Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.102.2
Konten dari Pengguna
Mencari Jarum di Tumpukan Jerami: Kisah Juru TBC di Papua
9 Februari 2019 12:34 WIB
Diperbarui 21 Maret 2019 0:05 WIB
Tulisan dari Stop TB Partnership Indonesia tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Kisah Juru TBC Mengendalikan Epidemi Tuberkulosis di Papua

ADVERTISEMENT
Puskesmas Jileale dan Mimika
Pagi itu, sama seperti Senin biasanya terjadi penumpukan pasien di ruang tunggu Puskesmas Jileale yang berukuran kurang lebih enam meter kali tiga meter dengan 4 deret kursi panjang. Ada warga yang menunggu antrian di loket, giliran pemeriksaan, serta menunggu obat. Yah, karena puskesmas kami memiliki ruangan dan kursi-kursi yang terbatas sehingga penumpukan seperti ini merupakan hal yang lumrah terjadi. Saya Suliswati, salah satu Juru TBC di Puskesmas Jileale, desa Karang Senang, di kabupaten Mimika.
Kabupaten Mimika sendiri terkenal karena aktivitas pertambangan PT Freeport dan tempat suku Amungme dan suku Kamoro berasal. Sebagai kabupaten dengan migrasi penduduk yang tinggi, pasien kami pun mempunyai etnis yang sangat beragam dari Mimika, Papua, maupun luar Papua. Puskesmas kami berada di dataran rendah dengan jumlah penduduk yang kami layani tercatat 5373 jiwa laki-laki dan 6363 jiwa perempuan dengan mayoritas usia produktif.
ADVERTISEMENT
Ketuk Pintu, Investigasi Kontak dan Pencegahan TB
Saya bekerja sebagai Juru TBC di Puskesmas Jileale. Kegiatan rutin saya adalah melakukan ketuk pintu ke rumah-rumah warga dari satu kampung ke kampung lainnya untuk menemukan kasus TBC. Dalam melakukan skrining kasus TBC kami dibantu oleh tokoh masyarakat setempat, kader, Satgas (satuan tugas) TBC dan tokoh agama yang menanyakan riwayat batuk lebih dari 2 minggu dan memperagakan etika batuk yang benar pada warga. Bantuan tersebut sangat meringankan pekerjaan kami. Kami juga selalu memperhatikan gejala TBC lainnya seperti sakit dada, batuk berdahak, berat badan turun, nafsu makan menurun maupun keringat malam tanpa aktifitas fisik yang berarti, dimana bila ditemukan seseorang dengan gejala TBC tersebut akan langsung kami dorong untuk melakukan pemeriksaan.
Sewaktu melakukan kegiatan ketuk pintu di salah satu kampung, Jimbi, kami bertemu seorang pasien TBC yang selama ini berobat di sebuah RS Swasta. Di sana, ada 2 anak yang mempunyai benjolan sebesar kelereng di leher. Keluarga pasien sama sekali tidak mengetahui bahwa benjolan adalah salah satu dari gejala TBC pada anak. Setelah diperiksakan lebih lanjut dan mendapatkan diagnosis TBC Ekstraparu dari dokter di Puskesmas, akhirnya mereka pun memulai pengobatan. Kegiatan ketuk pintu membantu kami untuk menjangkau pasien TBC yang tidak dapat mengakses Puskesmas karena halangan geografis, finansial dan lainnya.
ADVERTISEMENT
Setiap pasien TBC yang tinggal di wilayah kerja kami meski diobati di Puskesmas, RSUD, atau RS swasta juga kami tindak lanjuti dengan melakukan investigasi kontak pada anggota keluarga lainnya yang tinggal serumah dengan penderita. Sebagai contoh, bila ada balita serumah dengan penderita, meskipun tidak mempunyai gejala TBC, kami akan mengusulkan memulai pengobatan pencegahan Isoniazid (PPINH) selama 6 bulan bila orangtuanya menyetujui.
Sejauh ini belum pernah ada pasien yang yang menolak upaya investigasi kontak. Hal ini tentu tidak terlepas dari pemahaman warga akan pentingnya pola hidup sehat dan meningkatnya kesadaran masyarakat akan bahaya penularan TBC. Untuk 18 pasien, kami telah melakukan skrining pada 80 orang melalui investigasi kontak dan 10 orang diantaranya telah memulai PPINH.
