Konten dari Pengguna

Berteduh di Pelepah Sawit: Problematika Multidekade Sumatra Tengah

Stevano Sembiring
Mahasiswa S1 Ilmu Hubungan Internasional Universitas Gadjah Mada
3 Mei 2023 17:56 WIB
·
waktu baca 7 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Stevano Sembiring tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi areal kebun kelapa sawit. Foto: Shutter Stock/nelzajamal
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi areal kebun kelapa sawit. Foto: Shutter Stock/nelzajamal
ADVERTISEMENT
Letak geografis Riau dan Jambi yang berada di wilayah Sumatra Tengah memberi kesempatan eksklusif pengembangan industri kelapa sawit. Kondisi geografis ini dapat dilihat dari lahan gambut potensial pengembangan industri kelapa sawit. Industri kelapa sawit sendiri merupakan salah satu industri unggulan dalam negeri yang menjadi komoditas utama ekspor baik mentah maupun olahan turunan (Kemenperin, 2022).
ADVERTISEMENT
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik Indonesia (2022), Provinsi Riau tetap menjadi wilayah yang paling banyak menghasilkan kelapa sawit di Indonesia, dengan luas area perkebunan kelapa sawit mencapai 2,86 juta hektare atau sekitar 19,55 persen dari total luas perkebunan kelapa sawit di seluruh Indonesia.
Dari luas area tersebut, Provinsi Riau berhasil memproduksi sebanyak 8,96 juta ton CPO. Hal ini menunjukkan bahwa Provinsi Riau masih menjadi kontributor utama dalam industri kelapa sawit di Indonesia. Tidak berbeda jauh dengan tetangganya, Provinsi Jambi memiliki area perkebunan kelapa sawit seluas 1,1 juta hektare.
Jika kedua luas area perkebunan kelapa sawit provinsi tersebut digabung, luasnya masih melebihi luas area perkebunan sawit di beberapa negara Semenanjung Indochina dan Filipina dengan rincian total area perkebunan sawit: Thailand 644.000 hektare, Kamboja 118.000 hektare, Filipina 46.608 hektare, dan Vietnam 650 hektare (Colchester & Chao, 2011).
ADVERTISEMENT

