 Juni 2023 yang lalu, telah berlangsung perhelatan akbar yang dihadiri oleh lebih dari 700 delegasi dari 169 negara dan lebih dari 900 pengamat dari LSM di Markas Besar UNESCO (Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan Perserikatan Bangsa-Bangsa/PBB) di Paris yang membahas tentang instrumen hukum yang mengikat secara internasional (international legally binding) terkait pencemaran sampah plastik. Ambisinya, draft hukum tentang pencemaran sampah plastik baik di darat maupun di laut tersebut dapat ditetapkan pada tahun 2024.
Untuk mengatasi pencemaran sampah plastik memang memerlukan aksi bersama, termasuk Indonesia yang saat ini pengelolaan sampahnya juga tidak dalam keadaan baik-baik saja. Bahkan terhadap pencemaran sampah plastik di laut, Indonesia dituduh sebagai penyumbang sampah plastik kedua terbesar di dunia.
ADVERTISEMENT
Konsep Pengelolaan Sampah Terpadu
Masalah pencemaran akibat sampah plastik baik di daratan maupun di perairan tiada lain adalah masalah sampah keseluruhan. Oleh karena itu, dalam mencari solusi masalah sampah plastik, kita pun dapat menganalisisnya menggunakan konsep pengelolaan sampah, yakni konsep pengelolaan sampah terpadu yang berkelanjutan (Integrated Sustainable Solid Waste Management/ISWM) yang dipopulerkan oleh UN-Habitat (Program Permukiman Perserikatan Bangsa-Bangsa).
Konsep ISWM adalah konsep yang memandang pengelolaan sampah secara terpadu atau terintegrasi antar berbagai aspek yang dikategorikan ke dalam dua komponen. Masing-masing komponen digambarkan dalam bentuk segitiga yang saling beririsan. Segitiga sebelah kiri adalah komponen fisik (physical), sedangkan segitiga sebelah kanan adalah komponen tata kelola (governance).
Komponen fisik terdiri atas tiga aspek yaitu aspek pengumpulan sampah (collection); aspek pembuangan sampah dan penanganannya (treatment and disposal); dan aspek 3R (Reduce, Reuse, dan Recycle). Yang dimaksud reduce adalah mengurangi sampah; reuse itu menggunakan ulang sampah; dan recycle itu mendaur ulang sampah.
ADVERTISEMENT
Sementara itu, komponen tata kelola meliputi aspek institusi yang kuat dan kebijakan yang pro-aktif (sounds institution and pro-active policies); aspek pembiayaan berkelanjutan (financial sustainability); dan aspek inklusivitas penyedia dan pengguna (inclusivity - user and provider).
Untuk mencapai pengelolaan sampah yang berkelanjutan, berbagai aspek fisik harus didukung oleh berbagai aspek tata kelola. Jika salah satu aspek lemah, maka pengelolaan sampah juga akan terganggu.
Pada saat menelisik aspek-aspek pada komponen fisik kita akan menjumpai tahap-tahap pengelolaan sampah berikut hal-hal yang menjadi pemicu atau pendorongnya. Dari komponen inilah kita dapat mengambil alternatif solusi masalah sampah plastik.
Aspek Pengumpulan Sampah dan Kesehatan Publik
Aspek pengumpulan sampah pada umumnya didorong oleh masalah kesehatan masyarakat (public health) yang diakibatkan oleh sampah.
ADVERTISEMENT
Pada zaman dahulu, di negara-negara yang sudah duluan maju, seperti negara-negara di Eropa dan Jepang, sering muncul gangguan kesehatan pada masyarakat perkotaan akibat sampah yang menumpuk yang disebabkan oleh pembuangan sampah sembarangan di sekitar permukiman. Sampah dibuang di jalan, di tanah kosong, atau ke selokan, di sungai atau saluran air lainnya.
