Konten dari Pengguna

Eksistensialisme dalam Novel Azab dan Sengsara

Suci Naeni
mahasiswa universitas Islam negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, fakultas tarbiyah dan keguruan
13 Oktober 2024 15:45 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Suci Naeni tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Memotret Sendii
zoom-in-whitePerbesar
Memotret Sendii
ADVERTISEMENT
Novel "Azab dan Sengsara" karya Merari Siregar, yang pertama kali diterbitkan pada tahun 1920, merupakan salah satu novel penting dalam sejarah sastra Indonesia, terutama dalam genre sastra realisme sosial. Novel ini tidak hanya menggambarkan perjuangan hidup para tokoh utamanya, tetapi juga menyingkapkan dilema eksistensial yang relevan dengan kondisi sosial dan budaya masyarakat Indonesia pada masa itu.
ADVERTISEMENT
Tokoh utama dalam"Azab dan Sengsara" Mariamin, merupakan representasi dari individu yang terjebak dalam sistem nilai tradisional yang mengekang kebebasannya. Penderitaan yang dialami Mariami mencerminkan krisis eksistensial yang dialami oleh banyak individu pada zamannya. Dalam konteks eksistensialisme, Mariamin terjebak dalam situasi yang tidak dapat dia kendalikan perjodohan yang tidak dia kehendaki, diskriminasi gender, dan norma-norma adat yang membatasi pilihan hidupnya.
Keputusasaan Mariamin ketika dia dipaksa menerima nasib yang bukan pilihannya menunjukkan ketegangan antara kebebasan individu dan tekanan sosial. Mariamin, meskipun secara lahiriah seolah tak berdaya, tetap menunjukkan upaya resistensi terhadap nasibnya, meski akhirnya dia tunduk pada kenyataan pahit kehidupan yang ditentukan oleh struktur sosial dan budaya.
ADVERTISEMENT
Dilema eksistensial yang lain dalam novel ini terletak pada pertanyaan mengenai otonomi individu. Karakter Mariamin dan Kasibun, tunangannya, dihadapkan pada tuntutan adat dan keluarga yang lebih besar dari kehendak pribadi mereka. Pengorbanan perasaan pribadi demi kehormatan keluarga dan kesesuaian dengan adat merupakan bentuk lain dari dilema eksistensial. Di sini, novel ini memperlihatkan bagaimana individu dipaksa untuk menegosiasikan kebebasan dirinya dalam konteks sosial yang sarat dengan nilai-nilai tradisional yang kaku.
Novel "Azab dan Sengsara" menggambarkan bagaimana tekanan untuk tunduk pada adat menyebabkan tokoh-tokohnya menghadapi kecemasan eksistensial yang mendalam. Mereka harus memilih antara mengikuti perasaan dan hasrat mereka sendiri, atau tunduk pada aturan sosial yang dianggap "benar" oleh masyarakat. Namun, keputusan untuk menuruti aturan tersebut tidak menghapuskan kecemasan, melainkan justru memperdalam penderitaan mereka.
ADVERTISEMENT
Salah satu tema eksistensial yang kuat dalam "Azab dan Sengsara" adalah ketidakberdayaan manusia di hadapan kekuatan sosial yang besar. Kehidupan Mariamin yang tragis seolah dikuasai oleh rasa fatalisme, di mana segala upaya untuk melawan dianggap sia-sia. Dalam pandangan eksistensial, individu dipaksa untuk menghadapi absurditas hidup realitas bahwa kehidupan tidak selalu adil, dan bahwa penderitaan sering kali tidak memiliki makna yang jelas.
Novel ini mengekspresikan absurditas tersebut melalui penderitaan Mariamin, yang tidak hanya berasal dari konflik cinta yang gagal, tetapi juga dari struktur sosial yang menindas. Meskipun begitu, Mariamin tetap menjalani hidupnya hingga akhir, walau dengan kepahitan, yang menegaskan bahwa manusia, dalam absurditas hidupnya, masih bisa menemukan keberanian untuk terus hidup.
ADVERTISEMENT
"Azab dan Sengsara" novel ini menampilkan individu-individu yang terjebak dalam konflik antara kebebasan pribadi dan tuntutan sosial yang tak terelakkan. Dilema eksistensial yang dialami oleh para tokohnya terutama Mariamin adalah potret dari perjuangan manusia untuk menemukan makna hidup di tengah penderitaan, ketidakpastian, dan tekanan sosial. Merari Siregar, melalui novel ini, mengekspresikan pandangan bahwa kebebasan manusia sering kali dihambat oleh norma-norma sosial yang kaku, namun tetap ada ruang bagi individu untuk berjuang menentukan arah hidup mereka sendiri, meski dalam keterbatasan.