Konten dari Pengguna

Etika Politik Indonesia dan Politik Dinasti

S Stanley Sumampouw
Pengusaha, Founder Kumpulan Maspolin, Pemred Maspolin Media (www.maspolin.id), Pemerhati Kepolisian.
5 November 2023 13:23 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari S Stanley Sumampouw tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi gedung Mahkamah Konstitusi. Foto: Aditia Noviansyah
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi gedung Mahkamah Konstitusi. Foto: Aditia Noviansyah
ADVERTISEMENT
Perkembangan politik di Indonesia akhir-akhir ini sungguh membuat kita terenyak, tercengang dan sungguh "membagongkan"—maaf tidak menemukan kata-kata yang tepat.
ADVERTISEMENT
Pengkhianatan, ketidakloyalan, serta nepotisme sungguh mewarnai perpolitikan Indonesia terkini. Masyarakat menjadi penonton akrobat politik dari para politisi dan partai politik.
Di pinggiran, masyarakat menonton dengan melongo dan terheran-heran dengan tingkah laku para politisi yang tidak segan-segan mempertotonkan pengkhianatan, ketidaksetiaan, dan fitnah.
Saling menjelekkan untuk menjatuhkan, nafsu berkuasa karena politik dinasti, serta segala cara dan hal yang tidak terpikirkan oleh masyarakat biasa. Belum lagi saling bongkar "rahasia" ketika harus berpisah jalan politik: keinginan menjadi presiden tiga periode.
Manuver Jokowi dan keluarganya sungguh mencengangkan dan di luar dugaan siapa pun. Bahkan di luar "nurul" standar orang kebanyakan.
Ilustrasi kunci jadi pemimpin. Foto: Shutterstock
Berbagai pengamat, budayawan, tokoh masyarakat, melampiaskan kekecewaannya dengan emosi tinggi di berbagai platform media. Selain bicara hukum, begitu banyak yang berbicara etika dan peraturan politik. Sehingga kita bingung batasan antara etika dan peraturan.
ADVERTISEMENT
Bahkan banyak yang mengira dan menafsirkan bahwa etika dan peraturan adalah sama. Yang lain lagi mengira bahwa peraturan yang harus dipegang dan mengabaikan etika. Karena percaya bahwa peraturan sesungguhnya lebih tinggi levelnya daripada etika.
Apa sih etika (politik) itu? Etika adalah nilai-nilai tidak tertulis yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat yang pada akhirnya menetapkan standard kepantasan dan moral serta kebenaran dalam diri kita.
Ketika membahas etika dan peraturan dalam politik di Indonesia, kita akan menemukan sejumlah pertimbangan menarik.
Dari segi etika, politik di Indonesia sering kali dihadapkan pada tantangan moral. Terdapat pertanyaan tentang integritas dan kejujuran para pemimpin politik, terutama etika dalam musim kampanye politik, serta pertimbangan moral dalam pengambilan keputusan politik.
Ilustrasi politik identitas. Foto: Shutter Stock
Etika dalam politik melibatkan pertimbangan tentang konsekuensi sosial, keadilan, kepentingan publik, dan tanggung jawab terhadap masyarakat luas atau rakyat.
ADVERTISEMENT
Namun, dalam dunia politik, peraturan juga berperan penting dalam mengatur tindakan para pemimpin dan partai politik. Di Indonesia, terdapat peraturan-peraturan yang mengatur partai politik, pemilihan umum, keuangan politik, dan kampanye politik. Peraturan tersebut ditujukan untuk menjaga kesetaraan, integritas, dan transparansi dalam proses ber-politik.
Namun, seringkali terjadi kenyataan bahwa etika dan peraturan dalam politik tidak selalu sesuai dalam pelaksanaannya. Ada situasi di mana beberapa politisi mungkin mengabaikan etika, melanggar peraturan, atau hanya berfokus pada keuntungan pribadi atau partai mereka. Ini bisa menyebabkan ketidakpercayaan masyarakat terhadap institusi politik (parpol).
Dalam konteks Indonesia, keterbukaan dan partisipasi publik menjadi penting untuk memperbaiki hubungan antara etika dan peraturan dalam politik. Peningkatan transparansi, pengawasan yang kuat, serta partisipasi aktif dari masyarakat dapat membantu mendorong integritas, akuntabilitas, dan etika politik yang lebih baik.
ADVERTISEMENT
Cita-cita perjuangan 1998 yang menentang KKN, terutama nepotisme, jadi semakin jauh jika dikaitkan dengan kejadian keputusan kontroversial Mahkamah Konstitusi kemaren.
Ilustrasi ruangan Mahkamah Konstitusi. Foto: Helmi Afandi/kumparan
Keputusan Mahkamah Konstitusi menimbulkan turbolensi politik besar sejak 1998. Di balik keputusan MK kita mengawasi bertumbuhnya politik dinasti yang penuh nepotisme. Pertanyaannya, apakah Mahkamah Konstitusi sudah menjadi alat penguasa?
Keputusan MK yang menentang rasa keadilan yang pada akhirnya juga mengusik etika orang banyak. Akhirnya terjadi kerancuan pada banyak orang yg mengartikan etika itu dengan peraturan.
Padahal etika itu lebih tinggi kelasnya dari aturan. Kecenderungan kita apa-apa mau diatur dengan peraturan, yang pada akhirnya banyak aturan yang tidak beretika dan tidak berguna.