Konten dari Pengguna

Tren Migrasi Massal: Tanda hilangnya harapan kepada Tanah Air

Sting Bina Tara
Mahasiswa Prodi Ilmu Politik UINSA
30 September 2024 16:19 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Sting Bina Tara tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi migrasi (sumber:https://pixabay.com/id/photos/siswa-anak-laki-laki-pedesaan-5831655/)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi migrasi (sumber:https://pixabay.com/id/photos/siswa-anak-laki-laki-pedesaan-5831655/)
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Belakangan ini, semakin banyak warga Indonesia menunjukkan minat yang tinggi untuk meninggalkan tanah air dengan mencari kehidupan yang lebih baik di luar negeri. Keinginan ini bukan tanpa alasan, melainkan didorong oleh berbagai faktor sosial, ekonomi, dan politik yang secara signifikan memengaruhi kualitas hidup mereka di Indonesia. Kondisi dalam negeri yang kian hari semakin memburuk—dengan ketimpangan yang mencolok, ketidakadilan hukum, serta kebijakan yang dianggap lebih mengutamakan kepentingan elit dan oligarki—mendorong rasa kecewa yang meluas di kalangan masyarakat.
ADVERTISEMENT
Perasaan frustrasi ini tidak hanya terbatas pada satu lapisan masyarakat, melainkan meluas di berbagai kalangan. Di media sosial, terutama platform X (dahulu dikenal sebagai Twitter), banyak warga yang secara terbuka mengungkapkan kekecewaan mereka. Salah satu contohnya adalah cuitan dari akun @Adysauruss yang menulis, "Ketimpangan, diskriminasi, minoritas ditekan baik halus maupun terang-terangan... sometimes I understand why some people decided to renounce their loyalty." Cuitan ini menjadi representasi dari ketidakpuasan banyak masyarakat yang merasa bahwa sistem di Indonesia tidak lagi mampu menyediakan keadilan, dan kesejahteraan bagi seluruh rakyatnya. Ketidakadilan hukum, ketidakstabilan politik, dan kegagalan kebijakan ekonomi membuat banyak orang merasa bahwa mereka tidak lagi memiliki alasan untuk setia pada negara ini.
Contoh nyata dari fenomena ketidak adilan hukum dan ketidak stabilan politik ini adalah keputusan kontroversial yang terjadi seputar Pemilihan Presiden (Pilpres) beberapa waktu lalu. Mahkamah Konstitusi (MK) mengubah aturan mengenai batas usia syarat pencalonan wakil presiden dengan mengizinkan individu yang berusia di bawah 40 tahun mencalonkan diri sebagai calon wakil presiden. Keputusan ini dipandang oleh banyak kalangan sebagai upaya untuk memfasilitasi kepentingan politik elit tertentu yang terkait dengan dinasti politik. Pergeseran aturan ini memicu reaksi keras dari masyarakat luas, yang menganggap bahwa langkah ini tidak sesuai dengan prinsip keadilan dan demokrasi yang seharusnya dijaga oleh institusi-institusi negara. Banyak yang menilai bahwa keputusan tersebut dibuat bukan untuk kepentingan rakyat, melainkan untuk melindungi kepentingan politik tertentu dan memperkuat cengkeraman elit di dalam pemerintahan. Momen seperti ini menambah kesan bahwa sistem politik di Indonesia lebih melayani segelintir golongan berpengaruh, bukan rakyat kebanyakan. Tentu saja hal ini semakin memperburuk tingkat kepercayaan publik terhadap pemerintah dan memperdalam ketidakpuasan yang sudah ada.
ADVERTISEMENT
Di sisi lain, salah satu contoh nyata dari kegagalan kebijakan pemerintah yang akhir-akhir ini diperbincangkan adalah proyek pemindahan ibu kota, atau dikenal sebagai Mega Proyek Ibu Kota Nusantara (IKN). Kurangnya perencanaan matang dan ketidakpastian politik menyebabkan proyek tersebut gagal menarik minat investor asing. Akibatnya, pemerintah harus mencari alternatif pendanaan lain yang dikhawatirkan akan membebani Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), dan pada akhirnya memberatkan rakyat melalui pajak. Kegagalan ini menjadi simbol dari bagaimana pemerintah sering kali tidak mampu memenuhi harapan dan kebutuhan masyarakat dalam menciptakan lingkungan yang kondusif untuk pembangunan jangka panjang.
