Konten dari Pengguna

Upacara Rasulan di Gunungkidul: Tradisi Syukur Pasca Panen dan Doa Keselamatan

Subhan Rafiq Alfaizi
Mahasiswa Komunikasi Penyiaran Islam UMY
12 November 2024 10:53 WIB
·
waktu baca 2 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Subhan Rafiq Alfaizi tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Puncak Rasulan di desa Semanu, Gunungkidul, Yogyakarta tahun 2024
zoom-in-whitePerbesar
Puncak Rasulan di desa Semanu, Gunungkidul, Yogyakarta tahun 2024
ADVERTISEMENT
Gunungkidul, DI Yogyakarta – Upacara Rasulan, atau dikenal juga sebagai “bersih desa,” adalah tradisi tahunan di Kabupaten Gunungkidul yang diadakan sebagai bentuk syukur atas hasil panen dan permohonan keselamatan bagi warga. Ritual ini digelar setelah musim panen, biasanya pada bulan Juni atau Juli, dengan salah satu pelaksanaannya di Kelurahan Kemiri, Kecamatan Tepus, yang memilih hari Rebo Wage sebagai waktu yang dianggap membawa keberuntungan.
ADVERTISEMENT
Prosesi Upacara Rasulan
Upacara Rasulan dimulai dengan kerja bakti, di mana warga bersama-sama membersihkan lingkungan desa, memperbaiki jalan, dan membersihkan makam. Tahap berikutnya adalah kenduri atau selamatan, di mana berbagai sesaji dan tumpeng dipersembahkan di balai desa sebagai bentuk penghormatan kepada leluhur desa yang diyakini menjaga keselamatan. Doa-doa dipanjatkan untuk keselamatan desa dengan menyebut nama tokoh-tokoh leluhur seperti Nyai Loro Kidul dan Ki Amongsari.
Gunungan di kirab saat puncak acara Rasulan, Yogyakarta 2024
Pada puncak acara, warga mengadakan kirab atau arak-arakan keliling desa dengan membawa tumpeng dan hasil panen seperti jagung, pisang, dan sayuran. Gunungan yang berisi makanan khas desa dikumpulkan di balai desa, menjadi simbol kemakmuran dan harapan akan kesejahteraan. Setelah kirab, masyarakat berkumpul untuk berdoa bersama, kemudian acara diakhiri dengan perebutan gunungan yang ditunggu-tunggu oleh warga dan wisatawan.
ADVERTISEMENT
Nilai dan Warisan Budaya
Upacara Rasulan bukan hanya tentang syukur, tetapi juga simbol kebersamaan dan gotong royong yang memperkuat ikatan sosial di antara warga desa. Tradisi ini tetap bertahan sebagai warisan budaya yang terus dijaga di tengah perkembangan zaman, membuktikan bahwa nilai-nilai kearifan lokal masih sangat dihormati di Gunungkidul.