Konten dari Pengguna

Stop Kekerasan, Rekatkan Kebersamaan

Muh Adnin
Alumni Universitas Bhayangkara Jakarta
13 Oktober 2023 9:32 WIB
·
waktu baca 6 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Muh Adnin tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
oleh : pixabay.com
zoom-in-whitePerbesar
oleh : pixabay.com
ADVERTISEMENT
Mengenai tindak kekerasan yang semakin marak tentu menjadikan kita terutama orang tua yang menyekolahkan anaknya merasa khawatir. Betapa tidak, kasus yang semakin banyak muncul baik di media cetak, media online, maupun televisi semakin nampak jelas menjadi liputan yang membuat kita mengernyitkan dahi.
ADVERTISEMENT
Kasusnya juga beragam. Ada yang berupa kekerasan secara fisik, kasus pelecehan, kasus verbal, sampai yang paling sering kasus bullying atau perundungan adalah rupa-rupanya.
Yang lebih menyakitkan adalah tak banyak dari mereka yang menjadi korban mampu berani untuk sekadar melaporkannya. Ada sebagian dari mereka yang hanya pasrah dan menerima perlakuan kasar baik dari teman sebaya maupun kakak tingkatnya.
Dengan begitu, banyak kasus dan budaya negatif yang terbangun di aktivitas sekolah. Bukan hal yang tidak mungkin bahwa kasus yang muncul di masyarakat menjadi buah perbincangan masyarakat adalah hanya sebagian dari kasus seluruhnya yang belum mencuat ke publik.
Perundungan atau bullying yang merupakan tindakan berupa perlakuan kasar, intimidasi, serangan secara fisik, sampai mengucilkan adalah serangkaian kegiatan negatif yang biasanya dilakukan oleh siswa sekolah kepada targetnya yang dirasa lebih lemah.
ADVERTISEMENT
Hal ini diperparah dengan adanya ketakutan akan melawan. Atau konsekuensi seperti mendapat perlakukan yang lebih kasar lagi jika korban melawan. Itu adalah bukti bahwa kegiatan ini merupakan aktivitas yang berbahaya.
Betapa tidak, sang korban akan mendapatkan luka fisik dan juga mental, tak jarang mereka malah menjadi takut untuk sekadar sekolah karena kelakuan oknum yang melakukan perundungan ini. Lebih parah lagi dampak jangka selanjutnya, sang korban juga nantinya bisa menjadi sosok pendendam yang akhirnya melampiaskan pada pihak lain yang dianggap lebih lemah dari dia.

Tanggung Jawab Bersama

Ilustrasi bullying di Korea Selatan. Foto: CGN089/Shutterstock
Aktivitas seperti perundungan ini jelas tentu akan mengganggu konsentrasi anak dalam melakukan pembelajaran. Anak-anak yang harusnya bisa menikmati masa belajar dengan keadaan yang aman dan nyaman malah menjadi was-was karena potensi perundungan.
ADVERTISEMENT
Para oknum yang yang kemudian suatu waktu melakukan aksinya pun harusnya konsentrasi melakukan belajar malah asyik melakukan kelakuan negatif. Jika dibiarkan, anak anak yang sering melakukan aksinya ini.
Apalagi tidak mendapatkan penanganan yang benar, maka akan memunculkan karakter anak yang congkak, berandal, dan selalu menindas yang lemah. Mengurai masalah ini, tentu perlu langkah yang konkret berbagai pihak agar budaya negatif yang ada bisa mandek dan berubah menjadi budaya positif bagi semuanya.
Menjawab hal ini, perhatian penuh tentu perlu dilakukan agar tidak ada lagi kasus perundungan maupun kekerasan lain di satuan pendidikan. Baik di lingkungan sekolah formal maupun instansi Pendidikan lainnya, kebiasaan perundungan adalah hal yang kita sadari betul sebagai kegiatan yang "unproduktif" terhadap proses belajar.
ADVERTISEMENT
Bukan hanya harus dihindari, tapi juga di jauhkan sejauh jauhnya dan dimatikan potensi keberlangsungannya. Dan jika bicara soal oknum pelakuknya, perlu penanganan yang lebih serius agar menimbulkan dampak jera dan bahan pembelajaran.
Hal yang tak kalah penting juga melakukan upaya preventif dan pendampingan bagi para korban yang mengalami pengalaman buruknya. Sebab jika di biarkan, pengalaman buruk ini akan menimbulkan efek jangka panjang yang buruk.

