Konten dari Pengguna

Public Speaking dan Catatan untuk Diri

Subhan Afifi
Dosen Program Studi Ilmu Komunikasi FPSB UII dan Penulis Buku-Buku Biografi.
31 Desember 2019 13:44 WIB
clock
Diperbarui 6 Agustus 2020 13:17 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Subhan Afifi tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi public speaking. Foto: Shutterstock
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi public speaking. Foto: Shutterstock
ADVERTISEMENT
Komunikasi adalah salah satu keterampilan penting yang perlu dikuasai di era milenial. Beragam kebaikan bisa diraih dan disebarluaskan. Terlebih teknologi digital dengan media sosialnya yang sangat populer memberi ruang yang sangat lebar bagi mereka yang memiliki keterampilan public speaking yang baik.
ADVERTISEMENT
Public speaking, seni berbicara kepada banyak orang, adalah salah satu keterampilan komunikasi yang baik untuk dipelajari dan dilatihkan. Presentasi, mengajar, pidato, memberi sambutan, berceramah, memberikan khotbah, atau sekadar memberikan one minute booster, atau one minute talk di media sosial, perlu sentuhan keterampilan public speaking yang memadai.
Bicara tentang public speaking, pertanyaan mendasar yang perlu diajukan adalah: Untuk siapa perbincangan dalam public speaking itu dilakukan. Betul kita sedang bicara kepada publik atau audiens. Pembicara sedang melakukan proses persuasi. Agar apa yang ingin disampaikannya dipahami, dimengerti bahkan diikuti dengan aksi oleh audiensnya. Tetapi, jika public speaking orientasinya semata-mata kepada publik, untuk audiens, sekedar untuk mendapatkan tepuk tangan dan aplaus meriah, mengaduk-aduk emosi pendengar dan pemirsa, dan melupakan kesejatian diri sang pembicara, di sinilah permasalahan itu bermula.
ADVERTISEMENT
Kajian ilmu sosial sudah lama mengenal teori dramaturgi yang memandang bahwa kehidupan sosial dipandang sebagai rentetan pertunjukan drama dalam sebuah pentas. Kehidupan diibaratkan panggung drama. Ada panggung depan (front stage) dan panggung belakang (back stage).
Setiap aktor berusaha menyajikan dirinya (presentation of self) untuk memberi impresi pada penonton/khalayak/audiens. Ada manajemen impresi di sana. Public speaking pun dalam konteks dramaturgi adalah seni menciptakan impresi yang efektif dan powerful bagi audiensnya. Panggung dan setting sosial pun lantas disusun sedemikian rupa. Bagaimana ucapan dan penampilan fisik ditata sedetail mungkin. Terkadang substansi menjadi tidak lebih penting daripada siapa yang tampil. Seorang pembicara lebih berkeinginan menampilkan dirinya daripada substansinya.
Nah, di sinilah masalahnya. Jika public speaking dipandang sebagai sebuah pentas dan drama. Dan impresi khalayak semata-mata menjadi tujuan. Lantas lupa bahwa substansi dalam public speaking mestinya yang terbesar adalah untuk sang pembicara. Apalagi jika kemudian panggung depan sang public speaker berbeda jauh dengan panggung belakangnya. Di depan panggung tampak sangat ramah, ternyata di belakang panggung adalah seorang pemarah. Di depan kamera adalah figur yang bijaksana dan siap merangkul, tapi di belakang ternyata punya hobi memukul siapa saja yang berseberangan. Ada persoalan kredibilitas komunikator di sana.
ADVERTISEMENT
Kredibilitas komunikator, menurut para ahli komunikasi sangat penting. Banyak yang menyebut kredibilitas komunikator ada karena persepsi komunikan, atau karena memang inheren melekat pada sifat-sifat sesungguhnya sang komunikator. Seperangkat persepsi komunikan tentang sifat-sifat komunikator dibangun oleh keahlian dan kepercayaan.
Dalam konteks kredibilitas komunitor inilah inilah sejatinya public speaking menjadi catatan untuk diri sang pembicara (note to self). Pesan yang disampaikan hakikatnya merupakan catatan untuk diri sendiri. Jika berbentuk nasihat maka pesan itu untuk diri terlebih dahulu, baru ke yang lain. Dalam public speaking sebenarnya, kita sedang bicara dengan diri kita sendiri. Kita sedang menasihati kelemahan diri.
Sejalannya perkataan dan perbuatan akan menjadikan public speaking menjadi powerful. Mengatakan sesuatu yang tidak sesuai dengan kenyataan adalah bentuk dari pengingkaran janji. Mengatakan sesuatu tetapi tidak melaksanakannya. Karakter kemunafikan sebagai mengingkari janji atau berkata tapi berdusta, esuk dele sore tempe, akan meruntuhkan kepercayaan pada seorang pembicara. Secara otomatis pembicaraan itu menjadi tak bermakna. Walau telah didesain dengan gaya retorika yang memukau.
ADVERTISEMENT
Mempersiapkan teknik-teknik public speaking untuk menarik perhatian audiens hingga berhasil mempersuasi mereka adalah penting. Tetapi mempersiapkan aspek kesejatian diri seorang pembicara jauh lebih penting. Belajar untuk terus menyatukan kata dan perbuatan dalam semua aspeknya. Agar panggung depan dan panggung belakang tak terlalu berbeda jauh, kalaupun tak bisa sama persis.
Tentu saja, kesempurnaan diri tak pernah akan terwujud. Proses belajar akan berterusan tanpa akhir. Merasa belum baik bukan berarti menghalangi kita menyebarkan nilai-nilai kebaikan dalam sebuah kegiatan public speaking. Justru public speaking akan menjadi catatan untuk diri, note to self, menjadi lebih baik. Selamat berlatih!
***
Dr. Subhan Afifi,M.Si
Dosen Prodi Ilmu Komunikasi, Fakultas Psikologi dan Ilmu Sosial Budaya (FPSB), Universitas Islam Indonesia (UII)
ADVERTISEMENT
FB/IG/Twitter : @subhanafifi