Sampah yang menumpuk mengakibatkan bau busuk dan menjadi sarang vektor penyakit (lalat, nyamuk, tikus, dan sebagainya) sehingga timbul berbagai penyakit misalnya penyakit disentri, penyakit pes, penyakit tifus dan sebagainya.
Asap dari sampah yang dibakar yang bertujuan untuk mengurangi gangguan tumpukan sampah juga membahayakan kesehatan. Pembakaran sampah yang tidak terkendali menciptakan emisi polutan yang sangat berbahaya. Sampah yang menumpuk dan menyumbat saluran air juga menjadi penyebab banjir.
ADVERTISEMENT
Kondisi pada masa lalu tersebut, persis terjadi di negara kita saat ini, di mana tingkat layanan pengumpulan sampah perkotaan untuk diangkut ke TPA pada umumnya masih rendah yaitu antara 30%-60%. Rendahnya pengumpulan sampah tersebut mengakibatkan masyarakat yang tidak terlayani mencari jalannya yang primitif, seperti di Eropa zaman dahulu, dalam menangani sampahnya yakni membuang sampah di pekarangan kosong, membuangnya ke saluran air atau sungai atau membakarnya.
Kondisi sekarang di sini lebih parah dari masa lalunya mereka karena dengan semakin beragamnya jenis sampah dan karakteristiknya yang sulit terurai secara alami mengakibatkan sampah yang terbuang di sungai akan terakumulasi puluhan tahun.
Dari selokan atau anak sungai, sampah mengalir ke sungai. Dari beberapa medsos kita sering mendapatkan postingan aliran sungai yang dipenuhi oleh sampah. Kondisi yang tidak wajar. Air sungai yang seharusnya bersih untuk sumber kehidupan, menjadi alat angkut sampah terpanjang sepanjang sejarah. Sampah selanjutnya tiba di muara dan akhirnya terbawa arus ke lautan luas.
ADVERTISEMENT
Dari uraian di atas menjadi jelas bahwa sumber sampah plastik di laut memang berasal dari daratan. Diperkirakan 80 persen sampah di laut berasal dari daratan.
Kembali ke suasana Eropa pada masa lalu, masalah kesehatan masyarakat akibat sampah yang membusuk, menyumbat saluran air, dan menumpuk di sekitar permukiman, diatasi secara pragmatis dengan meningkatkan layanan pengangkutan sampah secara masif ke tempat pembuangan yang tersentralkan jauh dari perkotaan. Seluruh area permukiman dan area aktivitas penduduk dilayani pengangkutan sampahnya.
Dengan ditingkatkannya upaya pengumpulan dan pengangkutan sampah, tabiat pembuangan sampah sembarangan menjadi berkurang. Sampah ditempatkan di tempat sampah untuk diangkut ke TPA. Lingkungan permukiman menjadi bersih, sanitasi lingkungan membaik, sehingga masyarakat terhindar dari berbagai penyakit menular. Lingkungan permukiman menjadi tempat tinggal yang nyaman, bersih, dan sehat.
ADVERTISEMENT
Kita membayangkan seandainya layanan pengumpulan sampah perkotaan ke TPA ditingkatkan menjadi 100% di seluruh Kabupaten/Kota di Indonesia saat ini, maka kebocoran sampah plastik ke lingkungan perairan dapat dicegah. Demikian pula tidak akan ada lagi sampah menumpuk di sembarang tempat, di jalan, di sungai, dan sebagainya.
Namun upaya tersebut perlu penyediaan anggaran yang memadai untuk membangun sarana dan prasarana pengumpulan dan pengangkutan sampah. Minimnya anggaran dan kurangnya priporitas dalam penyelesaian masalah sampah menyebabkan tidak terwujudnya sarana dan prasarana pengumpulan dan pengangkutan sampah yang memadai. Jika kondisi terus seperti itu, maka sampah akan selamanya ‘bocor’ ke lingkungan.
