Konten dari Pengguna

Espresso: Cup #5 Petir

17 Desember 2018 16:12 WIB
clock
Diperbarui 15 Maret 2019 3:52 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Storial.co tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Kalau ada orang yang paling Lulu kangenin dalam hidupnya yang serba tidak teratur, itu adalah Momoy, ibunya. Nama sebenarnya Marini, tetapi Lulu lebih senang memanggilnya Momoy. Momoy meninggal di usia 40 tahun ketika Lulu baru masuk SMA. Dokter dapat berusaha sekeras mungkin, tapi bahkan Tuhan Yang Maha Kuasa tidak sanggup melenyapkan sel kanker yang menyebar ganas di mulut rahim Momoy. Atau, seperti yang Lulu pikirkan, Tuhan tidak mau melenyapkannya.
ADVERTISEMENT
Kepergian Momoy mengawali semua perubahan yang terjadi hingga hari ini dalam hidup Lulu. Popoy, panggilan sayang Lulu ke ayahnya, yang dahulu tak pernah beristirahat memanjakan Lulu dengan banyak hal, kini berganti sosok laki-laki yang memperlakukan rumah tidak lebih dari sekadar kamar hotel: hanya ditempati untuk menumpang tidur. Kehilangan seluruh perhatian yang pernah ia dapatkan dari Popoy, seperti remaja lain yang mengalami hal serupa, Lulu mencarinya di tempat lain, dari orang lain.
Dean, pacar Lulu, sayangnya bukan sumber pengaruh baik. Cowok itu hanya memanfaatkan keuntungan finansial yang ia peroleh dengan mudah dari Lulu. Teman-teman Dean dan cewek-cewek yang ia dekati melihatnya sebagai cowok keren berduit. Hampir semuanya luput mengamati bahwa handphone, mobil, baju, sampai ongkos minum- minum Dean datang dari tabungan Lulu. Lulu enggak ambil pusing soal ini, selama Dean ada untuknya.
ADVERTISEMENT
Tentang cewek-cewek lain yang Dean dekati bermodalkan duit yang ia peroleh dari Lulu, tentu di luar pengetahuan Lulu, tapi tidak untuk selamanya.
Tetapi ada yang terjadi untuk selama-lamanya, dan bukan hal yang Lulu inginkan dalam di hidupnya.
Ketika Popoy berganti dari ayah yang hangat menjadi laki-laki yang dingin dan keras sepeninggal istrinya, Lulu berharap ia memiliki ayah lain. Segala aturan dan hukuman yang Popoy timpakan kepada Lulu membuatnya jadi gemar memberontak. Lulu tidak lagi menganggap serius masa depan. Ia akan lakukan apa yang ia mau meski ayahnya berkali-kali bilang ia harus melakukan sesuatu yang lebih penting dari sekadar hura-hura bersama teman- teman.
Suatu malam saat Popoy membentak Lulu dan menyuruh ia memutuskan hubungannya dengan Dean, Lulu membanting pintu kamar dan meneriakkan kata-kata yang kelak akan ia sesali dalam waktu lama, jika tidak seumur hidupnya: “Aku enggak punya mama! Aku enggak punya papa! Pergi aja semuanya, pergi! Aku enggak mau punya papa lagi!”
ADVERTISEMENT
Bertahun-tahun kemudian Lulu memikirkan betapa ia bingung dengan pendapatnya sendiri mengenai Tuhan. Tuhan tidak mengabulkan permintaan Lulu ketika ia tanpa henti meminta-Nya menyembuhkan Momoy, tetapi tidak menunggu lebih lama lagi untuk mewujudkan doa Lulu yang tak sungguh-sungguh ia ucapkan ketika ia berharap tidak ingin lagi punya ayah.
Tuhan mengabulkan kata-kata Lulu hanya beberapa bulan semenjak pertengkaran hebat mereka di rumah jelang libur kelulusan sekolah. Keinginan Lulu yang tak sungguh-sungguh dan bahkan telah ia lupakan itu terwujud dalam bentuk kehadiran seorang perempuan paruh baya di hadapannya.
Lulu sedang menyalakan mesin espresso ketika Bude Sur, bibi Bisma, orang yang dipercayai Popoy menangani Lulu selama menjalani hukumannya di Yogyakarta, membawa kabar buruk itu.
ADVERTISEMENT
“Nduk.”
Seterusnya adalah kelebat petir di pagi hari.
*
Petir yang datang di pagi hari itu keluar dari perumpamaan, mewujud menjadi kenyataan ketika Lulu berada di kabin pesawat, terbang menembus kumpulan awan melintasi langit kelabu menuju Jakarta.
Dari tempat duduknya di samping jendela, Lulu dapat melihat wajah Popoy samar-samar tercetak melalui tetes hujan yang bersikeras merekat di kaca, menolak disapu angin kencang di ketinggian puluhan ribu kaki. Popoy tersenyum kepadanya, menemaninya sepanjang perjalanan. Kumis tebal Popoy yang sering bikin ia disalahpahami teman-teman Lulu sebagai orang yang mengerikan dan suka marah-marah tidak dapat menyembunyikan bibirnya yang tersenyum. Lulu tahu Popoy sedang tersenyum.
