Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Konten dari Pengguna
Menggapai Mimpi Melanjutkan Studi ke Negeri Sakura (Part 1)
29 Maret 2021 13:24 WIB
·
waktu baca 7 menitDiperbarui 24 Oktober 2021 6:51 WIB
Tulisan dari Sri Surati tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Melanjutkan studi ke luar negeri merupakan cita-cita saya sejak lulus sarjana. Walaupun pada akhirnya saya berhasil mendapatkan beasiswa studi magister di Jepang melalui beasiswa Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP), namun perjalanan pencarian beasiswa ini tidaklah mudah. Delapan tahun mengejar mimpi, pasang surut semangat pun tak dapat dihindari.
ADVERTISEMENT
Perjuangan Pencarian Beasiswa
Sejak lulus sarjana dan diterima bekerja sebagai Aparatur Sipil Negara (ASN) tiga belas tahun lalu, saya telah merencanakan ingin melanjutkan studi ke Luar Negeri.
Untuk dapat melanjutkan studi ke luar negeri, dibutuhkan kemampuan Bahasa Inggris yang memenuhi persyaratan, yang sekali tesnya mampu merogoh kocek lebih dari separuh gaji pokok saya saat itu.
Ketika saya telah berhasil memenuhi persyaratan tersebut, saya belum dapat melanjutkan studi karena antrean yang panjang di instansi saya.
Bekerja pada instansi dengan tugas pelayanan publik menyebabkan terbatasnya kuota untuk melanjutkan studi, hanya 10 persen dari jumlah total staf. Banyaknya senior yang belum melanjutkan studi, membuat saya harus sabar menunggu giliran dan itu wajar. Saya pun akan demikian jika di posisi mereka.
ADVERTISEMENT
Hingga sertifikat bahasa Inggris tersebut kedaluwarsa, saya belum juga melanjutkan studi saya. Sempat mengubur keinginan saya dan mengubah haluan untuk studi di dalam negeri saja hingga ayah saya meminta saya untuk tetap berusaha mengejar mimpi melanjutkan studi ke luar negeri.
Lagi-lagi, jika orang tua yang meminta maka sulit rasanya untuk menolak. Siapa lagi yang akan mewujudkannya kalau bukan saya anak satu-satunya dalam keluarga ini, tentunya dengan rida suami.
Perkembangan zaman membuat semakin banyaknya anak-anak Indonesia yang pintar-pintar dan fasih dalam berbahasa Inggris, membuat persyaratan mendapatkan beasiswa semakin diperketat dengan menaikkan nilai bahasa Inggris yang dipersyaratkan. Itu baru persyaratan dari beasiswanya saja. Belum lagi persyaratan yang harus dipenuhi dari universitas.
Banyaknya anak-anak muda lulusan sarjana yang langsung ingin melanjutkan studi ke jenjang berikutnya, membuat persyaratan umur penerima beasiswa menjadi lebih muda dari sebelum-sebelumnya.
ADVERTISEMENT
Di usia saya saat ini, di mana rasa lelah sudah mulai sering melanda, rasanya ingin menyerah jika harus bersaing dengan mereka.
Setelah menyerah di tahun 2012, saya memulai perjuangan kembali mencari beasiswa pada tahun 2016. Dapat dibayangkan berapa usia saya saat itu? Dapat dipastikan, jika diterima pun, saya mungkin akan menjadi peserta tertua yang melanjutkan jenjang magister.
Normalnya, seusia saya harusnya mendaftar untuk jenjang doktoral. Bahkan kenyataannya, kini usia di bawah 30 tahun pun sudah banyak yang menyelesaikan pendidikan doktoral.
Saya putuskan Jepang menjadi negara tujuan saya seperti yang telah saya cita-citakan dahulu. Perjuangan pencarian beasiswa saya mulai dengan mendaftar beasiswa dari pemerintah Jepang melalui pemerintah. Beasiswa ini mempersyaratkan usia maksimal tiga puluh lima tahun pada saat keberangkatan. Sangat mepet sekali dengan usia saya saat itu.
ADVERTISEMENT
Dapat dipastikan bahwa ini adalah tes terakhir untuk saya karena persyaratan usia. Jika saya gagal dan harus mendaftar lagi tahun depan, maka usia saya telah mencapai batas atas dan dapat dipastikan gagal. Ada tiga tahap tes yang harus dilalui, dan sangat disayangkan langkah saya harus terhenti pada tes ketiga.
Pada akhir tahun 2018, saya mendaftar lagi beasiswa pemerintah Jepang melalui universitas dengan syarat telah mendapatkan supervisor atau sensei di universitas tujuan. Saya berhasil mendapatkan supervisor yang mau membimbing saya kala itu, namun langkah saya harus terhenti karena waktu yang tidak mencukupi untuk memenuhi semua persyaratannya.
Oleh karena itu, saya ucapkan selamat tinggal pada beasiswa pemerintah Jepang di tahun 2019, mengingat persyaratan usia tidak lagi memenuhi. Saya putuskan menyerah saat itu.
ADVERTISEMENT
LPDP merupakan Harapan
Secercah harapan muncul ketika ternyata pemerintah Indonesia memiliki beasiswa dari Kementerian Keuangan yang diperuntukkan baik untuk regular, ASN dan beberapa target khusus lainnya.
Untuk ASN, batas usia maksimal pendaftar adalah 37 tahun, maka saya masih dibolehkan untuk mendaftar. Saya putuskan mendaftar pada pertengahan tahun 2018.