Kembali ke masa lalunya negara-negara di Eropa pasca tertanganinya masalah kesehatan masyarakat dengan di-100%-kan pengumpulan dan pengangkutan sampah, selanjutnya apakah masalah akibat sampah selesai teratasi?
ADVERTISEMENT
Aspek Pembuangan Sampah dan Proteksi Lingkungan
Dalam komponen fisik ISWM, kita menemukan adanya dorongan perlunya perlindungan lingkungan (environmental protection) terhadap pembuangan sampah ke TPA.
Hal itu dilatarbelakangi oleh peristiwa bahwa dengan terselesaikannya masalah sampah di sumbernya, ternyata muncul masalah baru berupa peristiwa pencemaran lingkungan akibat dari keberadaan tempat pembuangan akhir sampah atau TPA. Kala itu TPA yang saniter memang belum dikenal. TPA yang dikenal dan digunakan masih menggunakan sistem timbun secara terbuka atau open dumping (OD). Sampah yang berasal dari seluruh penjuru kota hanya ditimbun di lahan terbuka tanpa upaya apa-apa.
Saat itu, kondisi TPA di Eropa atau di Jepang persis seperti TPA yang dioperasikan di banyak Kabupaten/Kota di negara kita saat ini. Ribuan atau jutaan ton sampah, termasuk di dalamnya sampah plastik, terakumulasi di TPA menimbulkan lindi yang mencemari tanah dan air tanah, serta mencemari perairan sekitarnya. Lindi adalah air yang berasal dari sampah yang mengandung berbagai logam berat dan senyawa yang berbahaya bagi lingkungan.
ADVERTISEMENT
Membusuknya sejumlah besar sampah di TPA juga menimbukan bau busuk yang mengganggu saluran pernafasan. Baunya terbawa angin ke mana-mana sejauh ribuan meter.
TPA juga menjadi sumber penyakit menular dan menjadi sarang binatang penyebar penyakit. Ribuan lalat dari TPA pernah pernah menyerang kota Tokyo di tahun 1960-an. Populasi lalat meningkat secara dramatis di TPA Kota Tokyo saat itu. Lalat menyebar bersama angin ke permukiman di sekitarnya membawa bibit penyakit.
TPA juga sumber petaka misalnya TPA terbakar. Kebakaran besar pernah melanda TPA di Tokyo pada tahun 1965. Kebakaran tersebut menimbulkan asap tebal yang berbau menyengat dan partikel abu yang beterbangan sehingga mengganggu lingkungan sekitarnya. Kebakaran ini persis yang sering terjadi pada TPA di Indonesia ketika musim kemarau. Di beberapa daerah di Indonesia, beberapa TPA menjadi langganan dilalap si jago merah.
ADVERTISEMENT
Bahkan di negara kita, petaka bukan hanya TPA terbakar, tetapi juga TPA longsor. Hal itu sering terjadi di saat musim hujan. Peristiwa longsor TPA yang paling tragis adalah longsornya TPA Leuwigajah di Bandung pada tahun 2005 yang merenggut nyawa lebih dari 140 jiwa. Longsornya TPA Leuwigajah menjadi sejarah kelam pengelolaan sampah Bangsa Indonesia.
Saat ini TPA OD juga menjadi perhatian dunia karena selain berbagai dampak lokal tersebut, juga berdampak global berupa emisi gas rumah kaca (GRK) yang menyebabkan terjadinya perubahan iklim.
Semenjak tahun 2000-an, TPA menjadi salah satu perhatian dunia sebagai penyumbang GRK yang cukup potensial karena mengemisikan gas metana (CH4). Bahkan disinyalir, TPA yang ada di berbagai daerah di Indonesia merupakan 5 besar penyumbang GRK dari sampah secara global.
ADVERTISEMENT
Berbagai peristiwa tersebut perlu dicegah, proteksi terhadap lingkungan dari pencemaran dan petaka TPA perlu dilakukan.
