Konten dari Pengguna

Espresso: Cup #1 Single Espresso

17 Desember 2018 15:02 WIB
clock
Diperbarui 15 Maret 2019 3:52 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Storial.co tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Espresso: Cup #1 Single Espresso
zoom-in-whitePerbesar
ADVERTISEMENT
“Espresso, single.” Kata si pelanggan. “Gak pake lama ya.”
Tanpa menunggu si barista selesai mencatat pesanan, pelanggan itu langsung mengambil tempat duduk. Si pelanggan mengeluarkan barang-barang dari tas dan meletakkannya di atas meja kecil. Laptop, bloknot, pulpen, dan map bahan mika berisi lembar-lembar kertas. Sejenak dia berkutat dengan handphone, kemudian menelepon seseorang.
ADVERTISEMENT
Di balik bar, si barista kelihatan panik. Espresso, kata si pelanggan tadi? Boro-boro tahu cara bikin espresso. Sejak awal masuk jadi karyawan di kedai ini, si barista bahkan dilarang menyentuh mesin pembuat kopi itu.
Barista yang enggak pernah menyentuh mesin kopi? Percaya enggak percaya, barista itu betulan ada. Aneh? Belum, belum cukup aneh. Barista kita yang satu ini, selain enggak pernah menyentuh mesin kopi, juga enggak suka minum kopi.
Ya, hadirin dan hadirat sekalian, perkenalkan Haliya Lubna, barista yang seumur hidupnya jauh dari kopi. Kalau nama barista kita yang satu ini terdengar ribet, sulit diucapkan, kamu boleh panggil dia Lulu.
Lulu si barista siluman, teman-temannya memberi julukan. Atau Lulu si barista jadi-jadian. Lulu, tukang bikin kopi yang enggak pernah bikin kopi.
ADVERTISEMENT
*
Lulu terngiang-ngiang dengan sebutan teman-temannya soal pekerjaannya sekarang. Barista siluman. Namun, pagi itu Lulu harus bertindak. Rekannya terlambat datang. Cuma Lulu sendiri yang ada di kedai. Seorang pelanggan menunggu pesanannya. Secangkir espresso, single.
“Wait. Maksudnya single gimana ya?” Lulu menggumam saat melihat tulisannya sendiri di nota pesanan. “Kayak gue kali ya, single. Single and happy! Ahay!”
Lulu cekikikan sendiri. Tiba-tiba si pelanggan, cowok yang usianya kira-kira cuma beberapa tahun di atas Lulu, memandangi tingkah Lulu dari bangkunya. Tersadar cowok itu memperhatikannya dengan raut tidak senang, Lulu buru-buru meletakkan nota dan bergegas menghampiri mesin, pura-pura sibuk.
“Espresso… espresso… single…”
Ah yang penting keluar kopi deh, Lulu bergumam.
Meskipun di mesin kecil itu hanya ada beberapa tombol, kepala Lulu betul-betul blank. Enggak tahu harus memencet yang mana untuk mengeluarkan kopi dari benda asing tersebut. Lulu menekan salah satunya. Tiba-tiba air panas mengucur dari bagian mesin yang terpasang semacam pegangan berbahan plastik.
ADVERTISEMENT
Lulu meraih pegangan itu dan menggesernya ke kiri hingga terlepas dari badan mesin. Oh ini harus diisi kopi dulu, Lulu mengangguk. Lulu menoleh ke mesin lain, semacam menara kecil dengan wadah tertutup plastik yang berisi biji kopi. Kali hanya ada dua tombol. Lulu memencet salah satu dan bubuk kopi bertumpahan ke lantai.
“Oh, shit.”
Buru-buru Lulu menyapu bubuk kopi yang tumpah dengan kakinya. Iya, saudara-saudari, pakai kaki. Setelah itu Lulu menjulurkan benda yang dia pegang ke lokasi turunnya bubuk kopi dan memencet sekali lagi. Bubuk kopi itu tertampung baik, agak menumpuk seperti bukit kecil.
Kemudian Lulu memasang kembali benda yang sekarang sudah berisi bubuk kopi itu ke tempat dia melepaskannya dari badan mesin kopi. Berkali-kali Lulu gagal mendapatkan posisi yang tepat. Benda itu tidak mau terpasang. Lulu membungkuk dan mendongak, melihat lubang yang dia tuju. Hati-hati Lulu meletakkan bagian kepala benda itu ke lubang, mendorongnya ke atas, memutarnya ke kanan, hingga akhirnya terpasang cukup erat.
ADVERTISEMENT
Lulu memencet tombol. Mesin mulai berdengung pelan. Beberapa detik kemudian, cairan hitam pekat menetes sedikit-sedikit dari ujung-ujung kepala benda yang barusan Lulu pasang. Buru-buru Lulu mengambil gelas untuk menampungnya.
