Konten dari Pengguna

Espresso: Cup #3: Hukuman

17 Desember 2018 15:45 WIB
clock
Diperbarui 15 Maret 2019 3:52 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Storial.co tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Espresso: Cup #3: Hukuman
zoom-in-whitePerbesar
ADVERTISEMENT
Es krim. Lulu harus segera mendapatkan dosis harian es krimnya.
ADVERTISEMENT
Meninggalkan jam kerjanya begitu saja di kedai Bisma dengan perasaan kesal, Lulu beranjak ke swalayan yang terletak tidak jauh, hanya lima menit berjalan kaki. Ia langsung menghampiri kulkas es krim dan mengambil satu yang dikemas dalam gelas. Rasa favoritnya: cokelat. Lulu duduk di kursi di luar swalayan, menyuap sesendok demi sesendok.
Beberapa saat kemudian, Lulu mulai merasa lebih tenang. “Masa bodo soal kopi,” Lulu bicara sendiri. “Chocolate ice cream for president!”
Baru saja siang itu terasa membaik, tiba-tiba penampakan sesosok cowok muncul di parkiran swalayan. Wajahnya kusut seperti yang Lulu lihat sehari-hari. Entah mengapa Lulu jarang melihat cowok itu senyum. Selalu kelihatan serius seperti enggak pernah berhenti memikirkan hidup. Kebanyakan minum kopi kali, Lulu membatin. Selama beberapa detik, tatapannya bertabrakan dengan cowok itu, Bisma.
ADVERTISEMENT
“Shift-mu belum selesai.” Bisma melirik jam tangannya. “Masih dua jam lagi.” “Oke.” Lulu menyendok es krim cokelatnya dengan santai. “Terus?”
“Seenaknya cabut dari jam kerja, ninggalin Nugi sendiri ngurusin kedai. Kamu pikir kedai itu punya bapakmu?” Lulu mengangkat pundak, cuek. “Kalau bokap gue mau, bisa aja.”
Bisma menarik napas panjang. Ia tidak ingin terlibat perbincangan dengan cewek ini di luar persoalan kedai. Sejak awal Bisma sudah tahu bahwa Lulu tidak sungguh-sungguh melaksanakan tugasnya karena ia diperintah. Lulu tidak berada di kedai karena keinginan sendiri. Namun, urusan pribadi adalah urusan pribadi adalah urusan pribadi, itu yang Bisma pegang jadi panduan hidup. Tapi kejadian tadi pagi sudah di luar batas. Bisma tidak dapat membiarkan Lulu mengacaukan hubungan kedai dengan para pelanggan setianya.
ADVERTISEMENT
“Sebenernya buat apa kamu magang di kedai?” tanya Bisma, kini duduk di sebelah Lulu. “Aku tahu bapakmu kaya, kamu enggak butuh duit. Daripada buang-buang waktu mending kamu jalan-jalan ke pantai, ke gunung, atau ke gua sekalian. Lagian kamu gak suka kopi. Mana ada barista gak suka kopi. Nugi bisa ngajari kamu pegang mesin, tapi gak ada yang bisa nyuruh kamu suka sama kopi.”
Lulu mengangguk berkali-kali untuk yang terakhir itu.
“Bude bilang kamu cuma lagi liburan di sini,” lanjut Bisma. “Sampai akhir bulan, kan? Masih ada seminggu, mending kamu manfaatin buat jalan-jalan.”
Gue juga penginnya gitu, Lulu membatin. Es krimnya sudah mencair sekarang dan hampir habis. “Kamu denger? Besok gak usah balik ke kedai.”
ADVERTISEMENT
“Kalau segampang itu udah dari awal gue lakuin.” Lulu melempar gelas es krim dan sendoknya ke tong sampah. Cukup jitu untuk jarak hampir dua meter. “Gue enggak magang di kedai lo. Gue dihukum bokap. Oke?”
Bisma terkekeh. Spontan Lulu melirik. Sepanjang tiga minggu mengenalnya, baru sekarang Lulu mendengar cowok itu ketawa. Walaupun hanya tawa yang rendah dan cenderung bernada mengejek.
Bukan kali pertama Lulu mendapat hukuman. Mobil sempat ditahan karena ketahuan membolos dari les
Matematika jelang ujian sekolah. Uang bulanan dipotong drastis karena nilai hampir seluruh mata pelajaran cuma mencapai angka standar. Kali ini hukuman yang paling membuat Lulu dongkol. Hari-hari liburan di Yogyakarta harus dihabiskan bekerja jadi “barista siluman” di kedai kopi kecil yang, menurut opini Lulu, sok idealis. Lulu menceritakan semua ke Bisma kecuali bagian kedai sok idealis.
