Konten dari Pengguna

Espresso: Cup #6 Cappuccino

17 Desember 2018 16:25 WIB
clock
Diperbarui 15 Maret 2019 3:52 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Storial.co tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Yogyakarta.
Momoy menyebut Yogyakarta sebagai Kota Cinta, karena di sana lah ia bertemu untuk kali pertama dengan Popoy. Mereka melewati masa jelang dewasanya di kota itu, menjadi mahasiswa dan mencoba peruntungan hidup. Momoy berkuliah di universitas negeri sedangkan Popoy di kampus swasta. Pada suatu malam hari yang sejuk di sebuah kedai kopi, Momoy sedang pusing berkutat dengan tugas-tugas kuliah ketika Popoy, sembari menyesap secangkir cappuccino panas, mencuri-curi pandang ke arahnya.
ADVERTISEMENT
Malam itu, setelah memperhatikan Momoy hampir empat jam di kedai kopi, Popoy nekat meletakkan secarik kertas berisi nomor handphone di atas meja Momoy. Mereka bahkan tidak sempat bertukar pandang. Popoy ngeloyor begitu saja dan Momoy dibiarkan terbengong-bengong dengan secarik kertas di tangan. Pulang ke kosan, terdorong rasa penasaran dan hasutan teman-teman kelompok yang menyaksikan momen aneh tapi nyata itu, Momoy menelepon nomor di kertas tersebut.
Popoy cowok yang lebih banyak mengamati ketimbang berbicara. Sebaliknya, Momoy sulit diam. Setelah terkonfirmasi bahwa nomor yang Momoy hubungi adalah cowok misterius di kedai kopi itu, ia berkata bahwa Popoy orang aneh, yang disambut dengan suara tawa rendah Popoy tanpa respons lanjutan.
Setelahnya Momoy bercerita begitu saja soal macam-macam hal. Tugas-tugas kuliah yang tak kunjung usai, dosen yang menyebalkan, dan di samping semuanya, tentang Yogyakarta yang membuatnya betah.
ADVERTISEMENT
Bagian tentang Yogyakarta disambut oleh Popoy, yang menceritakan bagiannya. Jika Momoy senang dengan Yogyakarta karena orang-orangnya, Popoy menyukai Yogyakarta karena situasi kotanya. Tak lama setelah itu, mereka akan mengabadikan Yogyakarta lewat cinta yang mereka jalin bersama.
*
Senja sedang surut di langit Yogyakarta, ketika pesawat yang Lulu tumpangi mendarat di landasan bandar udara Adisutjipto. Tadinya ia berniat mengambil penerbangan pertama seperti saran Bisma, tapi usai berbicara di telepon sampai subuh, Lulu tertidur hingga siang hari. Bisma sudah menanti di luar pintu kedatangan. Bersandar santai di dinding lorong bandara sambil tak lepas memperhatikan satu demi satu penumpang yang keluar.
Spontan, senyum terbersit di bibir Bisma ketika melihat orang yang dinantinya menyeruak dari kerumunan penumpang. Ia melambai ke arah cewek itu.
ADVERTISEMENT
“Makasih, ya.” ujar Lulu. “Padahal aku bisa pake taksi aja.” “Buang-buang duit. Kalo bisa hemat kenapa mesti boros.”
Lulu hanya tersenyum. Bisma mengambil koper Lulu dan mereka berjalan ke parkiran motor.
*
Cerita-cerita tentang Yogyakarta dari Popoy dan Momoy berkelebatan di benak Lulu seiring Bisma memacu motornya di jalan raya.
“Suatu hari nanti mama pengin kita tinggal di Jogja.”
Pada saat itu Lulu sama sekali tidak paham keinginan Momoy. Semua yang Lulu butuhkan sudah ada di Jakarta. Tempat-tempat nongkrong yang hits, mall-mall yang mewah, dan toko-toko baju yang update dunia fashion internasional. Menurutnya di Yogyakarta tidak ada apa-apa selain kuda dan pantai: dua hal yang tidak Lulu butuhkan untuk menjalankan kehidupan bergaulnya. Lagian, melihat kerjaan Popoy, hampir mustahil mereka akan pernah betul-betul pindah ke Yogyakarta.
ADVERTISEMENT
“Kalau nanti udah capek kerja, Popoy pasti mau.” Begitu ujar Momoy saat Lulu bertanya apa yang ayahnya pikirkan tentang keinginan tersebut. “Kita berdua, kan, bisa kenalan gara-gara Jogja.”
Saat itu Lulu mendengar cerita tentang bagaimana Momoy dan Popoy bertemu. “Kamu,” Momoy mengusap pipi Lulu kecil, “ada karena Jogja.”
Setiap liburan sekolah, Popoy selalu mengajak mereka sekeluarga berlibur ke Yogyakarta. Lulu tidak selalu bersepakat. Kadang-kadang ia ikut ke Yogyakarta, tapi lebih karena melihat teman-teman sekelasnya sedang ramai berfoto-foto di Malioboro. Selain agar enggak ketinggalan tren, tidak ada yang membuat Lulu betul-betul tertarik menghabiskan masa liburan di kota berhati nyaman itu.