Ladang Masalah Perusahaan Multinasional

Ilustrasi pabrik kelapa sawit. Foto: Shutter Stock/Riki Chan
Dari segi kuantitas ini, dapat dilihat betapa masifnya perindustrian kelapa sawit di Indonesia, khususnya Provinsi Riau dan Jambi. Hal ini juga menjadi ladang basah bagi aktor nasional maupun perusahaan multinasional dalam ekspansi perindustrian kelapa sawit. Perusahaan multinasional biasanya merupakan pihak yang membeli dan mengkonsumsi olahan atau produksi dari perusahaan lokal dalam pasar kelapa sawit dan jarang berinteraksi langsung dengan level domestik. Hal ini membuat perusahaan multinasional seringkali merasa ketidakterikatan tanggung jawab terhadap dampak negatif yang dihasilkan dari industri kelapa sawit.
Dampak negatif dari industri kelapa sawit mengacu pada pengaruh yang terjadi di luar industri kelapa sawit karena aktivitas dan pertumbuhan industri tersebut. Efek ini dapat terjadi dalam berbagai bentuk, seperti peningkatan permintaan tenaga kerja, meningkatnya kebutuhan akan infrastruktur dan layanan pendukung, dan dampak lingkungan dan sosial.
ADVERTISEMENT
Permasalahan multidimensi ini berakumulasi dalam garis waktu multidekade sebagai dampak dari eskalasi industri kelapa sawit. Di Provinsi Riau, dengan total luas karhutla mencapai empat puluh ribu hektare per September 2019, terjadi peningkatan penderita infeksi saluran pernapasan akut (ISPA), pneumonia, iritasi mata, iritasi kulit dan asma hingga angka 281.626 penderita (Saturi, 2019). Berbanding dengan Riau, data dampak karhutla di Jambi per Oktober 2019 menunjukkan cakupan area kebakaran seluas 165.186,58 hektare dengan total 63.000 orang terserang ISPA (Saturi, 2020).
Karhutla Riau. Foto: Shutter Stock/Teguh Prihatna
Karhutla sendiri merupakan kebakaran hutan dan lahan yang merupakan dampak dari ekspansi lahan gambut untuk industri kelapa sawit. Selain berdampak pada kualitas udara yang memburuk, Karhutla juga berdampak pada reduksi luas tutupan hutan. Di Provinsi Jambi, reduksi tutupan lahan terjadi selama tiga dekade terakhir.
ADVERTISEMENT
Dengan total 1,9 juta hektare lebih tutupan hutan yang hilang, kawasan berizin malah menjadi salah satu area terbakar yang paling luas. Usut punya usut, ternyata lima puluh pelaku usaha hak pengusahaan hutan (HPH) menyumbang terbakarnya 24.938 hektare dari total HPH terbakar seluas 40.865 hektare.
Di lain sektor, hutan tanaman industri (HTI) terbakar seluas 21.226 hektare, hutan lindung 15.534 hektare, restorasi ekosistem 14.762 hektare, taman nasional 17.738 hektare, taman hutan raya 13.052 hektare, lahan masyarakat 3.069 hektare, hutan produksi terbatas (HPT) 5.775 hektare dan hutan produksi konversi (HPK) 178 hektare (Saturi, 2020).
Foto buruh harian lepas perempuan di perkebunan kelapa sawit. Foto: Shutter Stock/Izlan Somai
Jika dari sisi lingkungan telah ditumpahkan seduhan permasalahan, maka penting untuk pindah pada cangkir yang berbeda. Permasalahan sosial termasuk eksploitasi buruh dan konflik sosial sering kali terjadi akibat dari industri kelapa sawit. Walaupun kapasitas industri pengolahan sawit mampu mendorong penyerapan tenaga kerja sebanyak 4,20 juta orang dan pekerja tidak langsung hingga 12 juta orang, tetapi hal ini tidak lepas dari isu eksploitasi yang terjadi di dalamnya.
ADVERTISEMENT
Banyak laporan mengindikasikan eksploitasi dengan regulasi yang diabaikan oleh perusahaan lokal dan multinasional di industri kelapa sawit. Buruh perempuan yang merawat tanaman sawit di Jambi contohnya, mereka berstatus buruh harian lepas, tidak dilengkapi perlengkapan keselamatan kerja, dan terpapar zat berbahaya.
Mereka mengalami berbagai keluhan kesehatan, dan jika sakit harus merogoh kocek sendiri (Saturi, 2022). Selain itu, konflik sosial akibat industri sawit juga sering terjadi seperti konflik lahan antara mafia tanah dan petani sawit transmigran yang sudah berlangsung dua belas tahun di Batanghari, Jambi, dan konflik horizontal masyarakat di Kampar, Riau atas sengketa kepengurusan koperasi sawit tahun 2022.

