Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.94.1
Konten dari Pengguna
Budaya sebagai Kewajiban: Refleksi atas Tantangan dan Peluang
16 Januari 2025 17:39 WIB
·
waktu baca 3 menitTulisan dari Sahara Jane tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Budaya organisasi adalah sistem nilai, norma, dan keyakinan bersama yang menjadi pedoman perilaku karyawan di dalam organisasi. Menurut Stephen P. Robbins, budaya organisasi yang kuat dapat menciptakan identitas kolektif, memperkuat loyalitas, serta memandu perilaku karyawan dalam mencapai tujuan organisasi. Namun, Robbins juga menekankan bahwa budaya yang terlalu kuat dapat menjadi kendala dalam adaptasi, inovasi, dan keberagaman, terutama ketika nilai-nilai tersebut tidak lagi relevan dengan perubahan lingkungan eksternal. Artikel ini akan membahas bagaimana budaya organisasi, seperti yang dijelaskan Robbins, dapat menjadi pedang bermata dua—sekaligus alat untuk menciptakan kesuksesan atau penghambat untuk berkembang.
ADVERTISEMENT
Pelembagaan: Ketika Tujuan Awal Terabaikan
Pelembagaan terjadi ketika organisasi dihargai bukan karena produk atau jasa yang dihasilkannya, tetapi karena keberadaannya sendiri. Organisasi yang dilembagakan cenderung bertahan meski tujuan awalnya sudah tidak relevan lagi. Fenomena ini dapat membuat organisasi kehilangan arah, fokus, dan inovasi. Sebuah organisasi harus terus mengevaluasi relevansi tujuannya agar tetap adaptif dan berorientasi pada nilai tambah.
Hambatan untuk Berubah
Budaya yang sudah mengakar dapat menjadi penghalang adaptasi. Nilai-nilai yang pernah mendukung stabilitas organisasi bisa menjadi beban dalam menghadapi perubahan. Misalnya, dalam lingkungan bisnis yang dinamis, konsistensi perilaku yang sebelumnya menjadi aset dapat menjadi penghalang bagi fleksibilitas dan inovasi. Oleh karena itu, penting bagi organisasi untuk mengidentifikasi momen ketika budaya perlu disesuaikan dengan tuntutan baru.
ADVERTISEMENT
Hambatan terhadap Keberagaman
Keberagaman adalah kekuatan, tetapi budaya organisasi yang terlalu kaku dapat melemahkan potensi ini. Ketika karyawan baru dengan latar belakang berbeda diharuskan menyesuaikan diri dengan budaya perusahaan, keberagaman dapat terkikis. Lebih parah lagi, budaya yang mendukung bias atau prasangka dapat merusak inisiatif keberagaman dan inklusi. Organisasi perlu menciptakan budaya yang fleksibel, inklusif, dan menghargai perbedaan sebagai sumber inovasi.
Hambatan dalam Akuisisi dan Merger
Faktor budaya kini menjadi perhatian utama dalam keberhasilan akuisisi dan merger. Meski potensi keuntungan finansial menjadi daya tarik utama, ketidakcocokan budaya sering menjadi penyebab gagalnya integrasi. Studi menunjukkan bahwa hingga 70% merger tidak meningkatkan nilai pemegang saham, sebagian besar karena ketidaksesuaian budaya. Oleh karena itu, memahami dan menjembatani perbedaan budaya adalah kunci keberhasilan merger.
ADVERTISEMENT
Menciptakan dan Mempertahankan Budaya
Budaya organisasi tidak terbentuk secara instan dan tidak mudah hilang setelah terbentuk. Para pendiri memainkan peran penting dalam menciptakan budaya melalui tiga cara: memilih karyawan dengan nilai serupa, mensosialisasikan nilai-nilai mereka kepada karyawan, dan memberikan contoh melalui tindakan. Ketika organisasi sukses, nilai-nilai para pendiri akan tertanam dalam budaya organisasi.
Menjaga Budaya Tetap Hidup
Ada tiga elemen utama yang mempertahankan budaya organisasi:
ADVERTISEMENT
Budaya organisasi adalah pedang bermata dua. Di satu sisi, budaya dapat memberikan stabilitas dan panduan; di sisi lain, budaya yang tidak fleksibel dapat menjadi penghambat perubahan, keberagaman, dan inovasi. Dengan memahami tantangan ini, organisasi dapat menciptakan budaya yang adaptif, inklusif, dan relevan dengan tuntutan zaman. (Jane)
Sumber Buku: Aromatica, D., & Sudrajat, A. R. (2021). Teori Organisasi: Konsep, Struktur & Aplikasi. CV. Amerta Media. ISBN: 978-623-6105-19-1.
Sahara Jane, Mahasiswi Manajemen Universitas Nusa Putra