Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Jokowi dan Warisan Kemerosotan Demokrasi
17 Oktober 2024 10:58 WIB
·
waktu baca 5 menitTulisan dari Subairi Muzakki tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
JELANG akhir masa jabatan Presiden Joko Widodo, kondisi demokrasi Indonesia berada dalam sorotan yang tajam. Penurunan kualitas demokrasi yang begitu mendalam menjadi perhatian banyak kalangan, baik di dalam maupun luar negeri.
ADVERTISEMENT
Fenomena ini menjadi ironi bagi sebuah bangsa yang pernah merayakan Reformasi 1998 sebagai kemenangan besar dalam mengakhiri rezim otoritarianisme Orde Baru. Namun, dua dekade setelah itu, Indonesia kini menghadapi tantangan serius dalam mempertahankan kualitas demokrasinya.
Penurunan kualitas demokrasi bisa dilihat dari banyak indikator, antara lain terjadinya konsolidasi kekuasaan oleh kelompok-kelompok elite politik dan ekonomi, yang semakin mendominasi proses pengambilan keputusan negara.
Oligarki, yang mendapat keuntungan dari kebijakan pemerintah yang pro-pasar, semakin mengokohkan pengaruhnya. Kebijakan ekonomi yang lebih banyak memihak investor besar daripada kepentingan rakyat kecil mencerminkan perubahan orientasi negara yang semakin jauh dari prinsip-prinsip demokrasi substantif, yang seharusnya menempatkan kesejahteraan rakyat sebagai tujuan utama.
Dalam ranah politik, pemilihan umum yang seharusnya menjadi mekanisme akuntabilitas rakyat terhadap pemimpin mereka, semakin dipenuhi oleh praktik-praktik transaksional. Politik uang, koalisi pragmatis, dan lemahnya oposisi menjadi cermin betapa demokrasi Indonesia tengah mengalami stagnasi.
ADVERTISEMENT
Kooptasi terhadap lembaga-lembaga negara yang seharusnya independen, seperti Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Mahkamah Konstitusi, juga menjadi tanda bahwa mekanisme check and balance yang idealnya berjalan dalam sistem demokrasi, justru semakin tergerus.
Penurunan kualitas demokrasi ini tidak bisa dilepaskan dari transformasi politik Jokowi sendiri. Pada tahun 2014, saat ia terpilih untuk periode pertama, banyak pihak menyebutnya sebagai harapan baru demokrasi.
Anggapan ini punya landasan yang kuat sebab Jokowi adalah presiden pertama dari kalangan pinggiran yang dibahasakan oleh Fachri Ali (2014) sebagai ”kepemimpinan pascaelite”. Namun, 10 tahun menjadi presiden, Jokowi mengalami banyak transformasi yang membuatnya tidak lagi dianggap sebagai harapan demokrasi.
Alih-alih sebagai harapan demokrasi, kini Jokowi dianggap sebagai “pembunuh” demokrasi. Tentu menjadi pertanyaan besar, bagaimana bisa seorang presiden yang naik takhta karena demokrasi justru “membunuh” demokrasi itu sendiri?
ADVERTISEMENT
Demokrasi dan Mutasi Simbolis
Untuk memahami transformasi ini, kita tidak mungkin hanya berfokus pada pendekatan perilaku personal seorang Jokowi. Bahwa tindakan Jokowi telah membuat demokrasi kian terpuruk, itu adalah fakta yang sulit dibantah. Tetapi menyalahkan keterpurukan demokrasi hanya pada seorang Jokowi, juga bukan langkah tepat. Sebab, sebetulnya, kemorosotan demokrasi sudah terjadi bahkan saat Jokowi dianggap sebagai harapan baru demokrasi.
Pada tahun 2014, saat Jokowi terpilih untuk periode pertama, kondisi demokrasi kita memang sudah sekarat. Dan karena itulah, kita melambungkan harapan kepada Jokowi untuk bisa memulihkan demokrasi dari kondisi sekarat menjadi sehat. Tetapi, seperti kita tahu, Jokowi gagal melakukannya.
Pertanyaannya, sejak kapan demokrasi kita sekarat? Jawabannya adalah sejak kita membuka pintu lebar-lebar bagi liberalisasi pasar dan investasi asing. Itu terjadi tak lama setelah reformasi, terutama sekali, dalam 10 tahun pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Sejak saat itulah, demokrasi yang idealnya berorientasi pada kedaulatan rakyat, mulai tergantikan oleh dominasi kepentingan pasar. Kedaulatan politik bergeser menjadi subordinasi kapital, di mana kepentingan pasar lebih menentukan arah kebijakan daripada preferensi kebangsaan.
