Konten dari Pengguna

Espresso: Cup #2 Pelajaran Pertama

17 Desember 2018 15:18 WIB
clock
Diperbarui 15 Maret 2019 3:52 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Storial.co tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Espresso: Cup #2 Pelajaran Pertama
zoom-in-whitePerbesar
ADVERTISEMENT
Celaka. Bisma membatin sembari meletakkan barang-barang belanjaannya di rak inventori di balik bar. Betul-betul celaka.
ADVERTISEMENT
Melirik sekilas kertas pesanan yang tergeletak di meja bar, dengan cekatan Bisma langsung berkutat dengan mesin espresso dan grinder, membuat satu cangkir espresso baru. Ia mengambil timbangan digital, meletakkan cangkir espresso di atasnya, dan memencet tombol di mesin. Cairan berwarna cokelat keemasan mengalir indah ke dasar cangkir.
“Ini complimentary dari kami, Mas.” kata Bisma. “Maaf ya soal yang barusan. Barista kami yang baru masih
training.”
Si pelanggan kembali ke mejanya dan meneguk espresso buatan Bisma. Kali ini ekspresinya tampak puas, seperti menikmati sesuatu yang sudah akrab.
“Siapa yang suruh kamu bikin kopi?” Bisma mendesis ke Lulu. “Nugi mana?”
Ketika tadi pergi ke swalayan untuk membeli gelas kertas, tisu, dan gula saset, Bisma sudah mendapat firasat buruk. Harusnya ia tidak membiarkan bocah itu sendirian di kedai. Tapi Lulu memang enggak seharusnya sendirian di kedai.
ADVERTISEMENT
“Tauk,” Lulu melempar muka. “Tadi katanya pergi bentar cari sarapan.”
Bisma menarik lengan Lulu, membawanya keluar dari meja bar. Ia sendiri kembali ke balik bar, berdiri tegap di samping mesin espresso.
“Inget pelajaran pertama soal area terlarang? Di situ, tempat kamu berdiri, boleh.” Bisma berputar, menghadap mesin. “Di sini, area ini semuanya yang ada di balik bar, gak boleh. Oke?”
Lulu mendengus.
“Aku udah bilang tugasmu catet sama antar pesanan aja. Urusan bikin kopi biar aku sama Nugi.”
“Lho, terus kalo kayak tadi ada customer pesen, gimana? Masa disuruh nunggu?”
“Suruh tunggu.” Bisma menjawab tegas. “Mending nunggu agak lama daripada minum kopi gak enak.”
“Siapa bilang kopi gue gak enak? Mas itu aja yang gak bisa nikmatin espresso by Lulu.”
ADVERTISEMENT
Bisma berdecak. Apa yang sudah ia lakukan di masa lalu sehingga mendapat karma seperti ini? Ketemu cewek cantik sotoy yang suka ngeyel. Kalau bukan karena terpaksa, ia enggak bakal mengizinkan Lulu bekerja di kedai. Lebih baik telat membuka kedai atau malah menutup kedai sementara daripada membiarkan cewek kayak Lulu mengobrak-abrik kopinya.
*
Nugi kembali ke kedai tiga puluh menit kemudian. Beberapa customer baru mulai berdatangan. Melihat ekspresi Bisma yang tampak kacau, Nugi sadar telah terjadi masalah. Enggak perlu waktu lama untuk mengetahui dari mana sumber masalah itu berasal. Nugi melirik ke Lulu, yang baru saja mencatat pesanan dua cangkir cappucino.
Menanggapi Nugi, Lulu hanya mengangkat pundak.
Siang hari ketika keadaan mulai stabil, Bisma meninggalkan kedai lagi. Sekarang Nugi yang sibuk berkutat di depan mesin kopi. Menakar dan menyeduh. Lulu memperhatikan gerak-gerik Nugi.
ADVERTISEMENT
“Eh, Nug, emang espresso bikinnya gimana, sih?” tanya Lulu sembari mendekap nampan di dadanya.
“Mau coba bikin?” Nugi bertanya balik.
Lulu mengangguk cepat.
“Tapi jangan bilang-bilang Bisma aku bolehin kamu nyentuh mesin. Habis nanti aku diomel lagi.”
Lulu memasang isyarat merisleting mulut dengan jari tangan. Melihat Nugi kurang yakin, Lulu menambahkan pose jari membentuk huruf V.
“Suer, Gi.”
Nugi membuang napas berat. Ia tidak yakin apakah keputusannya ini benar. Namun, ia tahu cepat atau lambat perlu mengajari Lulu sedikit tentang membuat kopi, semata-mata demi mencegah bencana seperti tadi pagi ketika tidak ada siapa-siapa di kedai. Nugi memberi isyarat ke Lulu untuk masuk ke bar.