Kembali lagi ke negara-negara Eropa atau Jepang di masa lalu, masalah perlindungan lingkungan akibat dampak dari TPA OD menjadi perhatian yang sangat serius. Upaya-upaya perlindungan lingkungan dicarikan jalannya. Melalui riset dan rekayasa teknik ditemukanlah cara untuk mengatasinya yaitu sistem TPA yang ramah lingkungan, TPA yang saniter (sanitary landfill).
Air lindinya dicegah jangan sampai meresap ke tanah, dan selanjutnya dikumpulkan dan diolah sehingga aman terhadap air tanah dan perairan sekitarnya. Potensi timbulkan bau dan sumber penyakit ditangani dengan sistem pelapisan tanah pada saat sampah ditimbun. Potensi longsor diatasi dengan pemadatan dan sistem terasering yang ketat. Gas metan yang diemisikan dikendalikan dengan cara dibakar (flaring) atau menjadi sumber energi.
ADVERTISEMENT
Upaya-upaya tersebut membuahkan hasil yang baik, sehingga pada tahun 1970-an TPA OD umumnya sudah digantikan dengan TPA yang saniter. Upaya proteksi lingkungan dari dampak buruk TPA berjalan baik.
Poin penting dari uraian di atas adalah bahwa pada era sekarang, negara-negara yang sudah duluan maju di Eropa dan di Jepang misalnya, sudah tidak lagi disibukkan oleh masalah kesehatan publik dan proteksi lingkungan.
Namun kondisi sebaliknya, di negara kita, saat ini pengelolaan sampah pada umumnya masih mengalami masalah baik itu kesehatan publik maupun proteksi lingkungan. Sampah masih banyak yang tidak terkumpul dan tidak terangkut ke TPA; bocor ke lingkungan perairan; dan TPA yang dioperasikan pun umumnya masih primitif yaitu TPA Open Dumping.
ADVERTISEMENT
Dari uraian di atas dapat ditarik pelajaran bahwa masalah sampah plastik baik yang di daratan maupun yang di lautan dapat diatasi dengan dua jalan yakni (i) di-100%-kan layanan pengumpulan dan pengangkutan sampah ke TPA; dan (ii) tinggalkan TPA OD dengan memakai TPA yang saniter.
Namun, tunggu dulu.
Kondisi perkembangan zaman menyatakan bahwa solusi untuk sampah plastik ternyata tidak cukup dengan dua hal tersebut. Ada hal penting lainnya. Apakah itu?
Aspek 3R dan Nilai Sumberdaya
Kembali ke dalam komponen fisik ISWM, kita menemukan adanya dorongan yang ketiga yaitu nilai sumberdaya (resource value).
Dorongan berupa pandangan bahwa sampah adalah sumberdaya yang bernilai dipicu oleh kesadaran global bahwa sumber daya alam semakin menipis. Sumber daya alam di bumi yang dihuni oleh sekitar 7,9 miliar jiwa ketersediaannya semakin menipis karena pola konsumsi dan produksi yang jor-joran.
ADVERTISEMENT
Menipisnya ketersediaan sumberdaya pada akhirnya mendorong manusia untuk mencarinya dari sumber lain.
Sampah kota, termasuk di dalamnya sampah plastik, adalah sumber material potensial yang dapat diambil (recovery), dipakai ulang (reuse) dan didaur ulang (recycle). Jumlah sampah yang terus meningkat dan terakumulasi di perkotaan merupakan alternatif sumber bahan baku yang potensial.
Gerakan 3R (reduce, reuse, dan recycle) mulai menggeliat sejak tahun 1990-an dan menjadi gerakan global melalui program ekonomi sirkular (circular economy).
Gerakan 3R dapat dikembangkan di bagian hulu dan hilir pengelolaan sampah. Di bagian hulu pemangku kepentingannya adalah produsen. Sementara itu, di bagian hilir pelakunya adalah konsumen dan para para pihak terkait upaya daur ulang sampah.