Angin Segar Upaya Pencegahan dan Penanganan

Sumber: pixabay.com
Melakukan pencegahan dan penanganan kasus perundungan bisa dilakukan lebih utama adalah dengan melakukan akomodasi peraturan yang mendukung langkah-langkahnya.
Perlu ada mekanisme peraturan yang melihat fenomena kekerasan di sekolah ini sebagai sebuah kebutuhan yang dijawab dengan produk aturan hukum yang mengikat bagi setiap elemen dalam penyelenggaraan pendidikan.
ADVERTISEMENT
Pemerintah melalui kementeriannnya tentu tidak boleh tinggal diam dengan maraknya kasus ini. Kementerian perlu ambil andil besar bahwa pencegahan dan penanganan kekerasan di satuan pendidikan adalah agenda besar yang dilakukan secara efektif, efisien, dan berkelanjutan.
Hal ini agar setiap ekosistem pendidikan kita semakin positif. Dan tujuan utamanya pendidikan sebagai ruang yang mencerdaskan kehidupan bangsa tentu bisa dilakukan.
Menjawab kebutuhan ini, pemerintah meluncurkan peraturan melalui Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan di Satuan Pendidikan (PPKSP) yang belum lama ini muncul menjadi kebijakan.
Permendikbudristek PPKSP ini hadir sebagai wujud konsentrasi kementerian menyelesaikan momok kekerasan dalam pendidikan yang sudah lama menjangkiti aktivitas pendidikan kita.
Tentu ini adalah hal yang positif. Apalagi dengan hadirnya Permendikbudristek tersebut. Aturan ini mampu mengevaluasi serta memperbaiki pencegahan dan penanganan kekerasan di sekolah dan satuan pendidikan yang sebelumnya ada namun kurang optimal.
ADVERTISEMENT
Selain itu, nantinya dengan hadirnya aturan yang lebih lengkap di kenal sebagai Permendikbudristek no 46 tahun 2023 tentang PPKSP mampu menjadi acuan yang jelas bagaimana saja hal yang bisa dilakukan dalam rangka pencegahan dan penanganan kekerasan di satuan pendidikan.
Dilihat dari latar belakang dihadirkannya, peraturan ini hadir akibat semakin maraknya kekerasan yang terjadi di satuan pendidikan. Bayangkan saja—sebagaimana dikutip dari kemendikbud.go.id yang menampilkan hasil Asesmen Nasional pada tahun 2022—setidaknya 34,51 persen peserta didik atau 1 dari 3 peserta didik berpotensi mengalami kekerasan seksual.
Kemudian sebanyak 26,9 persen peserta didik atau sekitar 1 dari 4 peserta didik berpotensi mengalami hukuman fisik, dan 36,31 persen peserta didik atau 1 dari 3 peserta didik berpotensi mengalami perundungan.
ADVERTISEMENT
Data ini kemudian lebih lanjut masih dalam sumber yang sama diperkuat dengan hasil dari Survei Nasional Pengalaman Hidup Anak dan Remaja (2021) yang menunjukkan sebanyak 34 persen atau 3 dari 10 anak laki-laki dan 41,05 persen atau 4 dari 10 anak perempuan usia 13-17 tahun pernah mengalami satu jenis kekerasan atau lebih di sepanjang hidupnya. Maka dengan adanya Permendikbudristek PPSKP ini, segala kekerasan di lingkungan sekolah dapat di tekan berbagai potensinya.
Kemudian, jika melihat isi subtansinya, Permendikbudristek ini tentu membawa angin segar harapan yang menopang tidak hanya kepentingan peserta didik saja, tapi juga orang tua yang khawatir, tenaga kependidikan yang bisa tertib, tanggung jawab sekolah sebagai satuan pendidikan, bahkan sampai pemerintah baik daerah dan pusat sebagai unsur yang bersama sama mengawal betul implementasi pencegahan dan penanganan kekerasan ini.
ADVERTISEMENT
Sebab dalam Permendikbudristek ini, sasaran yang ada bukan hanya sebatas pada peserta didik saja. Dalam permendikbudristek ini definisi mengenai apa saja yang bisa dimungkinkan sebagai kasus kekerasan juga menjadi poin yang disajikan.
Lebih lanjut lagi, mekanisme semacam pembentukan unit satuan tugas dan tim pencegahan dan penanganan kekerasan yang disingkat menjadi TPPK adalah terobosan yang sebelumnya belum mampu diakomodasi.
Tak berhenti di situ, mengenai syarat dan tugasnya TPPK, lalu bahasan tentang hak bagi saksi, korban maupun pelapor, mekanisme dan alur penanganan, dan pendataan penanganan yang berbasis pada perencanaan data adalah hal yang diatur dalam permendikbudristek PPKSP ini.
Dengan kelengkapannya, semoga segala upaya yang dilakukan bisa maksimal dalam rangka menyelesaikan maupun menghilangkan potensi kasus kekerasan yang ada.
ADVERTISEMENT
Semoga saja apa yang menjadi langkah nyata ini tidak hanya sekadar menjadi angin segar yang kadang kala hanya lewat saja, tapi bisa benar terlaksana secara komprehensif.
Terakhir, semoga dengan adanya Permendikbudristek ini marilah kita bersama mengawal bahwa sudah saatnya menggelorakan stop perundungan dan merekatkan kebersamaan dalam mewujudkan perbaikan pendidikan.