Konten dari Pengguna

Espresso : Cup #4 Kalibrasi

17 Desember 2018 15:56 WIB
clock
Diperbarui 15 Maret 2019 3:52 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Storial.co tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Espresso : Cup #4 Kalibrasi
zoom-in-whitePerbesar
ADVERTISEMENT
Keesokan paginya Lulu masuk kedai dengan senyum lebar.
Setelah kemarin diprotes pelanggan, bayangan berpose di sebelah mesin espresso sebagai barista profesional bikin mood Lulu membaik. Sebentar lagi feed Instagram-nya akan terisi foto-foto kece. Teman buzzer yang enggak dekat- dekat amat itu akan melihat bahwa ia bukan barista siluman.
ADVERTISEMENT
Pukul delapan pagi kurang sepuluh menit, berdiri di luar kedai yang masih tertutup, Lulu dapat mendengar langkah-langkah kaki dari balik rolling door. Suara yang sudah terasa akrab di telinga Lulu dalam tiga minggu terakhir. Tak lama kemudian, rolling door terangkat, seorang cowok muncul di hadapan Lulu. Ekspresinya seperti biasa, serius.
Atau seperti pendapat Lulu, sok serius. “Betewe, Bis…”
“Bas, bis, bas, bis. Nama itu doa, jangan dipotong seenakmu. Ibuku enggak ngedoain anaknya buat jadi transportasi umum.”
“Ya, Bisma. Bawel ah.” Lulu melangkah masuk ke kedai, langsung menuju area bar. Sudut kecil yang dibatasi meja kayu tempat mesin kopi, penggiling, dan perkakas seduh lain diletakkan. “Kenapa nama kedai lo Kuasa Kopi? Gak ada nama yang lebih serius?”
ADVERTISEMENT
Bisma tidak menanggapi sindiran terselubung dalam pertanyaan Lulu. Ia sendiri tidak betul-betul menyukai nama tersebut. Kuasa Kopi.
“Lebih bagus daripada Lulu Kopi,” jawab Bisma seadanya, tapi sedetik kemudian terbersit niat iseng menyindir balik cewek itu. “Apalagi Espresso by Lulu.”
Lulu mendengus. “Mau ngajarin gue bikin kopi apa mau perang sindir-sindiran?” Melangkah ke bar, Bisma menyalakan mesin.
“Kamu belajar kalibrasi dulu.” “Kali apaan?”
“Kalibrasi.” ujar Bisma. “Kopi tuh enggak selamanya dalam kondisi bagus. Makin lama disimpan makin berkurang aromanya, rasanya. Supaya rasa kopi konsisten, kita perlu kalibrasi. Dose, yield, time. Semua diatur ulang.”
“Bisa pake bahasa Indonesia yang baik dan benar aja gak?” keluh Lulu. “Masih pagi kepala gue udah pusing dengerin kuliah umum.”
ADVERTISEMENT
Bisma berdeham. “Kopi yang enak enggak nongol begitu aja. Seperti kubilang barusan, kualitas kopi menurun dari hari ke hari. Gimana caranya bikin kopi yang enaknya bisa terus kayak gitu, konsisten, sementara kualitas bahan bakunya setiap hari berkurang? Ya, atur ulang resepnya.”
“Bikin kopi pake resep?” Lulu mengangkat alis.
“Kamu pikir kopi enak turun dari langit? Lha iya, pake resep. Sama kayak bikin kue, ada takarannya.” Bisma mulai menjelaskan. “Dose itu dosis bubuk kopinya. Kadang kita nyebutnya gramasi. Ada rasio, perbandingan bubuk kopi sama air yang dipakai buat nyeduh. Misal kamu pengin bikin espresso nih. Kamu merhatiin gak, sih?”
“Iya, iya!”
“Kamu pengin bikin espresso. Pakai delapan belas gram rasio satu banding dua. Jadi yield-nya berapa?” “Wait, wait. Yield itu adalah?”
ADVERTISEMENT
“Yield itu kopi yang keluar dari sini.” Bisma menunjuk portafilter di mesin. “Cairan kopi hasil seduhannya.”
“Delapan belas gram kali dua. Tiga puluh enam gram?” Dahi Lulu mengernyit. “Dari kemaren pengin nanya, kenapa espresso dikit banget sih? Heran gue sama orang-orang pencinta kopi ini. Apa puas minum seuprit doang gitu?”
“Namanya aja espresso, artinya to express. Kopi diseduh pakai sedikit air panas dengan tekanan tinggi. Asalnya espresso dari Italia. Dulu abad kesembilanbelas kopi populer banget di Eropa. Karena yang minum kopi banyak banget, barista-barista Italia nyari cara gimana nyeduh kopi yang cepet buat customer, ketemulah metode espresso.” jelas Bisma.
“Makin ribet aja. Jadi espresso itu metode atau minuman?”
“Ya dua-duanya. Metodenya disebut espresso, minumannya juga disebut espresso.” “Terus kenapa sedikit banget?”