Strategi di bagian hulu dilakukan berbasis rethinking (memikirkan kembali) bagaimana agar sampah kemasan plastik berkurang. Proses berpikir ini jauh-jauh dilakukan sebelum sampah timbul. Pengurangan sampah plastik dapat dicapai dengan melakukan redesign (mendesain kembali) baik kemasan, produk, maupun model bisnis.
ADVERTISEMENT
Kemasan didesain dengan tetap memiliki fungsi yang sama tapi nantinya akan sedikit sampah yang timbul melalui desain, format, dan pilihan material kemasan. Sementara itu, produk yang dikemas didesain ulang sehingga kebutuhan kemasan akan berubah melalui formula, konsep, bentuk dan ukuran produk. Model bisnis juga didesain ulang untuk mengurangi kebutuhan kemasan melalui model pengiriman, rantai pasok, dan lokasi produksi.
Pengurangan sampah plastik dapat secara langsung berupa penghilangan atau eliminasi bagian kemasan yang tidak memiliki fungsi esensial. Contohnya adalah membuang atau tidak menggunakan lagi kemasan sekunder; seal atau plastik pelindung tutup, plastik film bagian luar kemasan, dan lainnya. Sementara itu pengurangan yang bersifat eliminatif lainnya adalah mengganti kemasan dengan kemasan dapat dimakan; kemasan yang dapat larut; dan sebagainya.
ADVERTISEMENT
Di hulu, kemasan juga dapat didesain untuk dapat dipakai ulang. Kemasan yang dapat dipakai ulang tersebut terkait erat dengan model bisnis yang memungkinkan untuk diisi ulang dengan produk yang sama baik dilakukan di rumah atau di toko.
Selain itu, kemasan juga dapat didesain untuk dapat disirkularkan materialnya. Kemasan didesain untuk dapat dan mudah didaur ulang menjadi produk baru; atau didesain menjadi kemasan plastik yang dapat terurai baik melalui pengomposan atau teknik lainnya.
Demikianlah strategi pengurangan timbulan sampah plastik di hulu yang dilakukan pada saat sebelum timbulnya sampah. Sementara itu, strategi di bagian hilir terdiri atas pemilahan sampah dan 3R dan gaya hidup minim sampah.
Pemilahan sampah adalah kunci pengolahan selanjutnya. Tanpa dipilah sampah akan sulit diolah. Oleh karena itu program pemilahan harus dilakukan. Pemilahan yang paling efisien adalah pemilahan sampah yang dilakukan di sumber sampah.
ADVERTISEMENT
Setelah dipilah, sesuai dengan jenis dan karakternya, plastik dapat didaur ulang. Proses daur ulang dibagi menjadi tiga yaitu daur ulang material, daur ulang kimia, dan daur ulang termal.
Pada daur ulang material, sampah plastik dibuat menjadi bahan baku plastik kembali dan dibuat menjadi produk yang serupa dengan produk awalnya atau berbeda.
Pada daur ulang kimiawi, sampah plastik diubah menjadi monomer yang bentuk cair dan dapat dimanfaatkan sebagai bahan bakar minyak. Sementara itu pada daur ulang termal sampah plastik dapat diolah menjadi sumber energi melalui proses termal seperti insinerasi, cement kiln, gasifikasi dan pirolisis.
Peta Jalan Pengurangan Sampah oleh Produsen
Terkait dengan pengurangan sampah plastik di hulu, Pemerintah Indonesia telah meluncurkan Peraturan Menteri LHK No. P.75/MENLHK/Setjen/Kum.1/10/2019 Tentang Peta Jalan Pengurangan Sampah oleh Produsen.
ADVERTISEMENT
Peraturan ini bertujuan untuk mengurangi barang atau kemasan dengan cara membatasi timbulan, mendaur ulang dan mengunakan ulang, serta mengubah perilaku masyarakat. Target pengurangan sampah oleh produsen adalah sebanyak 30 persen pada tahun 2029.
Yang dimaksud produsen dalam peraturan tersebut ada tiga kategori yaitu manufaktur, ritel, dan jasa makanan dan minuman.