ADVERTISEMENT
“Terus apa yang bikin kedaiku bernasib malang sampe jadi bahan hukuman buatmu?” tanya Bisma. “Kamu ke sini liburan, jadi pasti bukan soal sekolah.”
“Gara-gara Dean.” “Hem?”
“Dean, cowok gue. Dia nabrak motor pake mobil gue, terus berantem sama yang ditabrak. Baru tiga hari di Jogja udah gak bisa ke mana-mana.” Lulu berdecak. “Yang salah siapa, yang dihukum siapa. Kesel.”
Mendadak Bisma merasa simpati dengan kesialan Lulu. Mereka satu sama. Bisma tidak ingin kedai berantakan dan Lulu sejak awal memang terpaksa berada di sana. Mengingat ia bertanggungjawab atas kedainya sendiri, Bisma merasa dirinya lah yang harus mencari jalan keluar.
“Besok kamu gak usah balik ke kedai.” Bisma menawarkan solusi. “Aku bakal bilang yang bagus-bagus soal kamu ke Om.”
ADVERTISEMENT
“Terus besok pagi gue jalan-jalan ke pantai, ketahuan orang suruhan bokap, dan masa hukuman gue nambah dua bulan lagi sampai penerimaan mahasiswa baru.”
Bisma bergidik membayangkan Lulu masih akan berada di kedainya selama dua bulan ke depan. Ia harus mencari jalan lain. Hukuman Lulu tinggal seminggu lagi. Ia hanya perlu bertahan melihat cewek itu di kedainya seminggu lagi. Namun, mengingat bagaimana kerja Lulu di kedai, dalam seminggu ia bisa kehilangan banyak pelanggan.
“Kamu harus belajar bikin kopi.” ujar Bisma. “Jangan bikin kacau di kedaiku lagi.”
Seketika Lulu membayangkan dirinya kembali mengenakan apron, kali ini enggak hanya mencatat dan mengantar pesanan, tapi berada di balik mesin kopi, jadi barista betulan. Ia akan merekam dirinya sendiri saat membuat espresso lalu mengunggah videonya ke Instagram. Pasti bakal banyak dapat likes, batin Lulu.
ADVERTISEMENT
Gara-gara kelakuan Dean, praktis tiga minggu terakhir Lulu kehabisan bahan mengisi feed Instagram, padahal harusnya liburan di Yogyakarta bikin ia punya banyak foto. Tapi shift pagi sampai sore di kedai Bisma membuatnya tidak bisa ke mana-mana. Sebetulnya yang terburuk bagi Lulu bukan karena ia kehilangan kesempatan jalan-jalan, tapi pertumbuhan followers yang jadi sangat lambat karena ia tak punya bahan menarik untuk di-post.
Saat dihukum magang jadi barista di kedai kopi Bisma, Lulu menghibur diri dengan bayangan akan dapat berfoto- foto pakai apron sedang membuat kopi. Namun, aturan Bisma, “pelajaran pertama” yang ia peroleh di hari pertama magang memupuskan asa Lulu. Ia hanya jadi pramusaji, bukan barista. Ia mengenakan apron yang sama dengan Bisma dan Nugi, tapi ia sama sekali enggak bikin kopi, bahkan dilarang menyentuh apapun yang ada di bar.
ADVERTISEMENT
Beberapa hari pertama magang Lulu mengunggah foto-fotonya di kedai. Caption: Yuhuu Jogja please be nice! Spending my holiday as a professional barista!
Seorang teman yang enggak dekat-dekat banget, yang Lulu kenal dari sebuah acara gathering para buzzer di Jakarta, memberi like disertai sebuah komentar singkat nan nyelekit, “Lau professional barista lulusan mana, Lu? Gue liatin kemaren gak ada bikin kopi, cuma nganter-nganter pesenan. Barista siluman kali?”
Lulu menghapus komentar orang itu dan memblok akunnya. Kurang puas, ia juga menghapus foto tersebut, tidak tahan membaca komentar-komentar berikutnya yang hanya berisi emotikon ketawa. Segera Lulu mengganti dengan foto selfie di bawah tulisan Adisutjipto Airport yang ia ambil seminggu sebelumnya. Caption: Yuhuu Jogja please be nice!
ADVERTISEMENT
Hukuman di dunia nyata masih dapat Lulu tangani. Dibikin malu di dunia maya itu persoalan lain.