Mendaftar beasiswa yang katanya prestigious ini membuat saya cukup ketar-ketir karena persyaratan lulus yang cukup sulit. Pertama, untuk memperoleh nilai bahasa Inggris yang dipersyaratkan, saya harus mengambil dua kali tes bahasa Inggris yang tidak murah.
Kedua, tes terdiri dari tiga tahap yaitu administrasi, tes berbasis komputer dan wawancara. Tes berbasis komputer terdiri dari Tes Potensi Akademik (TPA) dan menulis esai sesuai tema yang diberikan saat itu.
ADVERTISEMENT
Temanya bisa jadi sangat luas, variatif dan tidak pasti seperti main tebak-tebakan, sehingga ada baiknya banyak membaca berita terkini sebelum menjalani tes. Pada saat itu, esai harus ditulis dalam bahasa Inggris jika memilih studi di luar negeri dan wawancara sebagian juga dilakukan dalam bahasa Inggris.
Ketiga, jumlah pendaftar beasiswa ini bisa sampai puluhan ribu orang, waktu itu sekitar empat puluh ribu orang, namun hanya dua ribu saja jumlah total yang dapat diterima untuk studi keluar negeri. Jumlah tersebut sudah mencakup semua lingkup target dan semua jenjang baik magister maupun doktoral.
Keempat, ketika saya berhasil mendapatkan beasiswa, saya harus berhasil diterima di universitas yang termasuk ke dalam 100 terbaik di dunia. Jika tidak, maka beasiswa gagal diberikan. Tidak pernah terbayang sebelumnya, untuk masuk dan menjalani perkuliahan di Universitas Indonesia (UI) saja yang peringkatnya sekitar tiga ratus di dunia pada saat itu, saya sudah merasa tergopoh-gopoh.
ADVERTISEMENT
Namun, setelah lulus administrasi, lagi-lagi langkah saya tertunda. Pada waktu itu, tes berbasis komputer dimajukan pelaksanaannya karena suatu hal dan pada saat itu saya sedang menjalankan tugas negara di Jepang sehingga saya tidak bisa mengikuti tes tersebut.
Sampai pada akhirnya saya sudah di posisi sangat lelah dan ingin menyerah. Saya sempat berpikir untuk pindah haluan saja untuk studi di dalam negeri. Hingga saya bertemu dengan seorang penyandang disabilitas di ruang komputer yang disediakan di asrama tempat saya tinggal selama di Jepang.
Seorang perempuan dari benua Afrika menggunakan kursi roda berhasil mendapatkan beasiswa magister di Jepang. Dia harus menempuh perjalanan dengan kereta selama kurang lebih 1,5 jam untuk sekali jalan setiap harinya seorang diri, membuat saya malu untuk menyerah.
ADVERTISEMENT
Selemah itukah saya? Hal sepele seperti ini belum apa-apa dibandingkan perjuangan wanita tersebut. Pertemuan saya dengan wanita tersebut mampu membangkitkan semangat saya lagi walaupun sudah tidak menggebu-gebu seperti sebelumnya.
Pencarian Supervisor atau Sensei
Selama menjalankan tugas negara lima minggu di Jepang, saya sempatkan untuk menemui calon supervisor saya di universitas terbaik di Jepang. Beliau menerima saya dengan baik, namun mungkin perjodohan ini tidak bisa diteruskan karena beasiswa hanya bisa menanggung dua tahun perkuliahan sedangkan di universitas tersebut dibutuhkan dua setengah tahun.
Pertemuan saya dengan supervisor dari universitas lain, walaupun beliau bersedia menerima saya, juga tidak memungkinkan karena universitas tempat beliau mengajar tidak termasuk dalam seratus besar dunia.
Mencari supervisor itu juga tidak semudah dibayangkan, apalagi untuk orang seusia saya. Kebanyakan mereka lebih memilih untuk menerima mahasiswa yang berusia lebih muda. Sebagai informasi, mencari supervisor terlebih dahulu adalah kewajiban mutlak yang harus dilakukan jika ingin diterima di suatu universitas di Jepang, itupun belum termasuk beberapa tes tambahan tergantung universitas.
ADVERTISEMENT
Tidak jarang, saya harus menyiapkan banyak proposal yang disesuaikan dengan keahlian masing-masing supervisor yang menjadi target saya. Mungkin dari sepuluh yang dihubungi, hanya dua a tau tiga yang membalas, itu pun belum tentu diterima.
Karena tidak ada pilihan lain dan dibatasi oleh persyaratan usia, maka pada tahun 2019, saya putuskan mendaftar ulang beasiswa Kementerian Keuangan tersebut. Beruntung, pada tahun 2019 beasiswa tersebut dibuka dua kali, tidak seperti biasanya yang hanya satu kali per tahun. Bersyukur di detik-detik terakhir penutupan pendaftaran beasiswa, dua orang Supervisorari dua Universitas ternama di Jepang mau menerima saya.
Ternyata, mendapatkan supervisor lebih dari seorang juga bisa menjadi ujian yaitu sulit untuk memilih supervisor yang terbaik saat saya mencintai kedua bidang yang mereka geluti. Pada akhirnya, saya hanya bisa berdoa dan membiarkan Tuhan membuat keputusan terbaiknya untuk saya.
ADVERTISEMENT
Bersambung