Konten dari Pengguna

Bahagia Itu Hak, Bukan Target Hidup yang Diatur Orang Lain

Stefani Nanda Putri
Mahasiswi Fakultas Psikologi Universitas Negeri Jakarta
4 Juli 2025 10:58 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-circle
more-vertical
Kiriman Pengguna
Bahagia Itu Hak, Bukan Target Hidup yang Diatur Orang Lain
Opini ini membahas bagaimana banyak individu menjalani hidup berdasarkan harapan orang lain,orang tua, pekerjaan, atau standar sosial hingga kehilangan suara dan arah pribadinya.
Stefani Nanda Putri
Tulisan dari Stefani Nanda Putri tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi perempuan bahagia. Foto: Shutterstock
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi perempuan bahagia. Foto: Shutterstock
ADVERTISEMENT
Banyak orang menjalani hidup dengan beban yang tidak mereka sadari, yaitu mengejar kebahagiaan berdasarkan harapan orang lain. Entah itu dari orang tua, lingkungan kerja, pasangan, atau bahkan masyarakat luas. Mereka dibentuk untuk percaya bahwa bahagia hanya datang jika sesuai dengan jalan yang dianggap “benar” oleh sekitar.
ADVERTISEMENT
Padahal, kebahagiaan bukanlah bentuk penghargaan yang diberikan atas keberhasilan memenuhi tuntutan luar. Kebahagiaan adalah hak yang sangat personal dan setiap orang berhak memilih bentuknya sendiri.
Sayangnya, tidak sedikit individu yang tumbuh dalam bayang-bayang ekspektasi luar. Sejak kecil, banyak individu tumbuh dalam arah yang telah ditentukan. Pendidikan dipilihkan, minat diarahkan, masa depan digambarkan sesuai harapan keluarga. Semua itu dilakukan dengan alasan “demi kebaikan”, meskipun kebaikan versi siapa seringkali tidak pernah ditanyakan.
Akibatnya, saat dewasa, banyak yang merasa kehilangan kendali atas hidupnya sendiri. Ada yang bekerja di bidang yang tak ia sukai, menjalani hubungan yang tidak sehat, atau terjebak dalam gaya hidup yang tak mencerminkan nilai pribadinya. Semua dilakukan demi menjaga citra, demi menyenangkan, demi menjadi “anak yang baik” atau “orang yang sukses.”
ADVERTISEMENT
Namun, adakah ruang dalam semua itu untuk bertanya: “apa yang sebenarnya membuat diri ini merasa utuh?”
Kebahagiaan sejati muncul dari rasa memiliki terhadap pilihan yang dijalani. Ketika seseorang dapat berkata, “aku memilih ini karena aku menginginkannya,” bukan karena terpaksa, di situlah kedamaian akan muncul. Mungkin pilihannya sederhana, mungkin juga tidak populer. Tapi jika datang dari kesadaran penuh, maka itu layak dihargai.
Menjalani hidup untuk membuktikan diri kepada orang lain adalah perjalanan yang tak pernah selesai. Selalu ada standar baru, harapan baru, dan kekecewaan baru yang menanti. Dalam upaya untuk memenuhi semua itu, sering kali seseorang lupa mendengarkan dirinya sendiri. Lupa bahwa hidup yang terlalu diarahkan dari luar akan membuat seseorang kehilangan rasa “rumah” dalam dirinya sendiri.
ADVERTISEMENT
Tentu, bukan berarti nasihat dan panduan dari sekitar harus ditolak mentah-mentah. Ada kalanya masukan dibutuhkan untuk melihat dari perspektif lain. Namun, nasihat yang baik bukan paksaan, dan perhatian yang sehat bukan pengendalian. Penting bagi siapa pun untuk bisa membedakan mana saran yang membangun dan mana tekanan yang membelenggu.
Setiap orang memiliki versi kebahagiaannya sendiri. Bagi satu orang, itu mungkin berarti membangun karier besar. Bagi yang lain, mungkin hidup damai di kota kecil, mengurus tanaman, atau bekerja dengan ritme lambat. Tidak ada yang lebih benar atau lebih hebat. Yang penting, pilihan itu datang dari hati, bukan dari tuntutan, rasa takut atau rasa bersalah.
Dalam dunia yang semakin cepat, semakin bising, dan semakin dipenuhi tuntutan untuk “menjadi sesuatu”, suara batin kita justru sering tenggelam. Padahal, suara itu yang paling jujur. Dan hanya dengan mendengarkannya, kita bisa tahu apa yang sebenarnya kita butuhkan.
ADVERTISEMENT
Bahagia bukan pencapaian yang harus dibuktikan. Bahagia adalah proses menerima, merawat, dan menghargai hidup sesuai dengan cara yang paling cocok untuk diri sendiri.
Dan untuk itu, tidak perlu izin siapa pun.