Konten dari Pengguna

Menata Kembali Narasi Komunikasi Krisis Kita

Subhan Afifi
Dosen Program Studi Ilmu Komunikasi FPSB UII dan Penulis Buku-Buku Biografi.
17 Juni 2020 11:47 WIB
clock
Diperbarui 12 Agustus 2020 10:17 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Subhan Afifi tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi Komunikasi. Foto: ANTARA FOTO/Aditya Pradana Putra
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Komunikasi. Foto: ANTARA FOTO/Aditya Pradana Putra
ADVERTISEMENT
Belum ada yang bisa memastikan kapan wabah Pandemi Covid-19 ini akan berlalu. Wallahu’alam. Tentu saja, harapan dan optimisme harus terus digelorakan. Setelah kesulitan akan ada kemudahan. Lumrahnya, cepat atau lambat, sebagai sebuah krisis, pandemi akan berakhir. Siklusnya mengikuti tahapan prakrisis, krisis, dan pascakrisis.
ADVERTISEMENT
Dalam setiap tahapan krisis, pengelolaan komunikasi menjadi penting, agar tidak terjadi krisis komunikasi yang memperburuk kondisi. Pemerintah, media, publik, netizen, alias kita semua, adalah partisipan aktif dalam komunikasi krisis dengan narasi masing-masing. Secara sederhana, narasi terkait dengan inti pesan, cara pesan disajikan, dan alur pesan yang membentuk makna tertentu. Seperti apa narasi yang berkembang selama ini dan narasi seperti apa yang perlu ditata kembali ?
Di masa prakrisis, alarm tanda bahaya sebenarnya sudah berbunyi. Ada waktu untuk membangun kesadaran bersama dan bersiap sebaik mungkin melalui komunikasi proaktif. Ungkapan mantan legenda tinju dunia, Mike Tyson, menjadi analogi untuk tidak terlena sebelum krisis menerjang : Everyone has a plan until they get punched in the face.
ADVERTISEMENT
Sayangnya, selama 2 bulan masa prakrisis, narasi yang berkembang justeru cenderung menganggap remeh potensi terjadinya pandemi. Narasi-narasi yang hadir di ruang publik saat itu diantaranya adalah : “Jangan panik, jangan resah, enjoy saja”, “Indonesia bebas Corona”, dan sejenisnya.
Ketika krisis akhirnya benar-benar datang, dan grafik korban yang positif terpapar hingga meninggal dunia terus melesat, semua pihak seperti tergagap. Semestinya, komunikasi dalam masa krisis dibangun untuk memberikan respons yang cepat dan tepat, sekaligus membangun kepercayaan (trust) publik.
Pemerintah melalui Kementerian Komunikasi dan Informatika telah mengeluarkan Protokol Komunikasi dalam menghadapi krisis Covid-19. Masyarakat yang tenang, paham apa yang harus dilakukan, dan memiliki persepsi bahwa negara hadir dalam mengendalikan krisis, adalah tujuan yang ingin dicapai.
ADVERTISEMENT
Konsep narasi yang diinginkan pemerintah adalah narasi tunggal. Artinya secara hierarkis dari pemerintah pusat hingga pemerintah daerah mentransmisikan narasi yang sama. Pesan utamanya adalah : jaga jarak, di rumah saja, cuci tangan menggunakan sabun, masker untuk semua, dan tak ada mudik dan piknik.
Implementasi Protokol Komunikasi tersebut telah dirasakan publik, walaupun tentu saja masih terdapat berbagai catatan yang memunculkan persepsi negatif. Beberapa diantaranya adalah : kurangnya keterbukaan informasi, perbedaan data, saling koreksi dan membantah antar pejabat, diabaikannya kajian para ahli, hingga upaya kriminalisasi pihak-pihak yang mengkritik.
Kurangnya keterbukaan informasi terkait Covid-19 disebabkan oleh kekhawatiran munculnya kepanikan. Padahal, menurut Ismail Fahmi (2020) dan hasil monitoring perbicangan netizen di media sosial Twitter menggunakan Drone Emprit Academic yang disediakan Universitas Islam Indonesia, ketakutan (fear) bukan merupakan perasaan publik yang paling tinggi ketika membincangkan Covid-19. Justeru kepercayaan (trust) yang paling tinggi dengan 8.800 twits, di susul keterkejutan (surprise) dengan 7.000 twits, antisipasi (anticipation) dengan 4.900 twits. Ketakutan (fear) berada di posisi ke-4 dengan 4.400 twits. Masalah utama yang dihadapi pemerintah adalah soal trust publik. Terbukanya data akan meningkatkan trust, dan sebaliknya ditutupnya data, akan menimbulkan ketidakpercayaan (distrust) dan justeru menyebabkan ketakutan (fear).
ADVERTISEMENT
Di sisi lain, berkembangnya infodemics, melimpah ruahnya informasi di masa pandemi, dengan kualitas yang beragam, bertebarannya hoax, fake news, dan isu-isu provokatif, telah membuat publik sulit mendapatkan informasi kredibel. Sedangkan, media massa masih berkutat dengan masalah klasiknya terkait jurnalisme sensasi versus jurnalisme edukatif.
Berbagai fenomena krisis komunikasi dengan narasi kontraproduktif semua pihak itulah yang perlu ditata kembali. Pemerintah selayaknya konsisten dengan narasi komunikasi risiko (risk communication) untuk memberdayakan masyarakat. Kuncinya ada pada keterbukaan data dan informasi, membangun harapan tanpa menghilangkan kewaspadaan, serta menggugah solidaritas dan volunterisme. Fokus pada narasi utama penanggulangan dampak Covid-19, tidak boleh diganggu oleh narasi lain yang tidak tepat momentum semisal rencana pemindahan ibu kota baru, pembahasan Omnibus Law RUU Cipta Kerja, atau ngotot memasukkan TKA asing dalam situasi pandemi. Keselamatan warga negara lebih utama.
ADVERTISEMENT
Di sisi lain, sebagai penerima sekaligus produsen informasi, penting bagi publik menahan diri untuk tidak memproduksi atau menyebarkan hoax dan ujaran kebencian. Para opinion leader, influencer hingga masyarakat awam saatnya bersatu menyuarakan narasi kompak melawan Covid-19. Media Massa juga direkomendasikan meningkatkan kuantitas dan kualitas produk jurnalisme edukatif, dan melupakan sejenak jurnalisme sensasi.
Kontribusi narasi positif tetapi tidak melenakan dari semua pihak InsyaAllah akan berkontribusi pada penanganan krisis sehingga diharapkan masa pascakrisis segera hadir. Ketika semua elemen bangsa ini bangkit kembali, dan kehidupan kembali normal. Semoga disegerakan !
*****
Dr. Subhan Afifi, M.Si,
*Dosen Program Studi Ilmu Komunikasi, Fakultas Psikologi dan Ilmu Sosial Budaya (FPSB), Universitas Islam Indonesia
ADVERTISEMENT
*Anggota Komunitas Ilmuwan dan Profesional Muslim Indonesia (KIPMI)