“Ah, segini aja ternyata.” ucap Lulu angkuh seraya menepuk tangannya seperti orang sedang membersihkan debu. Ternyata bikin kopi enggak sesulit yang Lulu pikir.
*
Dengan perasaan bangga, Lulu beranjak dari bar membawakan secangkir espresso buatannya ke meja si pelanggan. “Wait, tadinya katanya single ya,” sekilas Lulu teringat. “Bodo ah yang penting kopi. Sama aja, kan.”
Sambil tersenyum manis, Lulu menyajikan kreasinya ke cowok yang sekarang menoleh dengan tatapan kesal. Cowok itu memandangi pesanannya sejenak.
“Kan tadi saya bilang gak pake lama, Mbak.” kata cowok itu saat kembali menoleh ke Lulu.
ADVERTISEMENT
“Mas,” kata Lulu, “kopi yang enak tuh butuh persiapan yang mateng, enggak bisa sembarangan, semuanya butuh waktu.”
Lulu melempar senyum manisnya sekali lagi, kemudian meninggalkan cowok itu dan kembali ke balik bar. Diam- diam Lulu memandangi si cowok yang sekarang mengendusi kopi pesanannya. Cowok itu mengernyitkan dahi seakan menemukan sesuatu yang tidak biasa. Lulu membatin betapa beruntungnya cowok itu karena dapat menikmati kopi buatannya.
Pandangan Lulu mengikuti detik demi detik gerakan cowok itu menarik cangkir ke bibirnya. Ketika akhirnya pinggir gelas menyentuh bibir cowok itu, terdengar bunyi sruput yang singkat. Spontan cowok itu memejam dan menarik wajahnya dari cangkir.
“Selamat menikmati espresso by Lulu.” gumam Lulu pelan.
Cowok itu menjulurkan lidah dan melepeh. Namun, karena kopinya sudah terlanjur tertelan, yang keluar hanya udara. Cowok itu mendesis berulang kali seakan berusaha menghilangkan sisa-sisa rasa kopi yang melekat di sekujur permukaan lidahnya.
ADVERTISEMENT
Lulu menegakkan badan ketika cowok itu beranjak menghampirinya. Enggak perlu nasehat pakar mikro ekspresi untuk menilai raut yang terukir di wajah cowok itu. Jelas, yang bersangkutan jauh dari kata happy.
“Mbak ini barista bukan?” kata si cowok seraya meletakkan cangkir di hadapan Lulu. “Ngerti bikin kopi gak, sih?” Lulu menarik napas. “Gimana kopinya Mas?”
“Enggak jelas banget rasanya. Kayak air kobokan.”
Mas doyan minum air kobokan?
“Masa, sih, Mas?” tanya Lulu pura-pura ragu.
“Coba aja Mbak minum sendiri.” Cowok itu mendorong gelas mendekat ke Lulu.
Dengan percaya diri Lulu meneguk kopi buatannya. Benar yang cowok itu bilang, rasa kopinya betulan tak jelas sampai Lulu bingung cara mendeskripsikannya. Namun, bukan Lulu namanya kalau mau mengakui kesalahan begitu saja.
ADVERTISEMENT
Di hadapan si customer, Lulu memasang wajah puas seolah-olah kopinya sangat enak dan telah diseduh dengan sempurna.
“Kopinya fine aja, kok. Mas nih yang enggak ngerti caranya minum espresso.” kata Lulu. “Saya kasih tahu ya Mas, kalau belom pernah minum espresso gak usah sok-sokan mesen espresso. Beli es teh aja.”
Si customer membeliak tak percaya. Gimana mungkin espresso barusan dibilang fine? Jelas-jelas si barista ini sudah menyajikan espresso terburuk yang pernah dia rasakan seumur hidupnya. Jelas-jelas barista yang satu ini, yang sepertinya orang baru ini, sama sekali tidak tahu caranya membuat espresso.
Bahkan si customer ragu apakah barista yang tampangnya lucu tapi sikapnya menjengkelkan ini tahu apa itu espresso.
Perdebatan espresso itu akan memanas jika tidak terpotong oleh kedatangan seorang cowok yang tiba di halaman kedai dengan motor bebeknya.
ADVERTISEMENT
Lulu menoleh. Cowok itu turun dari motornya lalu masuk ke kedai sambil menenteng-nenteng kantung plastik merah. Pandangannya langsung tertuju ke customer yang berdiri di bar dan espresso yang membatasinya dengan Lulu.
Kalau saja cowok itu tidak sedang menenteng barang dia akan mengeplak kepalanya sendiri, karena tahu pagi ini dia harus menyesal sudah membiarkan harinya dimulai dengan sebuah kesalahan besar.
Untuk lanjut baca ke bab ke-2 kamu bisa klik link berikut ini: http://bit.ly/esprekumparan2