ADVERTISEMENT
Claude Lefort (1986), filsuf Politik Prancis, menjelaskan bahwa demokratisasi sering kali menghasilkan “mutasi tatanan simbolis” dalam masyarakat. Dalam konteks Indonesia, mutasi ini terjadi ketika nilai-nilai kebangsaan yang sebelumnya menjadi landasan kebijakan, secara bertahap digantikan oleh preferensi pasar. Kebijakan negara lebih banyak memihak investor dan oligarki ekonomi daripada rakyat kecil.
Transformasi ini juga tercermin dalam cara masyarakat berpikir, berbicara, dan bertindak. Perubahan preferensi ini mengaburkan batas antara negara dan pasar, antara politik dan ekonomi, serta antara tanggung jawab kenegarawanan dan kepentingan bisnis. Dalam kondisi ini, politik tidak lagi menjadi arena solidaritas kolektif, melainkan ruang bagi kepentingan ekonomi segelintir elite.
Dominasi Pasar dan Lemahnya Oposisi
Kondisi yang mendasari demokrasi pasar ini salah satunya terjadi karena lemahnya oposisi politik dan masyarakat sipil. Selama pemerintahan SBY dan semakin parah di pemerintahan Jokowi, institusi-institusi demokrasi yang seharusnya berfungsi sebagai pengawas kekuasaan negara dan pasar tidak cukup kuat.
ADVERTISEMENT
Oligarki kapitalis tumbuh subur tanpa perlawanan berarti, karena tidak ada alternatif ekonomi atau politik yang cukup signifikan. Akibatnya, pemerintahan yang dipimpin SBY, dan diikuti oleh Jokowi, berjalan dengan dominasi pasar sebagai preferensi politisnya, tanpa kontrol yang memadai.
Dalam konteks ini, ruang publik yang otonom, sebagaimana diidealkan oleh Habermas, sulit untuk terwujud. Media massa dan forum-forum diskusi publik lebih banyak melayani kepentingan para korporasi yang mendanai mereka daripada menyuarakan aspirasi masyarakat sipil. Ini adalah kondisi di mana demokrasi formal tetap ada, tetapi substansinya telah dirusak oleh pengaruh uang dan kekuatan oligarki.
Patologi Demokrasi
Apa yang kita lihat dalam era Jokowi adalah gejala dari patologi demokrasi. Demokrasi yang seharusnya menjadi alat untuk memperjuangkan kesejahteraan rakyat, justru digunakan untuk memperkuat kepentingan segelintir elite. Mutasi simbolis yang diidentifikasi oleh Lefort telah sepenuhnya berlangsung. Demokrasi kita tidak lagi berfungsi sebagai ruang dialog yang inklusif, melainkan menjadi arena bagi pertempuran ekonomi dan politik yang didominasi oleh elite-elite oligarkis.
ADVERTISEMENT
Kondisi ini menandai kemunduran signifikan dalam demokrasi Indonesia. Sementara partisipasi politik secara formal tetap ada, esensi dari demokrasi – yaitu keterlibatan masyarakat dalam pengambilan keputusan yang berdampak langsung pada kehidupan mereka – semakin hilang. Demokrasi kita menjadi patologi ketika substansi dari demokrasi itu sendiri dirampas oleh kekuatan-kekuatan pasar dan kekuasaan.
Dalam konteks inilah, kita melihat bahwa Jokowi bukanlah satu-satunya aktor yang bertanggung jawab atas kemunduran demokrasi di Indonesia. Ia adalah bagian dari proses panjang di mana kekuatan ekonomi dan politik oligarki terus menguasai ruang publik, sementara kontrol oposisi politik dan masyarakat sipil melemah.
Patologi demokrasi kita terletak pada bagaimana kepentingan pasar telah merasuki seluruh aspek kehidupan bernegara, mengaburkan peran negara sebagai pelindung rakyat dan menjadikannya sekadar alat untuk memperkuat kekuasaan segelintir elite. Jika tidak ada perubahan signifikan, demokrasi kita akan terus terdegradasi, menjadi hanya formalitas tanpa substansi.
ADVERTISEMENT