Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.96.0
Konten dari Pengguna
Menolak Tambang: Sine Qua Non bagi Kampus
5 Februari 2025 17:57 WIB
·
waktu baca 5 menitTulisan dari F R Widjayanto tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Rencana pemerintah memberikan hak pengelolaan tambang pada perguruan tinggi wajib disikapi secara evaluatif dan kritis. Tawaran izin usaha tambang yang datang belakangan ini sebetulnya adalah tindakan yang merendahkan posisi perguruan tinggi sebagai mercusuar utama dalam memberikan contoh mengenai penghargaan atas martabat diri yang terikat dengan sikap integritas.
ADVERTISEMENT
Kampus ditawari untuk mengelola konsesi tambang setelah organisasi kemasyarakatan (ormas) keagamaan telah menerimanya beberapa waktu lalu. Problemnya, ini tidak bisa dilepaskan dalam konteks politik bahwa ormas keagamaan menerima tawaran tersebut sepaket dengan penggadaian sikap kritis dan berkompromi pada segala keputusan pemerintah sekalipun akibat jangka panjangnya fatal. Perguruan tinggi tak ubahnya diperlakukan layaknya entitas yang otonomi, keberpihakan, dan harga dirinya bisa dengan mudah dibeli, bahkan digratiskan.
Tawaran Sisa-sisa
Apa yang lebih miris ialah kampus diberikan tawaran usaha tambang ketika blok-blok tambang yang ada faktanya hanya meninggalkan sisa-sisa cadangan sumber daya alam energi dan mineral yang tidak seberapa dibandingkan dengan kebutuhan masa depan.
Misalnya, cadangan nikel diperkirakan habis dalam 9,5 tahun mendatang. Data dari Indonesia Mining Association (IMA) di tahun 2021 juga menyebut cadangan lain seperti tembaga hanya ersisa hingga 23 tahun. Begitu pun dengan batu bara yang bisa habis tidak bersisa dalam kurun waktu 20 tahun.
ADVERTISEMENT
Laju ini tentu bisa lebih cepat habisnya, terlebih karena marak sekali praktik pertambangan yang tidak sesuai izin serta absennya tanggung jawab bisnis yang menyebabkan munculnya lubang-lubang bekas tambang yang tidak direklamasi secara serius (Hayati, Cornelius dan Wibisana, 2020).
Artinya, yang bersisa ini pun juga dikeruk habis sehingga yang tersisa sesungguhnya hanyalah ilusi bahwa sumber daya energi dan mineral kita masih tersedia dan cukup untuk generasi yang akan datang. Tren yang tidak menyenangkan ini semestinya diikuti dengan langkah progresif, yakni moratorium usaha tambang hingga persoalan-persoalan kritisnya terselesaikan.
Karena bila tidak, yang terjadi justru sebaliknya, sumber daya energi dan minal habis sehabis-habisnya, manfaatnya pun tidak dirasakan masyarakat, serta mematikan daya dukung lingkungan untuk kebutuhan kritis generasi masa depan.
ADVERTISEMENT
Ilusi ini pun tampaknya masih dipercaya sebagian perguruan tinggi. Sebagian kampus begitu bersiap diri, sedangkan yang lain juga terlihat antusias. Masalahnya, ilusi itu sama dengan kekosongan. Kampus digiring untuk percaya pada kekosongan dalam hal mengelola sesuatu hal yang sudah hampir habis tidak bersisa ketimbang justru harus menjaganya. Sudah diberi sisa, mau habis pula. Bukankah dengan menerima begitu saja ilusi kosong sama halnya dengan merendahkan derajat kampus lebih dalam lagi?
Hilangnya Advokasi Kesejahteraan dan Keadilan Sosial
Tidak cukup sampai di situ, selain begitu termanipulasinya dengan iming-iming ilusi yang semu karena menyetujui kelolaan tambang, kampus juga diseret masuk—dengan cara yang sangat tidak terhormat—dalam praktik-praktik bisnis ekstraktif yang meruntuhkan segala prinsip-prinsip nilai publik yang dipegangnya selama ini.
ADVERTISEMENT
Sektor ekstraktif sangat lekat dengan konlik horizontal, tercerabutnya martabat dan Hak Asasi Manusia (HAM) masyarakat lokal (Hope, 2016), serta pemburuan rente (keuntungan pribadi dengan menyalahgunakan kepentingan umum) karena adanya praktik Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN).
Studi yang dilakukan Hickey, Sen, dan Bukenya (2014) masih sangat relevan dalam menjelaskan relasi praktik pertambangan dengan tata kelola pemerintahan yang korup akibat tidak terselenggaranya akuntabilitas dan penegakan hukum yang baik dalam industri ekstraktif, terutama di negara berkembang. Ini bermuara pada penumpukan kekayaan pada elit-elit ekonomi dan politik saja, serta tidak terjadinya distribusi kesejahteraan pada masyarakat umum.
Pada titik ini, kampus kian tidak relevan menjadi pemandu (beacon) serta penampung harapan akan perjuangan yang mengarah pada kesejahteraan umum dan sosial. Kampus pun menjadi gagal memenuhi fungsinya untuk menyalakan harapan masyarakat sipil dengan berkontribusi pada aktivisme-aktivisme Hak Asasi Manusia, kesejahteraan, dan keadilan sosial. Kampus adalah benteng terakhir dari peradaban yang masih bergerak memperjuangkan kesejahteraan dan keadilan sosial.
ADVERTISEMENT
Menjauhi Gerakan Lingkungan Hidup
Jati diri perguruan tinggi terletak pada fungsinya memenuhi tanggung jawab etis, terutama di ranah ilmiah. Dalam perspektif politik sains dan teknologi misalnya, segala peralatan canggih industri yang dipakai di bisnis ekstraktif selalu mengandung risiko dan konsekuensi yang tidak dikegendaki (unintended consequences). Sehingga, faktor manajemen ekonomi dan politik sangat menentukan bagaimana risiko terhadap lingkungan bisa atau tidak untuk dimitigasi. Semua ini memerlukan riset yang konsisten dan berkomitmen pada lingkungan hidup.
Ketika tren penelitian dalam diskursus keilmuan global bergerak tertuju pada kampus sebagai pionir dalam keberlanjutan lingkungan hidup, maka tema-tema riset secara serius difokuskan agar perguruan tinggi mampu menjadi menjadi garda terdepan dalam penelitian energi bersih dan terbarukan—seperti energi yang bersumberkan dari air, angin, panas bumi, dan sebagainya—sebagai langkah memitigasi kerusakan lingkungan dan habisnya sumber daya alam.
ADVERTISEMENT
Perjalanan panjang menuju Energi Baru Terbarukan (EBT) memang memerlukan waktu yang tidak sebentar. Oleh karena itu, selain perguruan tinggi memiliki fungsi penelusuran ilmiah atas dasar keadilan dan bahkan pertobatan ekologis, kampus juga akan secara kontinyu terlibat dalam upaya mengawal transisi pada penggunaan EBT secara lebih luas. Hal ini lantaran keberhasilan penerapan EBT juga ditentukan dari perubahan sosio-kultural masyarakat, tahapan rezim politik dan teknologi—dengan berbagai tahapan. Fase yang panjang dan multidimensional ini memerlukan peranan kampus, utamanya riset-riset di semua aspek dan tahapnya. Bila kampus masih sangat diperlukan di banyak fase tersebut ketika fungsinya sudah hilang, maka kita tidak lagi memiliki harapan pada lingkungan kita.
Live Update