Terlepas dari wajahnya yang memang terlihat garang, Popoy tidak pernah marah ke Lulu. Hanya satu kali dan itu membuat Lulu menumpahkan kata-kata yang akan terus ia sesali. Terus memandangi wajah Popoy di antara hujan yang membekas di kaca jendela pesawat, Lulu tidak lagi dapat menahan diri. Airmatanya mengalir, meski ia tidak terisak. Sepanjang perjalanan, Lulu menangis di dalam diam.
ADVERTISEMENT
*
Sejak mendengar kabar dari Bude Mur, Lulu tidak dapat memikirkan apapun. Isi kepalanya kosong. Blank. Seperti robot, Lulu membeli tiket penerbangan dengan jam terdekat ke Jakarta. Bisma membantu mengemasi barang dan mengantarkannya ke bandara. Lulu tidak menangis hingga melihat Popoy tersenyum di langit.
Setibanya di Jakarta semua telah diurus rekan kantor Popoy. Masih dengan kepala yang kosong, Lulu mengikuti apapun yang harus ia lakukan hingga tiba waktu pemakaman. Seluruh proses berlangsung begitu saja di dalam benak Lulu. Ketika Lulu tersadar kembali, ia telah berada di kamarnya, di rumah yang megah dan kosong. Istana yang bukan apa-apa selain ruang besar dipenuhi kesepian.
Lulu menelepon Dean berkali-kali, tapi cowok itu enggak bisa dihubungi. Akhirnya ia menghubungi Bisma. Baru saja telepon terhubung, Bisma sudah mengangkatnya.
ADVERTISEMENT
“Sebenernya dari tadi aku mau telepon kamu tapi kupikir mungkin kamu lagi kerepotan di sana ngurusin ini- itunya.” ujar Bisma. “Gimana… udah selesai semua? Kamu lagi di mana sekarang?”
“Espresso kamu kemarin...” Lulu tiba-tiba terisak. “Makasih ya.”
Dipenuhi pikiran tentang situasi Lulu, Bisma enggak menyadari Lulu mengubah caranya memanggil cowok itu. Untuk Lulu, Bisma melanggar kebiasaannya sendiri yang tidak pernah bertanya hal-hal remeh-temeh ke cewek seperti apakah yang bersangkutan sudah makan atau belum. Lulu tidak menjawab pertanyaannya. Bisma yakin cewek itu belum menelan apapun sejak pagi di Yogyakarta. Berkali-kali Bisma menyuruhnya untuk memakan sesuatu, tapi ucapan Bisma hanya disambut isak tangis.
Hingga malam larut, Lulu hanya mendengar suara Bisma. Bisma tahu ia harus mengucapkan sesuatu dan tak ada yang bisa ia bicarakan tentang keluarga Lulu, apalagi yang barusan cewek itu alami. Jadi Bisma bercerita tingkah customer Kuasa Kopi hari itu, bagaimana Nugi menumpahkan café latte, dan Bude Sur yang setiap satu jam sekali menyuruhnya menelepon Lulu. Apapun demi mengisi keheningan di antara mereka. Apapun agar Lulu enggak merasa dirinya sendirian.
ADVERTISEMENT
Sebab Bisma tahu bagaimana rasanya melewati tengah malam setelah ditinggal selama-lamanya oleh seseorang yang telah menjadi bagian hidupmu sejak lahir. Lulu belum mengetahuinya saat itu, tetapi bertahun-tahun jauh sebelum Bisma tak bisa melepaskan kopi dalam hidupnya, ia dipaksa melepaskan seseorang yang memberinya hidup.
Bisma pun tidak lagi memiliki apa yang baru saja hilang dari Lulu. Seorang ayah.
“Bude bilang, kalau kamu mau besok balik ke Jogja lagi aja.” kata Bisma. “Daripada sendirian di sana.” “Terus bikin rusuh lagi di Kuasa Kopi?” Lulu mengusap airmatanya. “Emang kamu mau?”
“Yah, kalau kerjamu gak beres tinggal potong gaji. Gampang.”
Lulu tertawa lemah. Setelah diam beberapa saat, ia menarik napas panjang, lalu mengembuskannya dengan berat.
ADVERTISEMENT
“Aku gak punya siapa-siapa lagi, Bisma.”
“Kamu punya aku. Maksudku…” Bisma buru-buru mengoreksi. “…di sini ada Bude Sur, Nugi.” Lulu tersenyum. “Makasih lagi ya.”
Malam telah kian larut. Pagi belum akan menjemput. Lulu mendengar cerita-cerita Bisma yang lain tentang orang- orang di Yogyakarta, mimpi-mimpi masa kecil, dan kopi. Untuk sesaat duka mendalam seakan bersembunyi, memberi izin bagi kehangatan yang sederhana, yang datang dari jauh, dari kota yang akan menjadi tempat pulang kedua.
Lanjut baca cerita selanjutnya ke link berikut ini: bit.ly/esprekumparan6