Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.94.0
Konten dari Pengguna
Antara Tugas Kuliah dan Perasaan yang Terpendam
1 Januari 2025 15:05 WIB
·
waktu baca 2 menitTulisan dari Suci Haya Arindi tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Menjadi mahasiswa sering kali terasa seperti berada di tengah badai. Tugas-tugas kuliah terus datang tanpa henti, dosen-dosen dengan ekspektasi tinggi, dan jadwal yang seolah tak memberi ruang untuk sekadar bernapas. Dalam situasi seperti ini, siapa yang punya waktu untuk memikirkan hal lain, apalagi soal perasaan? Tapi, kenyataannya, hati kita sering kali punya agenda sendiri.
ADVERTISEMENT
Ada saatnya ketika seseorang yang istimewa muncul di tengah rutinitas padat. Bisa jadi dia teman sekelas yang pandai, atau mungkin seseorang yang diam-diam kamu kagumi karena sikapnya yang tenang dan rendah hati. Setiap kali dia lewat, ada rasa yang sulit diungkapkan, seolah-olah dunia berhenti sebentar. Tapi, di balik semua itu, kamu sadar bahwa tugas-tugas kuliah tetap menanti di meja.
Menghadapi dilema ini memang tidak mudah. Di satu sisi, kamu ingin fokus pada tanggung jawab akademis. Di sisi lain, perasaan yang terpendam itu terus mengganggu pikiran, menciptakan pertanyaan-pertanyaan yang tak ada jawabannya. “Apa dia juga merasa hal yang sama?” atau bahkan, “Apa dia tahu aku ada?”
Sayangnya, perasaan sering kali tak mendapat prioritas. Kita lebih memilih mengerjakan tugas daripada mengambil risiko memperlihatkan apa yang kita rasakan. Takut ditolak, takut merusak hubungan yang ada, atau takut bahwa hal ini hanya akan menjadi distraksi dari tujuan utama kita – lulus dengan nilai yang baik.
ADVERTISEMENT
Tapi, mari kita jujur. Apakah menyimpan perasaan itu membuat segalanya lebih mudah? Bukankah justru semakin berat? Ketika kita terlalu sibuk menahan apa yang ada di hati, itu bisa menjadi beban tambahan di tengah semua kesibukan kita.
Mungkin, jalan keluarnya bukan tentang memilih antara tugas atau perasaan, tapi bagaimana menemukan keseimbangan. Tidak ada salahnya memberi ruang untuk hati, selama itu tidak membuat kita kehilangan fokus. Kadang, menyampaikan apa yang kita rasakan – meski sederhana dan tanpa ekspektasi – bisa memberi kelegaan. Toh, perasaan yang dipendam terlalu lama hanya akan menyakiti diri sendiri.
Akhirnya, setiap orang punya caranya masing-masing untuk menghadapi dilema ini. Yang penting, jangan lupa bahwa menjadi mahasiswa bukan hanya soal belajar di kelas, tapi juga tentang belajar memahami diri sendiri. Jadi, apakah kamu akan terus menyimpan perasaan itu, atau berani memberi tahu dia di sela-sela tugas yang menumpuk? Keputusan ada di tanganmu.
ADVERTISEMENT