“Hore!” pekik Lulu tertahan. Dengan girang Lulu berdiri di sebelah Nugi.
ADVERTISEMENT
“Ini namanya mesin espresso,” Nugi meletakkan tangannya di badan mesin. “Kita pake ini buat bikin semua minuman yang pake espresso. Istilahnya, espresso-based beverage. Cappucino sama café latte pake espresso juga, tapi ditambah susu, jadi disebutnya milk-based beverage.”
Lulu mengangguk.
“Sekarang aku kasih lihat caranya bikin espresso.”
Nugi mencabut benda bergagang dari mesin yang sebelumnya Lulu pakai untuk menampung bubuk kopi yang menggunung.
“Ini namanya portafilter, tempat naroh bubuk kopi. Nempelnya di group head mesin.” kata Nugi. “Coba, latihan copot-pasang dulu sampe lancar. Kalo bisa jangan nunduk. Enggak perlu dilihat lubangnya. Pake feeling, cari posisi pas.”
Beberapa kali Lulu mencopot pasang portafilter. Mulanya terasa sulit, selalu saja melenceng dari soket group head
ADVERTISEMENT
mesin. Kalaupun terpasang, posisinya enggak pas. Pada kesempatan kelima, ia mulai mendapatkan feeling-nya. Portafilter terpasang dan terlepas dengan baik.
“Terus, ini grinder.” Nugi berpindah ke mesin lain di sebelah mesin espresso. “Yang kayak mangkok plastik gede buat nampung beans, biji kopinya, namanya hopper. Coba taroh di sini portafilter-nya.”
Mengikuti petunjuk Nugi, Lulu memencet tombol yang sebelumnya sudah ia kenal ketika membuat kopi untuk si pelanggan pertama pagi itu.
“Nah, terus ini kan bubuk kopinya numpuk gak beraturan di portafilter. Ratain dulu pakai tangan, terus ditekan pakai ini…,” Nugi menunjuk benda kecil di atas meja kayu di antara mesin espresso dan grinder. Bentuknya persis stempel sehingga Lulu sempat mengira benda tersebut betul-betul dipakai untuk membuat cap. “Namanya tamper, buat memadatkan kopinya, tamping.”
ADVERTISEMENT
“Gini udah?” Lulu menekan tumpukan bubuk kopi dengan tamper sekuat tenaga seakan-akan melampiaskan kekesalannya pada Bisma atau siapapun yang ada di kepalanya saat itu.
Nugi tampak tidak yakin, tapi pelajaran siang ini harus segera selesai sebelum Bisma kembali. “Pasang lagi porta-
nya.”
Setelah Lulu memencet salah satu tombol di mesin, cairan espresso mengucur dari kedua ujung yang mencuat dari penampang portafilter, jatuh ke cangkir yang sudah diletakkan oleh Nugi. “Ujung-ujung porta ini namanya spout,”
jelas Nugi. “Kalau ngalirnya ngocor, kemungkinan tamping kurang keras atau kopinya kurang banyak. Sebaliknya, kalau netes satu-satu, nge-drip, berarti tamping-mu terlalu hard atau kopinya kebanyakan.”
“Emang bedanya apa?” tanya Lulu enteng. “Tetap aja berasa kopi, kan. Gue enggak ngerti kenapa customer tadi pagi harus lebay gara-gara kopi yang gue bikin. Perasaan sama aja deh, sama-sama item, sama-sama dikit.”
ADVERTISEMENT
Nugi memencet tombol di mesin dan menghentikan aliran espresso.
“Aku tahu kamu di sini cuma sementara.” ujar Nugi, nada suaranya mendadak terdengar lebih serius dibanding saat ia menjelaskan tentang proses membuat espresso barusan. “Tapi kebanyakan yang ke sini udah pelanggan lama.
Sedikit aja kopi mereka enggak beres, mereka bakal tahu. Buatku, buat Bisma, haram hukumnya ngecewain customer. Itu kenapa Bisma gak bolehin kamu nyentuh mesin. Kamu juga pasti tahu, Bisma terpaksa biarin kamu kerja di sini.”
Tersenggol oleh kata-kata Nugi barusan, Lulu mencopot apron, lalu meletakkannya ke meja bar.
“Kalau bukan karena terpaksa, gue juga enggak mau buang-buang waktu di sini.” ujar Lulu. “Coffee shop kecil aja sok idealisnya minta ampun. Bokap gue bisa beli dua puluh yang kayak gini.”
ADVERTISEMENT
Usai berkata demikian Lulu beranjak dari kedai. Nugi berdiri terpaku, menggeleng setengah percaya. *
Lanjut baca bab ke-3 dengan klik link berikut ini: http://bit.ly/esprekumparan3