Dekonstruksi atas Wanita Karier di Era Disrupsi

Shubuha Pilar Naredia
Dosen Sosiologi FISIP UNS. Praktisi Mentari Sehat Indonesia Kabupaten Karanganyar.
Konten dari Pengguna
18 Desember 2023 14:09 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Shubuha Pilar Naredia tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi kerja. Foto: Amnaj Khetsamtip/Shutterstock
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi kerja. Foto: Amnaj Khetsamtip/Shutterstock
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Pernikahan dan pilihan menjadi wanita karier merupakan sesuatu yang tidak dapat dipisahkan dalam kehidupan berumah tangga. Pernikahan merupakan impian bagi setiap orang, terlebih bagi sepasang kekasih yang sudah menjalin hubungan cukup lama dan berencana untuk menuju ke jenjang yang lebih serius.
ADVERTISEMENT
Menurut KBBI, pernikahan adalah sebuah ikatan (akad) perkawinan yang dilakukan menurut ketentuan hukum dan agama. Sedangkan menurut Pasal 1 UU 1 tahun 1974, Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Dengan definisi tersebut dapat dikatakan bahwa pernikahan atau perkawinan merupakan suatu ikatan suci yang sah dan legal secara agama antara seorang laki-laki dan perempuan dengan tujuan untuk membangun rumah tangga serta melestarikan keturunan. Dalam UU No 16 tahun 2019 dikatakan bahwa pernikahan hanya diizinkan apabila pria dan wanita sudah mencapai umur 19 tahun.
Hal ini dengan mempertimbangkan apabila pernikahan dilakukan oleh wanita di bawah umur akan menimbulkan berbagai risiko kesehatan karena kondisi alat reproduksi yang belum siap sempurna.
ADVERTISEMENT
Pernikahan merupakan sesuatu yang sakral dan berlangsung seumur hidup hingga maut memisahkan sesuai dengan janji yang diucapkan ketika akad. Sehingga, harus dipikirkan secara matang apabila memang sudah berkeinginan untuk menikah. Calon pengantin harus memiliki visi dan misi yang sama agar rumah tangga yang akan dibangun dapat berdiri kokoh di berbagai kondisi.
Dilansir Antara News, psikolog sekaligus dosen Fakultas Pendidikan Psikologi Universitas Negeri Jakarta, Sri Juwita Kusumawardhani, mengungkapkan bahwa ada banyak aspek yang harus diperhatikan saat memutuskan melanjutkan hubungan ke jenjang pernikahan.
Salah satu aspek tersebut adalah finansial. Calon pengantin sebelum menikah harus memiliki komitmen bersama terkait finansial karena hal ini sangat sensitif sekali dan merupakan faktor utama pemicu konflik dalam berumah tangga. Misalnya saja yang semula calon istri bekerja, suami menghendaki bahwa setelah menikah, sang istri tidak boleh bekerja agar fokus dengan keluarga dan anaknya kelak.
ADVERTISEMENT
Hal ini menunjukkan bahwa calon suami merasa dia mampu memenuhi kebutuhan keluarga apabila hanya dia yang bekerja dan istri di rumah mengurus keluarga. Namun ada pula komitmen antara kedua calon suami istri yang tetap bekerja setelah menikah karena keduanya merasa masih harus meniti karier bersama untuk membangun keluarga.