Kamu ada karena Jogja.
“Aku mau ke kedai aja.”
“Yakin gak mau istirahat dulu di tempat bude?” “Kedai.”
ADVERTISEMENT
“Ya, okeee…”
*
Ketika mereka tiba di kedai, Nugi sedang membersihkan meja dan kursi. Jarum jam bundar di satu sisi dinding kedai nenunjukkan pukul delapan malam, waktu tutup operasional Kuasa Kopi. Berbeda dari sebagian besar kedai di Yogyakarta yang buka hingga tengah malam bahkan ada yang nonstop seharian, Bisma sengaja membuat jam operasional Kuasa Kopi tidak terlalu lama karena ia mengurus tempat itu hanya berdua Nugi. Enggak jarang pelanggan kedai meminta Kuasa Kopi buka lebih lama, tapi sejauh ini Bisma belum ingin mewujudkannya.
“Turut berduka ya, Lu.” ucap Nugi. “Thanks, Gi.”
“Kenapa gak langsung balik ke rumah? Kedai udah mau tutup juga nih.” “Gapapa, gue pengin ke sini dulu aja.”
ADVERTISEMENT
Nugi mengangkat pundak, lalu melanjutkan kegiatannya.
“Oh iya kalau mau kopi bikin aja, mesin belum aku matiin.” Tiba-tiba Nugi menambahkan, “…eh tapi mending kamu minta dibikinin sama Bisma aja.”
Lulu melemparkan ikat rambutnya ke Nugi. “Maksudnya kalau gue yang bikin pasti gak beres, gitu kan?” Nugi dan Bisma kompak tertawa.
“Pengin apa?” tanya Bisma sembari melangkah ke bar.
Lulu berpikir sejenak. Benaknya masih memikirkan Popoy dan Momoy. Setelah beberapa saat:
“Cappuccino.”
“Panas?” Bisma mengonfirmasi. “Iya, panas.”
Bisma langsung berkutat dengan mesin. Mencopot dan mengelap portafilter, menakar bubuk kopi, memadatkannya dengan tamper, kemudian kembali memasang porta ke kepala mesin. Dengan sigap, ia meletakkan cangkir cappuccino di bawah mulut porta. Cairan espresso mengalir mantap. Selagi menunggu, ia menyiapkan susu segar di dalam milk jug. Sebelah tangan Bisma meraih tombol di mesin. Espresso berhenti mengalir, menyisakan tetes-tetes terakhir. Bisma memanaskan susu. Terakhir, ia menuang susu ke cangkir, meliuk-liukkan milk jug untuk menggambar sesuatu di atasnya.
ADVERTISEMENT
“Silakan.” Bisma meletakkan secangkir cappuccino di hadapan Lulu. Lulu melihat gambar di cappuccino tersebut. Sebentuk hati.
Kedua tangan Lulu meraih cangkir, menyentuh seluruh tubuh cangkir seakan hendak memeluknya. Sensasi hangat menjalar ke permukaan telapak tangan Lulu, mengirim ketenangan yang seolah datang dari masa lalu. Masa lalu bersama Popoy dan Momoy.
Ketika Lulu meneguk cappuccino itu, hatinya menghangat.
Bisma yang duduk di depan Lulu mengamati gerak-gerik cewek itu. Tak bersuara. “Enak.” ujar Lulu.
“Ya, aku tahu. Tapi kali ini jangan nangis.”
Lulu melepas tawa kecil. “Kamu emang sok tahu ya. Tapi kamu gak tahu satu hal.” “Apa itu?”
“Mama pernah cerita, dia dulu ketemu sama papa gara-gara cappuccino.” Lulu menatap cangkir dalam pelukan telapak tangannya. “Barusan aku ngebayangin, mungkin cappuccino yang papa minum waktu ngeliat mama pertama kali tuh cappuccino yang kayak gini.”
ADVERTISEMENT
Bisma berusaha keras menahan senyum dan gagal. Tapi Lulu sedang menatap cangkir dan tak melihat raut di wajah Bisma.
“Mau coba bikin sendiri gak?” tanya Bisma.
Beres dengan barang-barangnya, Nugi melintas di meja mereka, menepuk pundak Bisma. “Pulang duluan ya, harus nyamperin nona besar,” ujarnya. Ia berpamitan juga ke Lulu, yang menanggapinya dengan sebuah anggukan.
Ketika suara motor Nugi telah menjauh, Bisma kembali menoleh ke Lulu. “Gimana? Mau bikin?”
“Mau, tapi gak pake diomelin.”
Bisma berdecak. “Ya, kalau bikinnya berantakan harus dikoreksi.”
Tuan Sok Serius, batin Lulu. Ia sudah punya panggilan baru buat Bisma. Cowok itu ke bar, menghadap mesin. Lulu mengikutinya dari belakang.
“Perhatiin.” kata Bisma. Sebelah tangannya menggenggam gagang porta. “Gini caranya bikin cappuccino…”
ADVERTISEMENT
Lanjut membaca bab selanjutnya di Storial melalui link berikut ini: http://bit.ly/esprekumparanlan