Shinzo Abe Tertembak dan Pelajaran Kepemimpinan untuk Menghadapi Dunia VUCA

Sridewanto Pinuji
Penulis untuk topik mengenai kepemimpinan. Sila kontak [email protected]
Konten dari Pengguna
14 Juli 2022 22:33 WIB
·
waktu baca 6 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Sridewanto Pinuji tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Shinzo Abe (Getty Images, BBC)
zoom-in-whitePerbesar
Shinzo Abe (Getty Images, BBC)
ADVERTISEMENT
Shinzo Abe, mantan perdana menteri Jepang telah meninggal dunia karena ditembak di kota Nara. Apa dan bagaimana Abe mengubah Jepang sepanjang kepemimpinannya sebagai perdana menteri dengan jabatan terlama layak kita jadikan pelajaran kepemimpinan.
ADVERTISEMENT
Pelajaran tersebut dapat kita baca dari sebuah artikel di The New Yorker yang saya ringkas berikut ini....
Dia memperjuangkan cita-cita tersebut dengan menjadi anggota Partai Demokratik Liberal. Kemudian menjabat sebagai perdana menteri selama dua periode, pertama antara 2006 hingga 2007 dan periode kedua antara 2012 hingga 2020.
Dia dibesarkan oleh keluarga politisi. Ayah Abe adalah menteri luar negeri. Sementara kakeknya adalah perdana menteri di akhir tahun 1950-an.
Kendati sudah meninggalkan jabatannya pada tahun 2020, Abe tetap menjadi sosok kuat dalam politik Jepang. Sebagai perdana menteri, dia menginginkan untuk meraih posisi yang kuat bagi Jepang di percaturan dunia internasional. Dalam bidang ekonomi, kebijakannya untuk meningkatkan perekonomian Jepang dikenal sebagai Abenomics.
ADVERTISEMENT
Abe dalam meraih impiannya telah menjalin kerja sama yang sangat erat dengan sejumlah pemimpin dunia, seperti Donald Trump, mantan Presiden Amerika Serikat, dan Malcolm Turnbull, mantan perdana menteri Australia.
Alexis Dudden, professor sejarah dari University of Connecticut yang secara khusus mempelajari Jepang dan Korea menyampaikan beberapa pandangannya tentang kepemimpinan Abe.
Menurut Dudden, Abe adalah pemimpin Jepang yang ingin menata posisi Jepang di wilayah Asia Timur. Dia melakukannya dengan berbagai upaya diplomasi. Misalnya, dia sering sekali bepergian. Dia menemui Presiden Rusia, Vladimir Putin, lebih dari 20 kali. Dia pun bertemu Xi Jinping dan yang pertama bertemu dengan Donald Trump setelah diangkat menjadi presiden Amerika Serikat.
Namun begitu, terlepas dari berbagai capaiannya, Abe bukannya pemimpin tanpa cela.
ADVERTISEMENT
Dia menciptakan keretakan yang dalam antara Jepang dengan negara-negara tetangganya. Hal ini terutama terjadi karena karena sikapnya yang tegas, dukungannya yang cukup kuat terhadap warisan kekaisaran Jepang, dan dia enggan bertanggung jawab atas kejahatan perang Jepang yang terjadi di Asia dan Pasifik pada perang dunia II.
Karena itu, ketika banyak orang menganggap Abe adalah pemimpin besar, tetapi pandangan pribadinya untuk menulis ulang sejarah Jepang tentang kejayaan masa lalu telah membuat permasalahan khusus di Asia Timur.
Permasalahan tersebut akan terus menghantui, karena rupanya tidak hanya membagi negara-negara yang akan menjalin kerja sama dengan Jepang, tetapi juga membagi masyarakat Jepang sendiri. Hal ini terutama berkaitan dengan kejahatan perang yang dilakukan negara tersebut pada masa perang yang dilakukan atas nama kaisar.
ADVERTISEMENT
Namun, apakah kematian Abe terjadi karena permasalahan tersebut?
Ternyata tidak.
***
Adalah Tetsuya Yamagami, 41 tahun, yang telah ditangkap sebagai penembak Abe. Yamagami yang menganggur itu berkata kepada penyelidik bahwa dirinya memiliki kebencian kepada sekelompok masyarakat tertentu yang diduganya memiliki kaitan dengan Abe.
Penyelidik mengatakan bahwa Yamagami menargetkan Abe karena dia percaya bahwa kakek dari mantan perdana menteri telah mengembangkan kelompok masyarakat yang dibencinya tersebut.
Kantor berita NHK dan Kyodo News Agency juga melaporkan bahwa ibu dari Yamagami pernah menjadi anggota dari kelompok masyarakat tersebut. Selanjutnya, kelompok tersebut telah menyebabkan ibunya mengalami kesulitan keuangan dan mengakibatkan keretakan keluarga.