Pengendalian Perusahaan Multinasional

Dalam konteks industri kelapa sawit, perusahaan multinasional seringkali tidak merasa terikat oleh tanggung jawab sosial dan lingkungan di negara-negara tempat mereka melakukan hubungan pasar. Padahal, mereka seharusnya berkontribusi dalam penyelesaian masalah yang kompleks ini dan tidak hanya melimpahkan kepada aktor lokal dan nasional.
ADVERTISEMENT
Mereka lebih memilih mencari untung tanpa terganggu oleh masalah sosial dan lingkungan. Oleh karena itu, diperlukan upaya dari berbagai pihak untuk meningkatkan kesadaran perusahaan multinasional akan tanggung jawab sosial dan lingkungan mereka, serta untuk memastikan bahwa mereka bertindak secara bertanggung jawab dalam operasi mereka.
Pengendalian perusahaan multinasional agar memiliki sense of belonging atas dampak pasar mereka tentu bukan hal yang mudah. Harus ada perundingan yang lama dan kompleks mengenai kebijakan yang disusun agar dapat menemukan titik kesepakatan bersama. Pengendalian perusahaan multinasional mulai mendapat titik terang semenjak Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO) dan Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO) disertifikasi pada tahun 2016 dan menjadi standardisasi industri sawit yang berkelanjutan di Indonesia. Upaya ini dimulai sebagai langkah untuk mengurangi deforestasi, menangani emisi gas rumah kaca akibat perubahan penggunaan lahan, dan mematuhi persyaratan hukum yang berlaku (RSPO, 2016).
ADVERTISEMENT
Fakta menarik dari upaya ini adalah, adanya intervensi organisasi internasional United Nations Development Programme (UNDP) dalam memfasilitasi sistem standardisasi tersebut. Fenomena ini tidak mengherankan karena dalam sistem internasional yang dinamis, organisasi internasional memiliki peran penting dalam membentuk kebijakan nasional negara anggotanya, sebagaimana pandangan Kegley and Raymond (2014) dalam teori liberal.
Saat ini, politik dunia semakin dipengaruhi oleh jaringan transnasional yang melibatkan negara-negara dalam kerangka kompleksitas yang mencakup perusahaan multinasional, organisasi internasional, dan organisasi non-pemerintah. Dari sini UNDP berperan memecahkan masalah industri sawit ini melalui bantuan fasilitas penetapan standar internasional untuk produk dan layanan, serta mempromosikan perdagangan yang sehat.
Ilustrasi proses dealing. Foto: Shutter Stock
Kerja sama antaraktor ini mendorong keberhasilan dari pengendalian perusahaan multinasional. Berbagai penyesuaian standar terlihat diupayakan walaupun terkadang terkesan hanya untuk sekadar memenuhi standar. Salah satu isu yang sedang aktual dalam tindakan perusahaan multinasional terhadap industri kelapa sawit adalah kolaborasi koalisi perusahaan multinasional yang terdiri dari Cargill, Danone, Musim Mas, Neste, PepsiCo, Sinar Mas Agribusiness and Food, Unilever, Daemeter, dan Proforest untuk mendorong upaya produksi kelapa sawit yang berkelanjutan di Provinsi Riau.
ADVERTISEMENT
Perusahaan yang memproduksi dan membeli Minyak Kelapa Sawit dari daerah tersebut semakin mengejar rantai pasok bebas deforestasi yang menghormati hak-hak pekerja dan hak asasi manusia, serta berkontribusi untuk meningkatkan penghidupan petani kecil. Komitmen-komitmen ini sering disebut sebagai NDPE: no deforestation, no peat, dan no exploitation. Perusahaan-perusahaan dengan komitmen NDPE telah mulai bekerja dengan pemasok mereka untuk melacak pasokan mereka hingga ke tingkat pertanian, mengidentifikasi risiko di lapangan, dan mengambil tindakan untuk mengurangi risiko tersebut (Musim Mas, 2019).

Kolaborasi Antaraktor adalah Kunci

Dapat dikatakan bahwa industri kelapa sawit di Provinsi Riau dan Jambi memiliki potensi yang sangat besar. Tetapi ekspansi perkebunan kelapa sawit yang besar telah menghasilkan dampak negatif pada lingkungan dan masyarakat sekitar. Seperti peningkatan kejadian karhutla dan masalah kesehatan yang berhubungan dengan kualitas udara yang buruk.
ADVERTISEMENT
Meskipun industri kelapa sawit menjadi salah satu industri unggulan di Indonesia, perlu dilakukan pengawasan dan regulasi yang ketat untuk memastikan bahwa industri ini beroperasi dengan cara yang berkelanjutan dan bertanggung jawab terhadap dampak yang dihasilkan. Selain itu, perusahaan multinasional yang membeli olahan atau produksi dari perusahaan lokal harus ikut bertanggung jawab dalam mengurangi dampak negatif dari industri kelapa sawit, dan tidak hanya mengejar keuntungan semata.
Namun, pengalaman hingga saat ini menunjukkan bahwa sebagian besar tantangan keberlanjutan tidak dapat diatasi sepenuhnya baik oleh perusahaan lokal, perusahaan multinasional, pemerintah, maupun organisasi internasional secara solo. Oleh karena itu, penting untuk menggagas kolaborasi antaraktor dalam industri kelapa sawit.
Dalam kolaborasi antaraktor, peran dari masing-masing pihak harus dihargai dan diakui. Pihak-pihak yang terlibat harus bekerja sama untuk mencari solusi yang dapat memenuhi kepentingan semua pihak dan meminimalkan dampak negatif. Kolaborasi ini juga dapat menjadi contoh bagi sektor lain untuk mengatasi masalah serupa.
ADVERTISEMENT