ADVERTISEMENT
Mengobati Pasien TBC Resisten Obat
Di hari Minggu atau saat tanggal merah pun, Juru TBC tetap secara bergantian berusaha melayani pasien, terutama pasien tuberkulosis kategori 2 yang harus melakukan disuntik setiap hari. Meski SDM sudah tercukup dan sudah terakreditasi, sayangnya, fasilitas Puskesmas Jiliale belum dapat memberikan layanan rawat inap tuberkulosis multi-drug resisten/TB-MDR (bakteri TBC berubah menjadi kebal terhadap dua obat lini pertama) untuk penduduknya. Ke depannya, kami berharap Puskesmas Jileale dapat menyediakan tempat berobat yang lebih dekat bagi mereka. Pada kasus dimana ada pasien TB-MDR di wilayah kami yang tidak memiliki kartu keluarga dan kartu jaminan, juga kami bantu fasilitasi dalam pembuatan KK dan kartu jaminan.
ADVERTISEMENT
Tantangan Pasien Mangkir
Pengobatan TBC tentunya bukan tanpa halangan bagi pasien. Faktor pengobatan yang panjang, faktor ekonomi dan lainnya terkadang menjadi alasan utama pasien TBC untuk tidak menyelesaikan pengobatannya. Di wilayah kami sendiri, terdapat 4 pasien yang mangkir. Kondisi pasien putus berobat dapat menyebabkan meningkatnya angka kegagalan pengobatan. Untuk menghindari hal tersebut, kami selalu mengingatkan pasien untuk jadwal pengobatan pasien lewat SMS/telpon. Dengan ini juga kami dapat membangun relasi dengan para pasien saat pengobatan.
Upaya lainnya juga kami kerahkan melalui kunjungan ke rumah para pasien yang mangkir, meskipun pernah membuat kami dikejar anjing peliharaan tetangga pasien. Pendekatan personal ini penting untuk dilakukan untuk menggali alasan mereka tidak melanjutkan pengobatan. Rata-rata para pasien yang mangkir mengatakan mereka enggan mengambil obat karena sudah merasa sembuh dan mampu kembali beraktifitas. Inilah pentingnya upaya edukasi dan dukungan dari keluarga ke pasien terus-menerus.
ADVERTISEMENT
Kebahagiaan Juru TBC
Upaya mengakhiri TBC tidak dapat hanya melalui upaya pengobatan saja, kami yang di lapangan juga melakukan semua yang dibutuhkan supaya diagnosis dan pengobatan berjalan lancar. Menggunakan motor pribadi, kami bergantian mengantar sampel dahak suspek TB-MDR ke RSUD Mimika yang jauhnya 25 km dari Puskesmas kami. Biaya pembelian BBM akan digantikan oleh Puskesmas kemudian. Upaya tersebut tidak ada apa-apanya mengingat ada pasien TB kategori 2, yang walaupun tiap hari disuntik pun ia setiap hari harus pulang pergi ke Puskesmas dengan berjalan kaki sejauh kurang lebih 5 kilometer karena keterbatasan ekonomi. Sesekali kami pun mengantarkan pasien tersebut pulang ke rumahnya.
Bila orang lain dapat menikmati hari libur dengan leluasa, juru TBC seperti kami memiliki beban moral bila pasien belum disuntik. Itulah perjalanan hidup kami selaku Juru TBC di Mimika. Kesembuhan pasien adalah kebahagiaan kami dan kami berusaha sekuat tenaga berkontribusi untuk memutus mata rantai penularan TBC. Semoga dengan dukungan dan kerja sama berbagai pihak, akhirnya Tanah Amungsa dan Bumi Kamoro ini pun bebas dari TBC. Salam Toss TBC!
ADVERTISEMENT
Kontributor :
dr. Ayuni R.B,
Suliswati
, Debrianti Wensi Palalangan, Amd.Keb,
Nichi Lamusa Sandi, Amd.Kep, dan
Verlando, Amd.Kep
***
Artikel ini didukung oleh Stop TB Partnership Indonesia, sebuah wadah kerja sama lintas sektoral dimana berbagai organisasi dan individu bersama-sama sepakat untuk terlibat dalam mengatasi epidemi Tuberkulosis.