Di sini kita bisa melihat bagaimana kebencian terhadap suatu kelompok tertentu berubah menjadi sebuah peristiwa yang mengguncangkan sebuah negeri.
ADVERTISEMENT
***
Hari-hari ini warga Jepang masih sulit mempercayai terjadinya penembakan terhadap mantan perdana menterinya. Serangan itu sungguh mengejutkan bagi sebuah negara yang menerapkan hukuman tegas untuk mengendalikan penggunaan senjata.
Lebih jauh, serangan itu juga hendaknya menjadi pengingat kepada kita betapa dunia yang kita tinggali saat ini semakin menunjukkan karakteristik VUCA (volatility, uncertainty, complex, ambiguity).
Secara lebih detail, karakteristik tersebut adalah:
Volatility: kenaikan atau penurunan secara drastis dari suatu perubahan yang terjadi secara empat dimensi: tipe, kecepatan, volume, dan skalanya.
Uncertainty: sebagai kelanjutan dari volatility, kita tidak mampu memprediksi apa yang akan terjadi di masa datang.
Complexity: tersebar luasnya kebingungan, serta tidak ada hubungan yang jelas antara penyebab dan dampak.
Ambiguity: tidak ada kejelasan, ketepatan, serta munculnya beragam makna pada kondisi yang terjadi di sekitar kita.
ADVERTISEMENT
Karena itu, saat ini kita berhadapan dengan persoalan di dunia yang berubah begitu cepat, sulit diprediksi, berbagai pilihan yang terus bertambah, sementara cara kita berpikir dan menanggapi persoalan tersebut tidak terlalu banyak berubah.
Menghadapi situasi tersebut, para pemimpin harus membuat keputusan yang sangat cepat, memproses informasi yang sangat banyak, dan semua hal semakin terhubung lebih dari sebelumnya.
Salah satu persoalan terbesar dari kondisi ini adalah karena telah beribu-ribu tahun kita dibesarkan dan percaya bahwa dunia bisa diprediksi.
Karena itu, sekarang kita perlu bekerja dengan pola pikir yang berbeda.
Lantas, bagaimana kita harus mengubah pola pikir tersebut?
Otak kita sangat senang membuat kategori dan belajar dari masa lalu untuk mengamankan dan menghadapi masa depan. Kemampuan ini sudah berhasil dengan baik selama ribuan tahun.
ADVERTISEMENT
Tanpa kemampuan untuk memprediksi masa depan berdasarkan peristiwa masa lalu, terutama untuk mengidentifikasi risiko, maka mungkin manusia sudah hilang dari sejarah.
Namun, kemampuan yang luar biasa dan berhasil selama jutaan tahun tersebut kini mulai gagal dan telah sampai batasnya.
Kegagalan terjadi terutama karena kita kesulitan menemukan kemungkinan terjadinya suatu fenomena dibandingkan peristiwa yang mungkin terjadi.
Dunia VUCA mengindikasikan perlunya kita berfokus pada berbagai kemungkinan yang terjadi. Sebab, saat ini apa saja dapat terjadi. Contohnya penembakan terhadap perdana menteri di negeri yang dipandang sangat aman dari kejahatan bersenjata.
Dunia VUCA tidak menuntut kita untuk memperhatikan apa yang mungkin terjadi, yang ditandai pada suatu hal yang pernah terjadi sebelumnya. Misalnya penembakan pada pemimpin negara yang terjadi di negeri yang dilanda konflik.
ADVERTISEMENT
Mengubah pandangan dan fokus tersebut lebih mudah dikatakan dibandingkan dilakukan. Berbagai penelitian menunjukkan bahwa mengubah sudut pandang tersebut tidak menyenangkan dan menimbulkan kesulitan di otak kita.
Sebab, kecenderungan kita adalah untuk memangkas, mengurangi, dan menyederhanakan informasi.
Karena itu, untuk mencapai dan mengubah sudut pandang tersebut kita perlu menciptakan kebiasaan dan pola baru. Kita perlu berbicara dengan orang lain secara berbeda. Kita perlu mengumpulkan informasi dengan cara yang berbeda. Kita juga perlu strategi dan rencana yang berbeda untuk masa depan.
Untuk melakukan hal itu, maka setidaknya ada empat kebiasaan yang dapat menolong untuk berubah dan meningkatkan kemampuan kita dalam menghadapi kompleksitas dunia VUCA yang jauh lebih rumit.
Konon, empat kebiasaan ini mudah dilaksanakan, yaitu:
ADVERTISEMENT
Kemampuan untuk mengatasi dan mengubah cara pandang kita pada dunia VUCA dengan berbagai fenomenanya sangatlah penting dikuasai oleh para pemimpin.
Kemampuan tersebut sangat penting karena keselamatan kita semua sebagai umat manusia sangat bergantung pada kemampuan pemimpin tersebut.
Sumber: New Yorker, CNN, and Euronews.