Dalam Peraturan Menteri tersebut produsen wajib menyusun dokumen perencanaan pengurangan sampah kemasannya, di mana implementasinya dilakukan secara bertahap. Diharapkan pada tahun 2029 produsen dapat mengurangi sampah kemasannya sebesar 30%. Produsen juga wajib melakukan redesain kemasannya.
Redesain kemasannya terkait dengan desain resirkularitas yaitu berupa penggunaan bahan yang dapat didaur ulang atau guna ulang; bahan hasil daur ulang (50% recycled content); dan penggunaan bahan baku mono material (monolayer).
ADVERTISEMENT
Selain itu dapat pula berupa eliminasi yaitu menghilangkan label dan seal plastik, mengatur ukuran berbagai jenis kemasan minuman, dan menggunakan botol PET yang bening atau kebiruan.
Produsen juga berkewajiban melakukan phase out (penghapusan) kemasan bermasalah pada awal tahun 2030. Jenis-jenis kemasan tersebut antara lain berupa kemasan berbahan PVC (Polyvinyl Chloride) dan PS (Polystyrene); kemasan sachete ukuran lebih kecil dari 50 ml atau 50 gram; sedotan plastik; kantong belanja plastik; alat makan dan minum sekali pakai (single-use cutlery) termasuk piring, gelas, sendok, garpu, sedotan, dan wadah plastik foam.
Saat ini berbagai plastik kemasan tersebut memiliki masalah berupa sulit dikumpulkan; tidak bernilai ekonomis; sulit didaur ulang; dan berpotensi mencemari.
Selain hal-hal di atas, produsen juga wajib menarik dan mengumpulkan kembali sampah kemasan pascakonsumsi untuk didaur ulang atau untuk dimanfaatkan kembali.
ADVERTISEMENT
Produsen juga berkewajiban memberikan label pada kemasannya seperti label layak dikomposkan (compostable), layak didaur ulang (recyclable), layak dipakai ulang (reusable), dan kandungan material recycle-nya.
Dari uraian tentang Permen LHK P.75/2019 tersebut terlihat jelas kaitannya dengan komponen fisik ISWM, yakni aspek yang ketiga yaitu 3R dan dorongan akan nilai sumberdaya. Permen LHK tersebut disambut baik oleh para produsen dengan bukti berupa keikutsertaan mereka berupa penyusunan peta jalan pengurangan sampah dan hasil implementasinya dilaporkan ke KLHK.
Melalui analisis konsep pengelolaan sampah terpadu yang berkelanjutan (ISWM), solusi masalah sampah plastik dapat diidentifikasi. Komponen fisik yang meliputi aspek pengumpulan sampah; aspek pembuangan sampah dan penanganannya; dan aspek 3R memberikan informasi bagaimana alur solusinya.
Alur solusinya adalah adalah pertama 100%-kan pengumpulan dan pengangkutan sama ke TPA atau ke tempat pengolahannya. Kemudian TPA Open Dumping ditinggalkan diganti dengan pengoperasian TPA yang saniter (Sanitary Landfill). Selanjutkan sektor hulu dan hilir pengelolaan sampah melakukan gerakan memilah sampah dan 3R (Reduce, Reuse dan Recycle).
ADVERTISEMENT
Tentu saja, alur solusi masalah sampah plastik tersebut akan dapat dijalankan jika didukung oleh berbagai aspek yang terdapat pada komponen tata kelola (governance) yang meliputi aspek institusi yang kuat dan kebijakan yang pro-aktif; aspek pembiayaan berkelanjutan; dan aspek inklusivitas penyedia dan pengguna. Hal ini membutuhkan pembahasan tersendiri.
Jika konsep pengelolaan sampah terpadu diterapkan maka masalah sampah plastik bocor ke lingkungan perairan dapat dicegah dan permasalahan sampah secara umum dapat tuntas ditangani.