Selain masalah ketidak adilan dan kebijakan yang tidak tepat, warga Indonesia juga dihadapkan pada masalah kesejahteraan sosial, yaitu menyangkut situasi ketenagakerjaan di Indonesia saat ini, khususnya mengenai regulasi yang membatasi akses generasi muda ke dunia kerja formal dengan adanya penetapan batas usia perekrutan, sehingga banyak lulusan baru yang terpaksa menganggur atau menerima pekerjaan dengan upah yang rendah. Selain itu, keterampilan dan keahlian yang dimiliki oleh generasi muda sering kali tidak dihargai dengan layak. Hal ini menambah ketidakpuasan di kalangan tenaga kerja muda, yang merasa bahwa mereka tidak mendapatkan kesempatan untuk berkembang secara maksimal.
ADVERTISEMENT
Sedangkan, jika dibandingkan dengan negara maju yang memiliki peluang kerja jauh lebih terbuka, dengan standar gaji dan jaminan sosial yang lebih lebih baik. misalnya, di negara seperti Kanada, upah minimum nasional mencapai CAD 15 per jam, sementara di Amerika Serikat, gaji minimum federal adalah USD 7,25 per jam. Angka-angka ini jauh lebih baik dibandingkan kondisi di Indonesia yang pekerjanya di berikan kompensasi dengan sistem harian atau bahkan bulanan yang seringkali tidak mencukupi kebutuhan dasar masyarakat.
Fenomena keinginan untuk pindah ke luar negeri ini tidak hanya sekadar soal ekonomi, tetapi juga tentang mencari tempat di mana keadilan dan hak-hak asasi lebih dihargai. Negara-negara maju seperti Amerika Serikat, Kanada, Jerman, dan Australia sering kali dipandang sebagai tujuan yang menawarkan kehidupan yang lebih stabil dan makmur. Di negara-negara tersebut, pekerja dihargai dengan upah yang layak, serta diberikan perlindungan sosial yang memadai. Selain itu, akses terhadap pendidikan, hukum, dan layanan kesehatan di negara-negara tersebut jauh lebih baik dibandingkan dengan di Indonesia.
ADVERTISEMENT
Kondisi ini memicu kekhawatiran akan terjadinya brain drain—istilah yang menggambarkan fenomena ketika talenta-talenta terbaik dari Indonesia memilih untuk pergi ke luar negeri dan tidak kembali. Dr. Ari Kuncoro, seorang ekonom dari Universitas Indonesia, menyatakan bahwa Indonesia berisiko kehilangan generasi terbaiknya. Ironisnya, ketika seharusnya pemerintah fokus pada peningkatan kualitas hidup masyarakat, kebijakan yang ada justru sering memperburuk ketidakpuasan. Akibatnya, semakin banyak warga Indonesia yang merasa bahwa satu-satunya solusi adalah mencari peluang di luar negeri. Mereka percaya bahwa dengan berpindah ke negara yang lebih maju, mereka dapat mencapai kehidupan yang lebih baik dan lebih makmur. Sentimen ini terus meningkat, dan jika pemerintah tidak segera meresponsnya dengan kebijakan yang konkret, tren ini dapat menjadi ancaman serius bagi pembangunan nasional di masa depan.
ADVERTISEMENT
Masa depan Indonesia kini berada di persimpangan jalan. Pemerintah harus segera mengambil langkah-langkah bijak untuk mengatasi krisis kepercayaan yang semakin marak ini. Tidak cukup hanya dengan janji-janji kosong atau retorika politik, tetapi diperlukan reformasi yang nyata dalam berbagai sektor. Sistem pemerintahan yang lebih transparan, ekonomi yang lebih inklusif, dan penegakan hukum yang adil adalah beberapa hal yang harus segera diperbaiki. Jika tidak, tren keinginan warga untuk meninggalkan negara ini akan semakin meningkat, dan Indonesia akan kehilangan potensi terbaiknya yang seharusnya bisa membangun negeri ini menjadi lebih baik.
Pada akhirnya, warga Indonesia membutuhkan harapan. Mereka membutuhkan keyakinan bahwa masa depan mereka akan lebih cerah di tanah air mereka sendiri, bahwa mereka bisa bekerja, hidup, dan berkontribusi tanpa merasa diabaikan oleh negara. Jika pemerintah mampu menghadirkan perubahan yang nyata dan memperbaiki berbagai sektor yang saat ini bermasalah, ada harapan bahwa tren ini bisa ditekan dan warga Indonesia akan kembali memiliki kepercayaan kepada negara mereka sendiri.
ADVERTISEMENT