ADVERTISEMENT
“Ya kalau banyak namanya kopi tubruk.” Bisma mencopot portafilter dan menyerahkannya ke Lulu. “Nah coba bikin sekalian kalibrasi.”
Mengingat-ingat pelajaran singkat yang diberikan Nugi kemarin, Lulu setel yakin membuat secangkir espresso. Bisma mengamati. Ekspresinya datar, tapi jelas-jelas dia melihat segala hal yang tidak beres dari cara Lulu.
Bisma meraih cangkir espresso yang telah terisi, memberikannya ke Lulu. “Minum,” ujar Bisma.
“Enggak mau, pait!”
“Mana bisa bikin espresso yang bener kalau enggak bisa minumnya.” Bisma mendekatkan cangkir ke Lulu. “Minum.”
Seraya meneguk espresso buatan sendiri, Lulu memejam dan memencet hidungnya. Bisma menepis tangan Lulu yang memencet hidung.
“Itu kopi bukan obat, minumnya biasa aja.” Lulu mendengus, kemudian meneguknya.
“Huwek… Pahit!” Lulu buru-buru meletakkan cangkir. “Perasaan dari kemarin bikin rasanya begini mulu.” “Itu karena espresso-mu gak beres.”
ADVERTISEMENT
“Kayaknya kopi di mana-mana pait deh. Kenapa jadi gue yang disalahin.” Tak merespons Lulu, Bisma melepas portafilter dari mesin.
“Ini dilap dulu sampai bersih biar gak ada bekas kopinya. Lihat nih yang ditempel Nugi di hopper, ini resep hasil kalibrasi kemarin.” Bisma menunjuk sepotong kertas yang melekat di mesin penggiling kopi, grinder.
“D maksudnya dose, dosis. T artinya time. Y itu yield. Paling bawah ini, Tamping, seberapa keras kamu nekan bubuk kopi di porta. Tiap mau kalibrasi ikutin dulu resep terakhir.”
Refleks, Lulu mengangguk.
“Kamu tadi bikin espresso sesuka-sukamu aja. Ini ada timbangan, scale, dipake,” lanjut Bisma. “Porta abis dicopot, ditimbang dulu, terus pencet ini biar jadi nol. Baru masukin kopinya, terus timbang lagi, cek udah sesuai belum sama dosis yang kamu mau.”
ADVERTISEMENT
Dalam gerak yang sangat teratur, Bisma berkutat dengan portafilter, tamper, dan mesin espresso. Sudah lebih dari tiga minggu Lulu berada di kedai, tapi baru kali ini ia betul-betul memperhatikan cowok sok serius itu membuat
kopi. Kalau Lulu mau jujur pada penilaiannya sendiri, ada sesuatu yang menarik dari Bisma yang anehnya hanya kelihatan ketika ia membuat kopi.
“Nih,” Bisma menyodorkan espresso buatannya ke Lulu. “Cobain.”
Seraya memejam, ragu-ragu Lulu menyeruput sedikit, bersiap mengalami lagi bencana kecil yang hanya bisa diberikan secangkir espresso: rasa pahit tak berujung. Namun, ketika cairan pekat itu menyentuh bagian dalam bibirnya, kemudian meluncur ke permukaan lidahnya, Lulu spontan membuka mata.
“Kok…” “Gimana?” “Kok beda?” “Beda gimana?”
“Kayak enggak pahit.”
ADVERTISEMENT
“Kamu ini ya biasanya bawel, tapi disuruh jelasin gimana rasa espresso bisanya cuma ‘kayak enggak pahit’. Kayak enggak pahit maksudnya gimana? Coba belajar jelasin. Yang penting dari kalibrasi itu…”
Ucapan Bisma terpotong melihat raut wajah Lulu yang mendadak berubah. Sesaat lalu cewek itu masih mengernyit, tampak pusing mendengar penjelasan dan arahan Bisma, setengah jengkel dan setengah bosan. Sekarang dahinya mengendur, alisnya turun, dan matanya berkaca-kaca.
“Eh, lah, disuruh jelasin kopi malah nangis?” Bisma menahan panik. Ia tidak pernah melihat cewek berurai airmata di depannya, secara live. “Ya udah lanjut nanti aja. Kamu bersih-bersih halaman dulu sana.”
Alih-alih beranjak dari bar, Lulu merenggut lengan kaus Bisma. “Kok… rasanya bisa gini?”
“Ya memang gitu kalau kamu bikinnya bener.” Bisma masih setengah panik, melepaskan tangan Lulu dari kausnya. “Sana bersih-bersih halaman. Kalibrasinya besok lagi aja.”
ADVERTISEMENT
Bisma balik badan, tapi Lulu kembali menarik ujung kausnya dan membuatnya menoleh. “Apa? Kubilang kalibrasinya lanjut nanti.”
“Ajarin gue...” Lulu berkata di antara isaknya. “Bikin yang persis kayak gini.”
Lanjut baca cerita selanjutnya ke link berikut ini: http://bit.ly/esprekumparan5