Kebutuhan Anak Tanggung Jawab Orang Tua

Ilustrasi kedekatan orang tua dan anak. Foto: LightField Studios/Shutterstock
Dunia pernikahan akan selalu memberikan kejutan dan sepasang suami istri harus bersiap akan hal tersebut. Sepasang suami istri yang sama-sama bekerja saja tidak luput dari konflik terkait finansial. Kebutuhan dalam berumah tangga akan terus meningkat seiring berjalannya waktu.
Dimulai ketika seorang istri tengah mengandung, kebutuhan untuk kontrol kehamilan, makanan bergizi, vitamin dan lain lain sebagainya. Terlebih ketika sang anak lahir dan mulai tumbuh besar. Biaya kesehatan dan pendidikan sudah berada di depan mata.
ADVERTISEMENT
Dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014, disebutkan bahwa ada empat hal yang menjadi kewajiban setiap orang tua, yaitu: mengasuh, memelihara, dan melindungi anak; menumbuhkembangan anak sesuai dengan kemampuan, bakat, dan minatnya; mencegah terjadinya pernikahan anak usia dini; memberikan pendidikan karakter dan penanaman nilai budi pekerti pada anak.
Hal tersebut mengacu pada Undang-Undang Dasar 1945 yang menyatakan bahwa setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang, bebas dari kekerasan dan diskriminasi. Anak juga berhak mendapat kesempatan yang seluas-luasnya untuk tumbuh dan berkembang secara optimal.

Ketika Ibu Memilih Menjadi Wanita Karier

Ilustrasi ibu hamil bekerja. Foto: Shutter Stock
Tanggung jawab dalam keluarga seutuhnya ada pada seorang ayah. Seorang suami harus bertanggung jawab untuk memenuhi kebutuhan istri dan anaknya. Namun ketika seorang istri memilih untuk bekerja karena merasa suami belum mampu memenuhi semua kebutuhan rumah tangga, hal ini merupakan sebuah upaya yang harus dihargai oleh seorang suami.
ADVERTISEMENT
Seorang istri memilih untuk keluar dari zona nyamannya menjadi ibu rumah tangga dan keluar rumah untuk bekerja serta jauh dari anaknya karena harus ditinggal seharian merupakan pilihan yang sangat sulit. Namun hal tersebut dipilih agar kondisi perekonomian keluarganya menjadi baik. Banyak seorang ibu yang ketika memilih bekerja, justru memiliki karier yang jauh lebih meningkat dibandingkan suami.
Waktu berkumpul dengan keluarga otomatis akan sangat berkurang, terlebih dengan sang anak. Banyak yang memilih mencari Asisten Rumah Tangga (ART) untuk mengurus rumah dan mengasuh anak. Asisten rumah tangga menggantikan perannya sebagai seorang ibu selama dia bekerja.
Meskipun begitu, seorang wanita karier banyak juga yang tetap berupaya untuk menyeimbangkan perannya sebagai seorang ibu di rumah dan seorang wanita karier. Setiap pagi dia masih melakukan pekerjaan rumah, memastikan anak dan suaminya sarapan, lalu ketika pulang dia memastikan semua pekerjaan ART nya selesai. Bahkan ketika akhir pekan, dia berusaha menjadikannya quality time bersama keluarga kecilnya untuk menggantikan waktunya yang hilang selama bekerja.
ADVERTISEMENT
Pilihan menjadi seorang wanita karier mungkin menjadi hal yang tabu bagi beberapa kelompok masyarakat, terkhusus mereka yang masih menganggap bahwa wanita atau seorang istri hanyalah “konco wingking”. Wanita dianggap sebagai pelengkap suami dalam kehidupan berumah tangga.
Mereka hanya diperbolehkan melakukan kegiatan di dalam rumah seperti memenuhi hasrat suami di kasur, memasak di dapur, mengasuh anak di rumah, dan berbagai aktivitas selayaknya seorang istri sejati. Sehingga pilihan menjadi seorang wanita karier menjadi sesuatu yang ditentang.
Namun seiring berjalannya waktu, di tengah himpitan ekonomi yang memaksa seorang wanita untuk bekerja, menjadi sesuatu yang wajar karena banyak yang melakukan hal tersebut. Jika dihadapkan pada kondisi tersebut, pilihan menjadi wanita karier bukan karena ego, namun karena ingin menyelamatkan harkat dan martabat seorang suami di hadapan keluarga besar.
ADVERTISEMENT